Pengalaman bersama Komunitas Sufi Amerika ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Ini kisah perjalanan tahun 2007, ketika saya mengikuti International Visitor Program on Religion and Ethnic Diversity, yang diadakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
Amerika bagaikan melting pot (pot besar), yang berisi beragam tanaman bunga. Dari jenis bunga paling bagus dan harum, sampai paling jelek dan busuk baunya. Semua ada di sana. Beragam suku bangsa—juga semua agama di dunia—tumbuh mewarnai negeri Paman Sam, termasuk Islam.
Ketika itu, ada sekitar 2,5 juta orang Islam di Amerika. Sebagian besar (65 persen) adalah para pendatang dan 35 persen lainnya kelahiran Amerika. Jumlah terbesar berasal dari Pakistan dan Iran, menyusul India, Lebanon, Yaman, Banglades, Afganistan, Irak.
Lalu Bosnia dan Herzegovina, Palestina, Jordan, dan Marocco, lalu Saudi Arabia, Mesir, Somalia, Sudan, dan Izrail. Sisanya, dari negara-negara muslim lainnya termasuk Indonesia.
Karena populasi terbesar adalah dari Timur Tengah, tidak dapat dielakkan bahwa wajah Islam yang ada di Amerika identik dengan Arab. Dengan segala atribut dan perilakunya, Islam terkesan sangar dan kurang ramah. Kesan ini memperoleh pembenaran dari kasus penyerangan gedung WTC yang dikenal dengan peristiwa 11 September.
Peristiwa 11 September yang sangat menghebohkan dunia tersebut, sempat menyulitkan posisi umat Islam di Amerika. Mereka dicaci maki dan disudutklan sebagai teroris. Di sekolah mereka disisihkan. Di masyarakat juga disingkirkan. Islam dianggap sebagai agama yang mendukung kekerasan.
Sehingga, bagi mereka yang keislamannya masih setengah-setengah makin ketakutan, dan tiarap. Ada yang melepas jilbab karena ketakutan dan namanya yang berbau Arab diganti. Tetapi, bagi yang imannya sudah kuat, makin mantap dan lebih berani menampakkan diri, dan mencoba mencari solusi.
Hikmah di Balik Bencana
Setiap peristiwa besar selalu saja ada hikmah yang dapat dipetik. Bencana 11 September, mengubah cara pandang masyarakat Amerika tentang Islam.
Banyak orang yang semula tidak tertarik dengan Islam, mulai serius mengkaji Islam. Dialog antaragama pun makin digalakkan. Berbagai kalangan pemuka Islam dari seluruh etnik mulai dilirik dan diajak bicara, termasuk tokoh muda dari Indonesia, Ustadz Muhammad Syamsi Ali.
Saat itu, imam di Masjid al-Hikmah New York tersebut sibuk melayani dialog dengan berbagai pihak untuk menjelaskan tentang Islam yang ramah dan rahmatan lilalamin.
Namanya melambung dan pandangan-pandangannya tentang Islam sering menjadi rujukan media internasional, baik cetak maupun elektornik, seperti Newsweek, Time, CNN, dan lain-lain.
Di antara tokoh masyarakat Islam dari Indonesia lainnya yang juga turut berperan penting adalah Danny Purba. Pebisnis yang sudah 20 tahun bermukim di AS ini berperan penting dalam memasilitasi warga Indonesia yang mengais rezeki di negeri dolar.
Ia rela hidup di perkampungan Yahudi di New York, guna menujukkan kepada mereka bahwa Islam tidak seperti yang mereka kesankan selama ini. Bahkan ketika membeli rumah di perkampungan elit tersebut, ia nyata-nyata dituduh teroris, dan beberapa waktu lalu didatangi beberapa warga Yahudi tetangganya yang mempertanyakan mengapa tinggal di sini.
Tokoh masyarakat yang telah dikarunia tiga anak ini, punya mimpi agar Indonesia mengirim perawat atau para medis sebanyak-banyaknya.
Menurutnya, AS memerlukan 900 ribu perawat, Muhammadiyah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ini. Syaratnya, selain secara teknis harus memenuhi standar Amerika, tentu harus menguasai bahasa Inggris. Oleh karena itu, mulai sekarang agar disiapkan kurikulumnya. Soal di AS, dia yang bertanggung jawab. Permintaan yang sama, juga datang dari KBRI.
