PWMU.CO– Dunia Barat yang marah atas keputusan Turki mengubah Aya Sofya menjadi masjid seperti tak mau berkaca kepada perilaku leluhurnya yang sanga dholim terhadap kaum muslim.
Yvonne Ridley menulis sebuah artikel yang dimuat middleeastmonitor.com memberikan kritikan kepada para pemimpin agama dan politik di duna Barat yang marah kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Mereka kehilangan kesempatan bagi diri sendiri untuk memperbaiki kesalahan sejarah masa lalunya yang lebih brutal.
Dia berpendapat kemarahan atas perubahan fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid lebih banyak karena dorongan politik daripada rasa religiusitas. Itu setelah melihat sejarah banyak tempat ibadah di masa lalu yang kini sudah berubah fungsi.
Dia mencontohkan Yunani, telah menghancurkan masjid-masjid peninggalan era Khalifah Utsmaniyah dan monumen-monumen keagamaan di negaranya setelah deklarasi kemerdekaan Yunani pada tahun 1821.
”Bangunan-bangunan bersejarah zaman Utsmaniyah telah diubah menjadi penjara militer, bioskop, kantor, hostel dan gudang. Banyak juga masjid ditutup untuk beribadah dan diubah menjadi gereja,” katanya.
Masjid di Athena Berubah Fungsi
Di Athena sejumlah masjid diubah jadi museum dan galeri. Misalnya, Masjid Fethiye dibangun oleh Sultan Mehmet II tahun 1458 sekarang jadi ruang pameran. Masjid Tzisdaraki ditutup kini jadi museum keramik.
Masjid Hamza Bey dan Masjid Alaca di Thessaloniki berubah menjadi museum. Sementara Masjid Yeni dibangun tahun 1904 dimanfaatkan sebagai ruang pameran kota. Monumen Menara Putih yang menjadi simbol kota sekarang diklaim sebagai karya Bizantium bukan Turki.
Di kota lainnya seperti Masjid Aslan Pasha di kota Ioannina, Masjid Veli Pasha di Rethymno, dan Masjid Zincirli di Serres semuanya berubah jadi museum.
Rusia yang juga mengutuk Erdogan, sambung dia, tak mau berkaca dari keputusan politiknya mendukung Presiden Suriah Bashar Al-Assad dalam perang saudara yang telah menyebabkan setengah populasi Suriah mengungsi dan ratusan ribu orang terbunuh.
Perilaku Moskow di panggung internasional dalam hal pencaplokan Krimea dan dukungan militer untuk Marsekal Khalifa Haftar di Libya dan campur tangan dalam pemilihan Barat, dan pembunuhan mata-mata KGB Alexander Valterovich Litvinenko tahun 2006 yang mengungkap kemunafikan Rusia.
Standar Ganda Barat
Standar ganda terbesar juga ditunjukkan UNESCO yang dengan kesombongannya mengatakan, Komite Warisan Dunia akan meninjau status Hagia Sophia sebagai Situs Warisan Dunia. Namun PBB membisu ketika tentara Israel menembaki Gereja Kelahiran di Betlehem saat sekelompok orang Palestina mencari perlindungan tahun 2002.
Israel menduduki Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dan membatasi kaum muslim shalat di situ, dunia Barat juga diam tanpa protes. Di Spanyol, Masjid Agung Kordoba dan Masjid Seville berubah menjadi katedral setelah penaklukan Kristen pada tahun 1492, juga tak ada yang protes.
”Daripada mengkritik Erdogan, mereka harus menirunya memperbaiki kesalahan nenek moyang mereka, atau mempertimbangkan memperbaiki,” ujarnya.
Begitu juga sikap Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Roma, yang merasa sangat tertekan dan sedih oleh keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid.
”Saya berpikir mungkin Paus Francis akan jauh lebih tertekan oleh kenyataan bahwa di seluruh Amerika dan Eropa, misalnya, ratusan gereja telah ditinggalkan, dihancurkan atau dijual. Mungkin dia tidak ingin menarik perhatian pada kegagalan Gereja Katolik Roma untuk melindungi skandal pendeta pedofil yang sangat merusak,” tulis Yvonne Ridley.
Menurut dia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan adalah sosok yang terpolarisasi di antara para pemimpin dunia. Dia dipuja di dunia muslim Sunni karena pembelaannya terhadap Islam. Meskipun ada juga negara Islam yang tak menyukainya.
Erdogan tampaknya mengabaikan kekecewaan pimpinan Eropa, Washington, Moskow, Beijing dan di tempat lain. Misalnya soal pengungsi dan dukungan terhadap perjuangan Palestina, Rohingya, Kashmir, Uighur, Suriah, Irak, Yaman, Afghanistan, Libya, atau lainnya yang terjebak dalam zona konflik.
Intervensi militer Turki di Suriah dan Libya juga telah mengguncang sejumlah besar presiden dan penguasa. Lebih-lebih sekutu NATO di dunia Barat. (*)
Editor Sugeng Purwanto