
PWMU.CO – Psikologi bahagia saat terpuruk dikupas oleh Trainer Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Hypnoterapi Drs Asep Haerul Gani.
Hal itu dia sampaikan dalam Pengajian Ahad Malam yang diselenggarakan oleh CEO Parahita M Sulthon Amien via aplikasi Zoom, Ahad (5/7/2020).
Kebahagiaan ala Al-Ghazali
Menurut Kang Asep, sapaan akrabnya, kebahagiaan tidak tercapai kalau tidak melakukan pengenalan dengan empat hal. Yakni mengenal diri kita, mengenai Allah, mengenal dunia ini dan mengenal kehidupan setelah dunia.
“Mengenal diri menjadi lebih penting karena merupakan perangkat untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Mizanul Amal Al-Ghazali menggunakan kata sederhana ilhal yakni ilmu, hal, dan amal. Ilmu psikologi modern menggunakan kognitif, hal adalah afektif dan amal adalah tindakan,” ujarnya.
“Jadi penting bagi kita mempunyai pemikiran yang baik, mengelola emosi yang baik dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan ucapan, gerak-gerik kita dan tingkah laku yang baik,” tambahnya.
Dalam beberapa kitabnya Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ilhal ini adalah insan yang baik, insan yang mampu berbuat ihsan dan amalan shalihan.
“Dalam an-nafs psikologinya Al-Ghazali, ilmu psikologi diperlukan dalam rangka mengenal diri, mengokohkan agama, bermasyarakat dan bernegara. Sehingga kebahagiaan tidaklah mungkin tercapai apabila seseorang tidak mengenal di atas itu. Bagaimana pikirannya bekerja dan bergerak,” ungkapnya.
Orang tidak bahagia, sambungnya, bila tidak mengenali bagaimana emosi itu bergerak. Bagaimana keadaan dalam emosi-emosi berespon terhadap apa, menghasilkan efek apa kemudian ke tubuh hubungannya seperti apa.
“Jadi sulit bahagia kalau seseorang tidak memahami dinamika bagaimana kaitan antara pikiran, fisiologi dia, dan reaksi-reaksi,” imbuhnya.
Berikutnya adalah amal. Al-Ghazali menyatakan bahwa sangat sulit seseorang bahagia sejati kalau seseorang itu amalnya tidak dalam bentuk akhlak. Menarik ketika Al Ghazali mendefinisikan akhlak. Akhlak adalah sesuatu perilaku yang sifatnya otomatis tanpa dipikir lagi.
“Misalnya saya bertemu Pak Sulthon dan saya hormat karena beliau CEO Parahita, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim. Hormat karena aspek-aspek itu maka saya belum berakhlak, karena akhlak itu sifatnya otomatis. Jadi kalau saya otomatis tanpa berpikir melakukan penghormatan kepada Pak Sulthon maka itu maknanya berakhlak,” paparnya.
Awas Kebahagiaan Hedonis
Ada tokoh psikologi modern yang mendapatkan hadiah Nobel Daniel Kahneman. Menurut penelitiannya ada beberapa orang yang mengartikan bahagia dengan bahagia hedonis. Bahagia hedonis itu sifatnya sementara.
“Contoh kita mendapatkan lotre. Kita senang dan itu senangnya sebentar saja. Ada penelitian terhadap orang yang mendapat lotre dan juga dilakukan di Indonesia, tingkat kebahagiaan mereka hanya hitungan hari. Dalam beberapa pekan, bulan dan tahun kemudian mereka mengalami depresi. Itu kebahagiaan semu,” jelasnya.
Maka dalam pendekatan psikologi positif Martin Seligman mengenalkan istilah authentic happiness atau kebahagiaan otentik. Bahagia otentik ini sifatnya long lasting, jangka panjang dan bertahan lama.
“Tidak terpengaruh apakah kita mendapatkan kekayaan, kemiskinan, tantangan atau malapetaka. Orang bisa saja menemukan kebahagiaan justru di saat-saat yang sifatnya krisis,” ungkapnya.
Menurutnya orang bisa mendapatkan kebahagiaan di saat dia terpuruk. Mendapatkan kebahagiaan dalam kemiskinan dan penderitaan.
“Jadi kebahagiaan tidak ada kaitanya dengan tidak sengsara. Selama sengsara itu membawa nikmat maka bahagia juga namanya,” tegasnya.
Character Strength
Karena itu, lanjutnya, Martin Seligman lebih mengartikan bahwa bahagia bukan hanya berkaitan dengan positive feeling tapi positive character. Maka dia menggunakan istilah character strength atau kekuatan-kekuatan karakter.
“Kalau ini dikaitkan dengan contoh-contoh baginda Rasul maka rasul itu bahagia walaupun kalau kita cermati dari sisi tarikh penuh dengan ancaman, tantangan, kesulitan hidup penderitaan. Tetapi Rasul bahagia karena yang terjadi meskipun dalam tantangan seperti itu beliau berada dalam positive character,” urainya.
Sebagai ilustrasi karakter beliau adalah al-Amin atau dapat dipercaya. Dapat mengamankan barang orang lain dan dapat diamanahi. Ketika terjadi banjir di kota Mekah, Masjidil Haram berada di tengah-tengah lengkungan bukit, maka dulu ketika hujan peluang banjir sangat besar. Bahkan dengan sistem yang sekarang masih sering kita dengar Masjid al-Haram kebanjiran. Bahkan waktu itu Hajar Aswad sampai terlepas.
“Untuk memasang Hajar Aswad merupakan nilai kehormatan bagi suku-suku di Arab. Sehingga kabilah bertengkar satu sama lain untuk mendapatkan kehormatan itu. Maka disepakati diserahkan kepada orang yang pertama kali datang,” terangnya.
Meski sebenarnya Muhammad dimusuhi tapi dia punya karakter al-Amin tadi. Maka mereka percaya Rasul akan amanah dan dijadikan komando pemasangan Hajar Aswad. Maka rasul tahu persis dengan psikologinya orang Arab, bahwa kehormatan-kehormatan mereka dijaga.
“Perilaku yang sederhana itu adalah perwujudan strength character tadi. Kebahagiaan tidak lagi karena rosul mendapatkan kesengsaraan, tetapi karena rasul menunjukkan character strength-nya,” ujarnya.
Keberhasilan Juga Didukung Kelemahan
Pertanyaan sebenarnya, menurutnya, apa saja character strength kita. Untuk menjawabnya sederhana saja. Coba diingat peristiwa dalam hidup yang dianggap paling berhasil. Macam-macam jawabnya. Bisa karena naik jabatan, bisa menyekolahkan anak, bertahan dalam pandemi dan lainnya.
“Kemudian setelah itu coba diingat-ingat menurut anda sendiri apakah kekuatan anda. Misalnya kreatif, tekun, jujur dan mampu meyakinkan orang lain. Setelah itu tuliskan kelemahan kelemahan anda. Misalnya kadang pemarah,” ajaknya.
Anda akan kaget ketika menarik garis antara kekuatan, kelemahan dan kesuksesan. Kalau kebahagiaan bisa dimaknai keberhasilan, maka ada penelitian bahwa keberhasilan juga bisa didukung oleh kelemahan dan oleh strength-strength kita.
“Memperbaiki kelemahan hanya membuang waktu, lebih baik sadari kekuatan kita. Kita punya kekuatan apa, pertajam kekuatan kita, kemudian optimalkan kekuatan kita dalam konteks kehidupan,” tegasnya.
Nabi Muhammad menggunakan character strength dari keempat sahabatnya tanpa melihat kelemahan atau weaknessnya. Sehingga kekuatan mereka menjadi optimum. Jadi memperkuat dakwah dan penyebaran Islam.
“Pendidikan kebahagiaan diawali dengan mengetahui character strength setiap anak. Sehingga kita tidak cocok lagi membandingkan satu anak dengan anak yang lainnya. Karena setiap anak mempunyai character strength yang bisa jadi beda,” paparnya.
Dimensi Waktu
Menurut Martin Seligman kalau dilihat dari waktu maka orang yang bahagia itu bisa dilihat dari dimensi waktu. Dimensi waktu ada tiga yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
“Martin Seligman menggunakan istilah orang yang bahagia itu pertama mengalami kepuasan masa lalu. Berarti dia puas dengan masa lalu dan tidak menyesalinya. Kalau ada orang yang tidak puas dan menyesali masa lalu dan terus melakukan penyesalan atau malu terhadap masa lalu berarti dia tidak mengalami kebahagiaan,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, mampu berada here and now. Di sini dan mengalami. Jadi selaras antara pikiran perasaan ucapan gerak dan tindakan. Ada orang yang hidup sekarang tapi pikirannya di masa lalu. Banyak orang yang hidupnya sengsara karena badannya di sini tetapi pikirannya di masa lalu.
“Selama orang tidak menyatu dengan saat ini, dengan keadaan kekinian dan dengan tempat dia berada maka saat itu peluang-peluang dia mengalami ketidaknyamanan dalam hidup adalah besar,” sergahnya.
Ketiga optimis menatap masa depan. Berkaitan dengan optimis menghadapi masa depan misalkan terlepas Surabaya dan Sidoarjo zona hitam Covid-19, tetapi tidak ada alasan kita langsung diam tidak melakukan apa-apa, toh akan mati. Itu pesimis. Justru kalau kita cermati tantangan untuk orang Surabaya dan Sidoarjo adalah menunjukkan optimisme ini.
“Tema optimisme kalau dicermati
puas masa lalu dan menikmati masa kini. Nabi berpesan kalau tahu besok kiamat dan ditanganmu adab biji maka tanamlah. Betapa bukti optimisme dalam berbuat kebaikan,” tuturnya. (*)
Psikologi Bahagia saat Terpuruk. Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post