Masijd Al-Hikmah
Komunitas Muslim Indonesia yang berada di New York memang tidak sebanyak yang dari negara lain. Untuk membina kehidupan keagamaannya, selain di Islamic Centre, pusat kegiatan keagamaan yang sangat penting ada di Masjid al-Hikmah. Masjid yang dibangun oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas 700 meter persegi tersebut, walau sekilas dari luar tidak tampak seperti masjid ala Indonesia, tetapi tata peribadatan dan tata dekorasi di dalam Masjid memang jelas menggambarkan ciri khas masjid Indonesia.
Bangunan luar masjid masih mengikuti bentuk bangunan gedung di sekitarnya. Bedanya hanya sebuah menara kecil dan kubah yang tidak terlalu besar di bagian atas bangunan itu. Saat itu telah dirancang bangunan baru di sebelahnya untuk lembaga pendidikan.
Selain al-Hikmah, masih ada sekitar 1500 masjid lainnya yang tersebar di seluruh Negara Bagian Amerika, di antaranya Masjid Malcom Shabazz, Harlem—masjid tertua yang dibangun oleh Malcom X.
Saya beruntung berkesempatan mengunjungi masjid-masjid bersejarah tersebut, dan bersilaturrahim dengan komunitas muslim Indonesia di rumah Ustadz Muhammad Syamsi Ali dan Bapak Danny Purba.
Ngaji Ihya’ di Santa Fe
Santa Fe adalah salah satu kota di Negara Bagian New Mexico. Kota dengan penduduk 48.889 ini berada di kawasan pegunungan pasir. Walau pada musim panas, udaranya terasa sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia, lebih dari dinginnya kota Batu.
Kota wisata ini, sebagian besar penduduknya adalah Katolik, Protestan, dan Yahudi. Hanya beberapa ratus orang saja yang beragama Islam. Para pemeluk agama Islam antara lain berasal dari Syiria, Maroko, Belanda, dan Bosnia.
Ketika saya mengunjungi komunitas minoritas tersebut, di rumah Dr Aziz Eddebbarh, Pimpinan Institut Ibn Asher, di 98 Old Santa Fe Trail, Santa fe New Mexico, terdapat sebanyak 14 orang sedang berkumpul mengaji buku Ihya’ Ulumuddin.
Sebuah buku monumental karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali yang sangat terkenal itu. Walau tersedia buku dalam bahasa aslinya, Arab, tetapi yang dibaca buku terjemahan bahasa Inggris.
Topik yang dikaji tentang mengingat mati, yang terdapat dalam bab lima, dari buku jilid lima. Mereka membaca secara bergiliran, dan sesekali salah seorang membacakan kutipan ayat al-Quran.
Setelah itu, sang ustadz, Dr Aziz Eddebbarh, menjelaskan kandungan maksudnya, sambil memberikan kesempatan kepada para peserta untuk bertanya. Ia pun meminta agar saya dan rombongan juga turut menyimak, dan menyodorkan kitab Ihya’ yang berbahasa Arab.
Komunitas Sufi
Dari buku dan topik yang dikaji, saya dapat menduga sebelumnya bahwa ini adalah komunitas sufi. Dan benar adanya, ketika dua orang suami istri, Muhammad Benyamin dan Rabia Van Hattum, datang memperkenalkan diri sebagai anggota dari Tarikat Naksabandiyah. Pasutri yang sudah tua tetapi tetap romantis itu juga membawa buku panduan dzikir dan gitar.
Setelah saling berkenalan, Muhammad Benyamin, muslim berjenggot kelahiran Belanda ini mengajak semua yang hadir untuk bersenandung, melagukan shalawat badar.
Melihat kejadian ini, kawan dari HMI, Mahya Ramdhani spontan berkomentar, “Wah luar biasa, ternyata di sini juga ada NU.”
Sebelum shalat Maghrib, dilakukan dzikir bersama sekitar satu setengah jam. Dan, kami pun diajak serta, dengan dibekali buku panduan dzikir yang mereka susun. Suasana menjadi terasa seperti di Indonesia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.