PWMU.CO– Pancasila 1 Juni 1945 menjadi pembicaraan setelah terungkap AD-ART Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyebutkan menjadikannya asas dan misi partai.
Pancasila 1 Juni adalah pidato Bung Karno di depan sidang BPUPKI saat membahas dasar negara. Susunan Pancasila yang diusulkan Bung Karno terdiri 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan.
Rumusan ini berbeda dengan Piagam Jakarta yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan yang ditandatangani 22 Juni 1945. Juga berbeda dengan rumusan Pancasila yang telah disahkan dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang berlaku sekarang ini.
Asas dan misi dalam AD-ART PDIP yang akan memperjuangkan Pancasila 1 Juni 1945 menimbulkan pertanyaan sepertinya mengabaikan Pancasila resmi yang berlaku saat ini.
Menarik untuk melacak, sebenarnya dari mana saja sumber pemikian Soekarno mengusulkan rumusan dasar negaranya. Walaupun dia menyebutkan dasar negara itu digali sendiri dari bumi Indonesia tapi dalam pidatonya itu jelas sekali pikirannya dipengaruhi oleh Adolf Baars, gurunya di HBS Surabaya. Lalu mencuplik ajaran Dr Sun Yat Sen dengan San Min Chu I. Yaitu Mintsu, Min Chuan, Min Sheng. Artinya, nasionalisme, demokrasi, sosialisme.
Bung Karno berkata, “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya, katanya, jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia. Jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun.”
Kemudia dia melanjutkan, ”Itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya. Ialah Dr Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles. Saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three Peoples Principles itu.”
”Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen, sampai masuk ke lubang kubur.”
Nama Pancasila dari Temannya
Tentang penamaan Pancasila, Bung Karno juga mengaku itu buka ide dia tapi saran dari temannya yang ahli bahasa. Bung Karno tak menyebut nama, tapi banyak orang menduga teman ahli bahasa yang dekat dengan Soekarno adalah Mohammad Yamin yang juga berpidato di sidang BPUPKI di hari pertama 29 Mei 1945.
Yamin juga mengusulkan dasar negara terdiri lima rumusan. Yaitu Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri-Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Bung Karno menjelaskan, “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar.”
Endang Syaifuddin Anshari dalam bukunya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 mengatakan, bukanlah dari bumi Indonesia Soekarno menggali Pancasilanya. Ide-ide dan sumber-sumber luar memegang peranan penting dalam pelahirannya.
Begitu juga istilah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi yang mengisi Trisila bukanlah asli konsep dari bumi pertiwi ini tapi pemikiran luar. Sosio-nasionalisme terdiri paham internasionalisme dan nasionalisme. Sosio-demokrasi mencakup demokrasi dan keadilan sosial.
Dua istilah itu pernah dipakai menjadi asas Partai Indonesia (Partindo) dalam konferensi di Mataram tahun 1933. Sosio-demokrasi dan Sosio-nasionalisme itulah yang disebut Marhaenisme.
Mohammad Yamin waktu mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) juga memakai asas Sosio-demokrasi dan Sosio-nasionalisme tahun 1939.
Jadi kalau sekarang PDIP menafsirkan Pancasila dengan perasan Trisila yang berisi Sosio-demokrasi dan Sosio-nasionalisme maka partai itu hendak menyebarkan paham Marhaenisme menjadi dasar negara.
Istilah Ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban yang sering disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati juga berasal dari Bung Karno dalam pidato 1 Juni itu.
Bung Karno menjelaskan,”Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain.” (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto