Harta Gono-gini Usia Perceraian ditulis oleh Ahmad Syaifuddin SH, Kantor Advokat Ahmad Syaifuddin & Partners Jalan Karto Drono RT. 03 RW. 04 Dusun II Desa Gaprang, Kanigoro, Kabupaten Blitar. HP 0823-9908-9999, E-mail: Danis_alfath@yahoo.com
PWMU.CO – Perceraian dalam sebuah rumah tangga bukanlah sebuah keinginan. Namun perceraian adalah sebuah jalan terakhir bagi keluarga yang sudah tidak menemukan lagi keharmonisan dan kebahagiaan. Sebab jika rumah tangga itu dipertahankan akan lebih banyak kemudharatan yang terjadi.
Perkara perceraian bukanlah suatu hal yang mudah. Namun ketika seseorang memutuskan untuk mengambil jalan perceraian dalam biduk rumah tangganya, maka dia harus siap dengan segala konsekuensi dan atau akibat hukum yang timbul akibat perceraian.
Ada beberapa konsekuensi dan atau akibat hukum yang terjadi setelah percerai. Di antaranya adalah memberikan hak-hak istri yang akan dicerai. Juga memberikan nafkah kepada anak-anaknya hingga usia 21 tahun. Dan soal pembagian harta gono-gini.
Berita Terkait: Kewajiban Suami pada Istri Tak Hilang setelah Cerai
Minimnya Perkara Harta Gono-gini
Dalam hal permasalahan pembagian harta gono-gini, hal ini masih minim terjadi dan atau dilakukan oleh istri atau suami, sebagaimana data Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung.
Pada tahun 2019, pengajuan gugatan terhadap harta bersama dan atau gono-gini sejumlah 1.992 kasus dengan perkara yang diputus sejumlah 1.567 kasus.
Hal tersebut tergolong minim jika melihat data perkara perceraian dengan permohonan cerai talak yang pada tahun 2019 mencapai 355.842 kasus dan cerai gugat dan atau gugatan cerai mencapai angka 124.776 kasus.
Jadi total perkara perceraian sejumlah 480.618. Sehingga perkara gugatan terhadap harta bersama dan/atau gono gini ± 0.4 persen dari perkara perceraian.
Minimnya gugatan pembagian harta gono-gini ini, bisa disebabkan oleh minimnya pengetahuan hukum bagi masayarakat awam khususnya pasangan suami istri tentang harta gono-gini.
Dan hal ini akan menjadikan problematika tersendiri untuk melakukan pembagian atas harta bersama dan atau gono-gini. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui tentang apa itu harta gono-gini.
Apa Itu Harta Gono-Gini?
Gono-gini adalah harta yang diperoleh selama dalam waktu ikatan perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaiman telah diubah dengan UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di situ dikatakan perkawinan yang sah adalah dengan syarat dilakukan dengan hukum masing-masing agama dan keyakinan, dan syarat yang ke 2 adalah di catatkan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Dan ketika pasangan suami istri itu telah berpisah karena perceraian—baik perceraian dengan putusan pengadilan atau perceraian karena salah satu pihak meninggal dunia baik istri atau suami—maka harta bersama tersebut menjadi harta gono-gini dan masing-masing pihak mendapat ½ (satu perdua) atau setengah bagian dari harta gono-gini terebut.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang berbunyi, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”
Dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Yang berbunyi, “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Begitu juga diatur dalam Pasal 128 KUH Perdata yang berbunyi, “Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri.”
Ini artinya setiap sesuatu yang didapat selama masa perkawinan, tanpa melihat siapa yang mendapatkan—baik suami yang bekerja dan istri hanya sebagai ibu rumah tangga dan atau sebaliknya—maka harta tersebut adalah harta bersama.
Pengecualian Harta Bersama
Namun dalam hal ini ada pengecualian sehingga harta yang didapat selama masa perkawinan itu tidak menjadi harta bersama. Pertama, jika pasangan suami istri itu ada perjanjian perkawinan pemisahan harta. Sehingga dalam hal ini tidak ada namanya harta bersama. Dan jika terjadi perceraian, masing-masing pihak bisa membawa dari harta yang didapatkan.
Kedua, harta yang didapat adalah dari harta warisan, hibah, dan wasiat. Hal ini mendasarkan pada Pasal 35 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
“Harta bawaan dari masing-asing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Pasal 87 Ayat 1 Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Ketiga harta yang diperoleh sebelum masa perkawinan (harta bawaan) hal ini mendasarkan pada Pasal 35 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 87 Ayat 1 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Menyegerakan Pembagian Gono-gini
Permasalan terkait pembagian harta gono-gini harus disegerakan. Karena jika tidak disegerakan akan menimbulkan beberapa permasalah baru. Pertama permasalahan itu bisa timbul jika pihak yang menguasai harta gono-gini yang belum dibagi (baik suami atau Istri), telah mempunyai pasangan baru.
Tak jarang harta gono-gini yang diperolah dari pasangan yang lama, dijual dan dipakai untuk usaha baru, sehingga harta gono-gini dengan pasangan yang lama, sudah bercampur dengan harta bersama dengan pasangan yang baru.
Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan baru dari anak-anak dan atau cucu-cucunya dari pihak masing-masing. Meraka akan saling mengklaim. Di mana anak-anak dan atau cucu-cucu dari pasangan yang lama, akan mengklaim bahwa harta yang sekarang yang ada didapat saat masih bersama dengan ayah atau ibunya dan begitu juga sebaliknya.
Sehingga dampak terburuk adalah akan terjadi perselisihan dan atau permusuhan serta perpecahan keluarga. Dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi tindakan-tindakan pidana serta perbuatan melanggar hukum.
Kedua permasalahan lain yang timbul jika harta gono-gini tidak disegerakan untuk dilakukan pembagian setelah perceraian terjadi, maka adanya pihak-pihak lain yang hak-haknya belum muncul atas harta gono-gini. Seperti anak yang meminta bagian dari harta gono-gini tersebut, dan hal ini juga akan menimbulkan perselisihan dan atau permusuhan serta perpecahan keluarga.
Ketiga, salah satu pihak yang menguasai harta bersama dan atau gono-gini tidak mau memberikan dan atau membagi dengan mantan istri atau suaminya. Ada berbagai alasan dan permasalahan poin ketiga ini yang sering kita jumpai di masyarakat. Untuk itulah akan lebih baik jika pembagian harta goni-gini untuk disegerakan setelah terjadi perceraian.
Permasalahan pembagian harta gono-gini di samping harus disegerakan, juga akan lebih baik dan bagus, jika pembagian dilakukan secara musyawarah, tanpa melalui proses di pengadilan.
Namun jika jalan musyawarah tidak menemukan titik temu, maka hukum kita telah menjamin dan atau mengaturnya dengan cara bisa mengajukan gugatan melalui peradilan. Baik peradilan agama bagi orang yang beragama islam dan Pengadilan Negeri bagi orang-orang non-Islam. (*)
Editor Cara Membagi Harta Gono-Gini Mohammad Nurfatoni.