Sejarah Kokam, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah, lahir di tengah memanasnya konflik PKI dengan masyarakat. Prodjokusumo, sang komandan, banyak memberi warna dan mengembangkannya.
PWMU.CO– Setelah Pemilu 1955, PKI di atas angin karena dekat dengan Presiden Soekarno. PKI dan anteknya bermain politik hantam lawan di semua lini sehingga terjadi konflik dengan masyarakat anti komunis di beberapa daerah.
Tanah perkebunan, orang kaya, dan pesantren diduduki Barisan Tani Indonesia (BTI). Pemain ludruk pun berani melecehkan agama dalam pementasannya. Mereka dibina oleh seniman komunis di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Di tahun-tahun itu ada pentas ludruk di Jawa Timur dengan cerita sangat berani seperti Patine Gusti Allah, Malaikat Rabi, atau Gusti Allah Mantu.
Dalam situasi politik yang memanas itu, pada 1 September 1965, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Drs Lukman Harun menggelar pelatihan Kader Takari di Jakarta untuk anggotanya. Tujuannya meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah menghadapi segala kondisi.
Pelatihan selama sebulan diikuti 250 orang laki-laki perempuan utusan cabang. Acara berlangsung di Aula Universitas Muhammadiyah Jakarta Jlalan Limau. Pelatihan ini didukung oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) DKI Jakarta Letkol HS Prodjokusumo yang tentara RPKAD, sekarang Kopassus.
Pelatihan kader ditangani oleh Letkol HS Prodjokusumo, H Ibrahim Nazar, Noerwidjojo Sardjono, Drs Lukman Harun, Sutrisno Muhdam BA, dan Drs Haiban.
Materi yang disampaikan seperti Tauhid, Kemuhammadiyahan, Kepribadian Muhammadiyah, Fungsi Kader Muhammadiyah dalam Revolusi, Front Nasional, Gerakan Massa Revolusioner, Keamanan dan Pertahanan, Revolusioner yang sedang Berkembang, dan lain-lain.
Jenderal Nasution Mengisi Pelatihan Kader
Drs H Muhammad Suwardi yang ikut menyiapkan pelatihan ini menceritakan pengalamannya seperti dimuat dalam Sangpencerah.id. Dia menjelaskan, pembicaranya orang-orang top dari Muhammadiyah dan pejabat tentara. Seperti H. Mulyadi Djojomartono, Jenderal Abdul Haris Nasution, Jenderal Polisi Sutjipto Judodiharjo, Mayor Jenderal Soetjipto SH, dan Kolonel Djuhartono.
Acara berjalan lancar hingga pada malam 30 September 1965, acara diisi oleh Jenderal AH Nasution, Menteri Kopartemen Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Dalam ceramahnya Pak Nas menentang ide Angkatan ke-5 usulan PKI kepada presiden. Angkatan kelima ini mempersenjatai kaum buruh yang bisa memicu konflik horizontal makin parah.
Pukul 23.30 Jenderal Nasution selesai dan meninggalkan kampus UMJ. Ternyata setelah sampai di rumah didatangi pasukan Cakrabirawa yang hendak menangkapnya dan berhasil menyelamatkan diri melompat tembok belakang.
Esok pagi, Jumat, 1 Oktober 1965 berita RRI pukul 07.15 menyiarkan Gerakan 30 September yang membunuh para jenderal yang dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal berniat kudeta terhadap pemerintah. Siaran itu diulang kembali pada pukul 08.15.
Siang hari pukul 13.00 siaran berita pengumuman dekrit presiden pembentukan Dewan Revolusi dipimpin Letnan Kolonel Untung dan wakil-wakilnya Brigadir Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Komisaris Besar Polisi Anwas.
Pada hari itu peserta pelatihan kader Takari masih berkumpul di UMJ menunggu pembicara Mayor Jenderal Soetjipto SH. Malam hari acara dihentikan sementara karena ada informasi perkembangan situasi politik.
Pimpinan sidang HS Prodjokusumo, Drs Lukman Harun, Sutrisno Muhdam, H Soejitno, Drs Haiban HS, Sumarsono, Imam Sam’ani, Jalal Sayuthi, dan M Suwardi mengadakan sidang darurat dan kilat di ruang rektor UMJ yang diterangi dengan lilin. Karena pada hari itu aliran listrik diputus.
Mendapat Informasi Kudeta
Setelah semua kumpul di ruang rektor, Lukman Harun menyampaikan informasi yang isinya Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi yang baru dibentuk telah mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Gerakan ini sebenarnya usaha perebutan kekuasaan alias kudeta.
”Menurut informasi yang mendalangi perebutan kekuasaan itu adalah DN Aidit, pimpinan PKI. Negara dalam bahaya. Presiden dan beberapa perwira tinggi tentara hilang belum ada kabar beritanya,” kata Lukman Harun.
”Kondisi ini perlu disampaikan kepada seluruh pimpinan dan anggota Pemuda Muhammadiyah untuk siap dan waspada menghadapi segala kemungkinan,” tambah Lukman Harun.
Prodjokusumo yang bertugas Kementerian Hankam juga menyampaikan hasil breefing di Departemen Hankam kondisi seputar masalah G30S/PKI pagi tadi.
Dari informasi ini Prodjokusumo menyarankan pimpinan Pemuda Muhammadiyah untuk membentuk komando memobilisasi kadernya mewaspadai perkembangan gerakan PKI.
Rapat memutuskan malam itu pukul 21.30 dibentuk satuan komando yang diberi nama Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah. Inilah sejarah Kokam dimulai. Kepanjangan Kokam ini belakangan diubah menjadi Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah.
Letkol S. Prodjokusumo yang tentara RPKAD diangkat menjadi komandan dan kampus UMJ Jalan Limau sebagai markasnya. Peserta pelatihan segera dikumpulkan ke aula. Prodjokusumo sebagai komandan menyampaikan informasi perkembangan politik. Semua peserta setuju dibentuk Kokam pada 1 Oktober 1965 itu.
Tiga Instruksi
Komandan mengeluarkan instruksi, pertama, setiap Cabang Pemuda Muhammadiyah segera dibentuk Kokam dan memberikan laporan ke Markas Besar. Kedua, Angkatan Muda Muhammadiyah di setiap cabang bertanggung jawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di cabangnya.
Ketiga, seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela agama, negara dan bangsa. Keempat, mengadakan kerja sama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan yang anti PKI.
Esoknya tersiar kabar perwira tinggi Angkatan Darat telah diculik oleh G30S/PKI. Para perwira itu Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono Mastirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal DI Pandjaitan dan Brigadir Jenderal Soetojo Siswodimiharjo. Jenderal Nasution lolos tapi putrinya Ade Irma Suryani tertembak.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah KHA Badawi pada 11 November 1965 mengesahkan Kokam dan Prodjokusumo sebagai panglima se-Indonesia. Segera di daerah-daerah dibentuk Kokam untuk menghadapi manuver PKI yang ingin menguasai pimpinan daerah. Prodjokusumo banyak mengisi sejarah Kokam berikutnya.
Di masyarakat konflik orang PKI dengan kelompok anti-PKI makin keras dan berdarah-darah. Kostrad yang mengendalikan keadaan menangkapi tokoh-tokoh PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang. Keadaan yang berbalik ini membuat kelompok anti-PKI bersemangat mengganyang orang-orang PKI, termasuk seniman ludruk.
Sebuah dokumen Central Intelligence Agency (CIA) soal peristiwa 1965 di Indonesia yang dirilis Kedubes AS tahun 2015 lalu menceritakan, rakyat anti-komunis bergerak bersama tentara menumpas PKI. Para pemain ludruk yang kerap memainkan peran menghina agama Islam ditemukan mati.
”Para pemain ludruk yang selama ini berafiliasi dengan PKI dilaporkan mati. Para korban yang sering memainkan peran di atas panggung menghina Islam ditemukan mati dengan luka di leher,” tulis laporan CIA bernomor 15 CIA. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto