Jangan Tersandera Dikotomi Ilmu ditulis oleh Syamsul Arifin, Guru Besar Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam; Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan AIK Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Dari buku Dua Budaya—atau dalam versi aslinya, The Two Cultures, ditulis Charles Percy Snow (C. P. Snow), buku lama tetapi masih kontekstual—saya dapat menarik satu pelajaran.
Bahwa sebaiknya kita jangan tersandera oleh polaritas atau cara pandang dikotomik yang memperten tangkan disiplin keilmuan. Misalnya antara humaniora dengan ilmu-ilmu kealaman: memandang tinggi yang satu, merendahkan lainnya.
Ilmu pengetahuan telah berkembang dengan begitu luas dan cepat pula seturut dengan konsep scientific revolution dari Thomas S. Khun, karena memang demikian perkembangannya. Tanpa disadari kita seperti menikmati hidup dalam kotak-kotak keilmuan dan menempatkan beragam ilmu pengetahuan secara hirarkis-vertikal, alih-alih horisontal.
Tentu upaya yang perlu diapresiasi setinggi-tingginya jika ada seorang ahli yang coba memperjumpakan beragam keilmuan seperti dilakukan oleh fisikawan cum filsuf asal Austria. Seperti dituliskan dalam beberapa bukunya, terutama yang paling masyhur dan telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa termasuk bahasa Indonesia, The Tao of Physic.
Saya kutip sebagian kata pengantar Capra sekadar untuk memahami latar belakang munculnya buku itu. “I was visiting by the ocean one late summer afternoon, watching the waves rolling in and feeling the rhythm of my breathing, when I suddenly became aware of my whole environment as being engage in gigantic cosmic dance.”
Perhatikan pernyataannya pada bagian akhir kutipan tersebut, “… when I suddenly became aware of my whole environment as being engage in gigantic cosmic dance.”
Ungkapan bernada spiritual-metafisis Capra mengingatkan saya pada Albert Enstein yang akan saya kemukakan pendapatnya pada paragraf yang lain di sini.
Belajar dari Akedemsi UMM di Luar Negeri
Saya teringat buku tipis Two Cultures, yang ditulis seorang saintis cum filsuf dan sastrawan itu, setelah beberapa kali terlibat perbincangan secara virtual dengan beberapa akademisi UMM yang tengah bertungkus lumus menyelesaikan studi doktoral mereka di luar negeri.
Di antara mereka ada yang di New Zealand, Australia, Jepang, Taiwan, Turki, India, dan Eropa.
Perbincangan dengan mereka—ada yang sekadar menggunakan text chat dan dengan beberapa lainnya melalui video call—diperantarai oleh platfotm digital temuan Jan Koum asal Ukraina yang tumbuh besar di Amerika Serikat: WhatsApp.
Inilah perasaan pertama yang muncul pada diri saya: excited! Saya seperti memeroleh semangat baru, tetapi mungkin terkesan naif. Karena sempat muncul penyesalan terhadap ketidakseriusan saya di masa-masa terdahulu dalam memelajari bahasa Inggris yang menjadi salah satu modal kuliah di luar negeri.
Belajar di luar negeri sama halnya dengan menikmati atmosfir yang berbeda dengan belajar di dalam negeri. Fokus dan berada di suatu work station dengan suasana keheningan level tinggi, adalah salah satu atmosfir yang bisa dirasakan.
Di Curtin University, setahun yang lalu, seorang kandidat doktor dari Indonesia mengajak saya ke ruang kerjanya atau work station yang disertai permintaan berkali-kali agar menjaga ketenangan.
Saya tidak kaget dengan permintaan yang demikian karena selama sebulan saya merasakannya sewaktu mendapat beasiswa sebagai peneliti tamu di Oslo, Norway, setahun setelah saya mendapat gelar doktor dari IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Atmosfir lainnya, meskipun tidak bisa dirampatkan secara menyeluruh (generalisasi), adalah semacam proksimitas antara mahasiswa dan profesor.
“Saya bekerja di ruang yang sama dengan profesor saya. Saya sering menggunakan mesin pembuat kopi (coffee maker) yang ada di ruang kerja profesor saya,” kata Mas Yuda, dosen Teknik Informatika, yang sedang studi di New Zealand.
Keakraban terlihat pula antara Bu Tutu (dosen Fikes) dengan Lin, Mei-Feng, profesor di National Cheng Kung University, Taiwan. Saya melihat keakraban mereka berdua melalui i. Karena begitu akrabnya, Bu Tutu gampang saja meminta profesornya itu menjadi nara sumber dalam webinar kepenulisan di UMM. Dan Profesor Mei-Feng dengan enteng pula bersedia sebagaimana disampaikan secara langsung kepada saya via video call.
Setidaknya atmosfir semacam itu yang dibutuhkan karena kompleksitas yang dihadapi oleh kandidat doktor. Mendengarkan paparan beberapa di antara mereka terkait proyek riset yang harus terpublikasi. Tidak hanya satu, bahkan dua saja belum cukup, terkadang diselesaikan di beberapa negara.
Teringat Clifford Geertz
Saya lalu dihinggapi perasaan berikutnya: perambahan keilmuan para kandidat doktor itu jauh lebih kompleks dan menantang.
Padahal keilmuan saya di bidang sosiologi—lebih menyempit lagi sosiologi agama—juga memiliki keunikan dan menantang pula dalam mengkajinya. Kendati tidak sedikit yang menganggapnya sepele.
Di perpustakaan pribadi saya, terdapat 20 buku yang ditulis Cliff, sapaan akrab Clifford Geertz. Tentu buku The Religion of Java yang belakangan diterbitkan lagi dalam edisi bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu setelah beberapa dekade sebelumnya diterbitkan oleh Pustaka Jaya, merupakan salah satu yang terkoleksi.
Kepada Baskara T. Wardaya, dosen Universitas Sanata Dharma yang antara lain menyunting buku Membangun Republik, Cliff menceritakan ihwal kajian etnografisnya di Mojokuto, samaran dari Pare, Kediri.
Sebelum ke Pare pada 1950-an, Cliff harus belajar bahasa Indonesia, kemudian ke Belanda untuk membaca naskah terkait Indonesia, lalu selama delapan bulan belajar bahasa Jawa di Yogyakarta. Perjalanan yang lumayan panjang, belum termasuk lama penelitiannya di Pare.
Sewaktu misalnya meneliti Hizbut Tahrir di Indonesia yang kemudian diterbitkan lagi dengan tajuk Utopia Negara Khilafah, dan contoh berikutnya pada gilirannya saya bisa memublikasikan Attitudes to Human Rights and Freedom of Religion or Belief in Indonesia, perjalanan dan persiapan yang dibutuhkan tidak sepanjang dan selama Cliff.
Tetapi tetap saja dalam menekuni salah satu ranting dari ilmu-ilmu sosial ini, saya merasakan sesuatu yang kompleks, menantang. Belum lagi terkadang stigma sebagai “liberalis” dengan konotasi peyoratif setelah merambah topik-topik seperti HAM, pluralisme, fundamentalisme, dan multikulturalisme.
Studi yang Kompleks
Pengalaman yang kurang lebih sama dirasakan oleh kawan-kawan saya dan kita yang sedang studi doktoral di luar negeri, yang sebagian besar rumpun dan cabang keilmuannya tidak sama dengan yang saya tekuni.
Kompleks, juga dibutuhkan ketekunan dan kehati-hatian, serta mungkin menjenuhkan karena di antara mereka ada di labarotiroum mulai pagi hingga petang, bahkan sampai hari dibekap gelap.
“Saya wajib bikin paper yang harus termuat di jurnal internasional bereputasi level Q1,” cerita mahasiswa doktor di Portugal yang masih terlihat ‘culun’ dari layar smartphone saya sewaktu video call dengannya pada waktu dini hari di sana.
“Pada mulanya hanya dua yang diminta. Tetapi profesor saya menambahkan satu lagi, setidaknya submitted,” tambahnya yang menyebut dirinya sebagai solo traveller.
“Memang berat di awal Prof. Tetapi pada saat defence disertasi nanti, biasanya sekadar ajang curhat,” imbuhnya sambil tertawa lepas. “Terkadang menjenuhkan. Karena itu saya sempatkan badminton, Prof,” kata dosen peraih beasiswa LPDP yang biasa saya panggil Mas Tomi.
Kepada dosen yang lain, saya bahkan meminta penjelasan berkali-kali ihwal topik yang ditelitinya. Setelah rampung dari magister di Jepang, Hiroshima University, sekarang Mas Oka, dengan sebutan ini saya sering menyapanya, melakukan riset dalam bidang Molecular Biology di tiga kampus di tiga negara Eropa di bawah program Ph. D Project EU Horizon 2020.
“Saya sedang riset food immunology, Pak,” jelasnya ketika saya tanya tentang riset yang sedang dilakoni. Seingat saya Mas Oka pernah menyebut WUR (Wageningen University & Research), salah satu tempat risetnya. Menyebut nama kampus ini, ingatan saya langsung tertuju kepada majalah bulanan yang saya langgan, National Geographic Indonesia.
Pada edisi September 2017 dengan topik utama Mengkahiri Kelaparan, Natgeo, sebutan akrab majalah ini, mengulas WUR dan menulis secara tegas, WUR telah dikenal luas sebagai lembaga penelitian nomor satu di dunia. Ditambahkan oleh Natgeo, WUR adalah pusat Food Valley, sebuah kompleks besar perusahaan pengembang teknologi pertanian dan pertanian eksprimental.
Saya tidak ingin terlalu jauh memasuki kedalaman riset Mas Oka. Sebab ketika saya membandingkan dengan Nutrasetikal (nutraceutic), nomenklatur yang hendak dipilih oleh Direktorat Vokasi UMM sebagai usulan program studi baru, food immunology, memiliki perbedaan subjek berikut implikasi penelitiannya.
Nutrasetikal, jelas Mas Oka, mengarah ke herbal. Sedangkan penelitiannya menekankan pada metabolisme dan microbiology dengan menggunakan pendekatan NGS dan bioinformatik.
Saya tidak ingin mengetahui terlalu jauh, karena kian jauh, saya bisa dibuat pening karenanya. Kata NGS pun tidak ingin saya tanyakan. Cukup saya ketahui dari Google yakni, Next Generation Sequencing. Cukup hingga di situ. Berikutnya, apa itu misalnya bioinformatik, biarlah menjadi kosa kata Mas Oka dan kawan-kawan yang sebidang dengannya.
Namun ketika dia mengapresiasi kerja penelitian di UMM, juga mengkritiknya, apalagi ketika ditawarkan kepada saya sebuah lembaga bernama Multidiciplinary for Development Valorization Tecnology, saya mendiskusikan hingga lumayan detail.
Apalagi lembaga ini, di samping bisa menampung beragam keahlian di UMM, juga berpotensi besar menyasar pemberi hibah riset, yang kata Mas Oka, tidak hanya pemerintah, juga internal UMM, tetapi juga dunia industri dan kampus-kampus di luar negeri.
Soal Riset di UMM
Bila ingin menuju Research University atau World Class University (WCU), Mas Oka mengingkatkan agar manajemen riset di UMM sejak dari hulu hingga ke hilir perlu dibenahi.
Masukan yang juga disampaikan oleh beberapa dosen muda dan senior di UMM agar berdampak pada luaran dan capaian yang signifikan seperti publikasi di jurnal bereputasi terutama internasional dan income generating bagi UMM.
Saya menyukai pada penamaan lembaga itu karena menyertakan konsep multidisiplin. Multidisiplin bisa dikatakan sebagai alternatif The Two Cultures. Multidisiplin adalah kesadaran terhadapnya adanya perjumpaan berbagai disiplin keilmuan terutama pada aspek epistemologi dan jika coba di bawah ke ranah kajian filsafat ilmu.
Karena memang adanya multidisiplinaritas pada ranah itu, semua bidang keilmuan memiliki otoritas yang sama untuk memahami dan mengeksplorasi ranah ontologi yang sejatinya monistik secara metafisis.
Ranah ontologis yang kepadanya kerja-kerja keilmuan dicurahkan, sejatinya berasal dari Tuhan sebagai Causa Prima di samping sebagai Ultimate Cause semua penciptaan.
Tuhan Tak Bermain Dadu
Secara metafisis pula, ciptaan Tuhan bisa dikatakan sebagai teofani, cara Tuhan memerlihatkan diri-Nya. Alih-alih sebagai zat, tetapi kemahakuasaan.
Sampai di paragraf ini, saya teringat pernyataan Ismail Raji al Faruqi, “…where God is not merely an absolute, ultimate first cause or principle but a core normativeness,” dalam at-Tawhid Its Implication for Thought and Life yang terbit pada 1982.
Karena memang demikian karakternya, alih-alih agama dan ilmu agama saja yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, ilmu-ilmu yang terlihat secara superfisial “sekuler” pun, bisa mendekatkan ilmuwan kepada Tuhan.
Seharusnya demikian, seperti ungkapan Albert Enstein, “God does not play dice with the universe.” Dengan mengatakan demikian, Einsten bisa dikatakan mengalami apa yang ingin saya katakan, orientasi aksiologis dan spiritual paling puncak. Dalam al-Quran, surat Ali Imran ayat 191 terdapat potongan ayat dengan terjemahan sebagai berikut, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.”
Ketidaksia-siaan, atau, “Tuhan tidak bermain dadu” menunjukkan bahwa pada kosmos (alam) baik besar (makro kosmos) dan kecil (mikro kosmos) terdapat dimensi ilahiah, berupa keteraturan atau regularitas yang memang disiapkan oleh The Great Creator, Tuhan. Maka manusia sebagai The Second Creator, mudah memahami, mengeksplorasi, memprediksi, bahkan dalam batas-batas tertentu mengendalikannya.
Perlu ditambahkan pula, dengan memahami dimensi ontologis secara demikian, maka setiap bidang ilmu memiliki status yang sama karena sejatinya pula semua ilmu pengetahuan kendati secara epistemologis dan metodologis berbeda, tetapi dalam rangka memahami ciptahan Tuhan.
Beberapa dosen UMM yang sedang bertungkus lumus studi doktoral, di dalam dan luar negeri, dan kita yang sedang riset, ketika memulai riset mungkin tidak berawal dari membaca ayat-ayat tertertu dalam al-Quran atau dalil tertentu di kitab hadits.
Tetapi saya meyakini—mungkin karena pergumulan agama dan spiritual tertentu, mudah-mudahan kita memiliki kesadaran ontologis metafisik-spiritual—bahwa ilmu yang sedang kita tekuni pada dasarnya dalam rangka membaca dan menghayati keteraturan kosmis. Seperti yang diungkap Fritjof Capra, “A gigantic cosmic dance” (tarian kosmik yang mahabesar), yang bermuasal dari Tuhan.
Jadi, ilmu pengetahuan itu memiliki status yang sama. Karena itu tidak elok kalau kita menciptakan kasta sosial, bahkan agama, hanya didasarkan pada penguasaan ilmu-ilmu tertentu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.