Islam dan Pertarungan Dua Khilafah Pasca-Pandemi. Kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior, tinggal d Surabaya.
PWMU.CO – Wabah Covid 19 adalah guncangan besar (the great disruption), yang mengguncang tatatan sosial, politik, dan ekonomi dunia.
Sampai sekarang perang melawan Covid 19, yang disebut sebagai musuh yang tidak kelihatan (the invisible enemy) masih berlangsung, dan tidak diketahui siapa yang bakal muncul sebagai pemenang. Kendati demikian, masyarakat dunia bersikap seolah-olah perang ini segera selesai dalam waktu dekat.
Hal itu terlihat dari mulai dikendorkannya pelbagai kebijakan pembatasan sosial di beberapa negara di dunia, termasuk di Indonesia. Sampai sejauh ini jumlah yang terjangkit di seluruh dunia menyentuh angka 5 juta orang dengan jumlah korban meninggal lebih dari 300 ribu jiwa.
Grafiknya memang menunjukkan penurunan, atau paling tidak melandai, tetapi tidak ada jaminan pandemi akan segera berhenti.
Tetapi, orang sudah banyak berbicara mengenai life after the pandemic, hidup setelah pagebluk. Banyak orang sudah bersiap dengan tata cara hidup baru yang disebut sebagai The New Normal.
Jungkirbalikkan Dunia
Pandemi ini telah menjungkirbalikkan tatanan dunia. Jelas terbukti bahwa tidak ada satu pun negara di dunia yang siap menghadapinya, termasuk dua negara yang disebut sebagai terkuat di dunia, Amerika Serikat dan China.
Disrupsi besar ini merupakan konseksuensi logis dari globalisasi dunia yang ditandai dengan mengalirnya barang dan jasa dari berbagai penjuru dunia melewati sekat geografis negara bangsa. Bersamaan dengan itu, wabah penyakit pun mengikuti alur globalisasi.
Dimulai dari China pada sekitar Maret, wabah ini langsung menyeberang ke Eropa dan menyasar Italia yang kalang kabut karena tidak siap. Dari Italia pagebluk turun ke Spanyol dan menyeberang ke Iran yang dengan cepat menulari Turki dan tetangga-tetangga terdekat. Dari Eropa, wabah kemudian menyeberangi Atlantik menembus ke Amerika Serikat yang kelabakan.
Timur Tengah dengan cepat ditembus. Asia Selatan dan Asia Tengah sampai ke Rusia akhirnya juga takluk oleh sang penyerbu. Di Asia Timur dan Tenggara penyerbu masuk tak terhalangi lagi. Setelah Amerika Selatan takluk, musuh menyerbu Afrika sebagai wilayah terakhir yang ditaklukkan. Total 120 lebih negara sudah jatuh ke tangan lawan yang tidak kelihatan.
Rumus Tak Jelas The New Normal
Sekitar empat bulan, dunia menghadapi perang besar dan dunia menyerah kalah dan angkat tangan. Ekonomi berantakan dan tatanan sosial bubrah. Yang bisa dilakukan adalah berdamai dengan lawan. Muncullah tata dunia baru yang disebut sebagai The New Normal.
Rumusannya tidak jelas dan sangat bervariasi. Tapi, secara umum tata normal baru itu mengatur kehidupan sosial pasca-pandemi yang ditandai dengan limitasi pergerakan manusia dan pembatasan interaksi dengan penerapan penjagaan jarak, social and phisycal distancing.
Dengan rumus sederhana ini, dunia yang semula dengan gagah mengumumkan perang lawan pandemi, harus mengibarkan bendera putih dan harus mau hidup berdampingan dengan sang musuh.
Sambil gencatan senjata, dunia berpacu dengan waktu, race against time, untuk segera menemukan vaksin yang bisa mengalahkan sang lawan. Semua mengaku sudah hampir menemukan vaksin penawar. Tapi kapan kepastiannya dan seberapa efektivitasnya, tidak ada yang berani menjamin.
Dunia sudah tak tahan lagi melakukan perang gerilya ala lockdown yang melelahkan ini. Pilihan terbaik adalah berdamai, meskipun risikonya sangat besar karena potensi bahaya tidak bisa diprediksi secara tepat.
Dilema dunia seperti simalakama. Tetap melawan melalui lockdown membawa akibat mematikan karena ekonomi mandeg menyebabkan resesi dan depresi. Jumlah pengangguran bisa mencapai 500 juta orang dan lebih dari 50 juta orang akan menjadi orang miskin baru.
Di sisi lain, menyerah kepada lawan dengan cara membuka diri juga berisiko besar, karena setiap saat lawan bisa menerkam dan ledakan korban bisa jauh lebih mengerikan. Para ahli kesehatan dengan keras mengingatkan bahaya perdamaian ini. Perdamaian ini terlalu dini, dan bahaya besar setiap saat siap menerkam.
Tapi, para pengelola ekonomi tak peduli. Tidak ada pilihan lain kecuali berdamai supaya roda ekonomi segera bergerak lagi. Pilihan ini bisa fatal, tapi harus tetap diambil dengan berbagai risiko.
Dengan membuka diri berarti membiarkan musuh leluasa menyerang, dan membiarkan korban berjatuhan sampai musuh kenyang dan jenuh, lalu manusia yang survive punya kekebalan, sehingga senjata musuh tidak mempan lagi.
Itulah gambaran strategi herd immunity, kekebalan kelompok, yang sekarang ramai-ramai diterapkan di seluruh dunia. Ini adalah kekejaman sosial yang tidak bermoral karena mengumpankan warga negara yang lemah menjadi santapan penyakit.
Teori Darwin dan Herd immunity
Inilah pertarungan Darwinisme sosial, the survival of the fittest, yang lemah akan punah dan yang kuat akan bertahan.
Hanya rezim fasis sajalah yang secara sadar mengadopsi kebijakan ini. Hanya rezim fasis yang tidak berperikemanusiaan yang tega menerapkan kebijakan ini. Badan Kesehatan Dunia WHO jelas dan tegas mengecam kebijakan herd immunity ini.
The New Normal bukan hanya melahirkan tata sosial baru, tapi juga memunculkan tatanan geopolitik dan kepemimpinan internasional yang baru. Amerika Serikat yang sejak 1990 menjadi adidaya tunggal dunia pasca-runtuhnya Uni Soviet, akan kehilangan kekuasaannya. China yang selama ini membayangi Amerika Serikat, akan muncul sebagai kekuatan alternatif.
Amerika kehilangan kepercayaan publik internasional karena telah gagal menunjukkan kepemimpinan internasional dalam menghadapi pandemi ini. Alih-alih menjadi pemimpin internasional Amerika di bawah Donald Trump malah babak belur mengatasi wabah ini di dalam negerinya sendiri.
Sementara China lebih berpeluang menyalip Amerika untuk menjadi pemimpin baru dunia, meskipun reputasinya tercoreng karena tuduhan sengaja menyebarkan wabah ini ke seluruh dunia. Tuduhan ini sampai sekarang tidak terbukti. Tetapi, Amerika dan sekutunya di Eropa tetap mengembuskan isu itu sebagai bagian dari perang memperebutkan kepemimpinan internasional.
Dalam tata dunia baru di bawah new normal itu Amerika dan China akan terlibat dalam duel perang dagang yang hebat dan semakin terbuka. Kali ini China akan all out, habis-habisan mengeluarkan kemampuannya untuk mengalahkan Amerika. Apa yang diprediksi oleh Huntington sebagai benturan peradaban, the clash of civilization, sekarang terbukti.
Dalam prediksinya Huntington menyebut empat peradaban besar dunia akan berbenturan, yaitu peradaban Barat-Kristen, Konfusianisme-Timur, Ortodokisme-Eropa Timur, dan Islam.
Perang pandemi dan pasca-pandemi ini memamerkan perseteruan Barat vs China. Ortodokisme Eropa Timur yang selama ini diwakili Rusia kali ini belum bisa unjuk kekuatan karena Rusia sendiri kalang kabut diserang pandemi.
Bagaimana dunia Islam?
Bagaimana dengan kekuatan Islam? Belum tampak juga. Reaksi negara-negara berperadaban Islam masih terbatas defensif. Arab Saudi buru-buru menutup diri dan membatasi pelaksanaan haji tahun ini.
Turki, yang selama ini digadang-gadang bisa menjadi representasi kebangkitan Islam, tak mampu menunjukkan kepemimpinannya dalam krisis ini karena sibuk mengurus diri sendiri. Iran yang selama ini galak juga loyo menghadapi serangan mendadak ini. Di Asia selatan kiprah Pakistan nyaris tidak terdengar.
Indonesia dengan 200 juta lebih penganut Islam juga sama-sama gagap. Alih-alih menjadi kekuatan yang bisa memcecahkan masalah, umat Islam Indonesia malah menjadi faktor yang memperburuk masalah. Disiplin yang rendah dan kesadaran sosial yang parah membuat umat Islam Indonesia potensial menjadi korban massal pandemi ini.
Walhasil, di arena The New Normal, ketika dua gajah China dan Amerika—dua ‘khilafah’ modern—bertarung, Islam seolah menjadi pelanduk yang setiap saat mati terinjak-injak. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.