Hadi Mustofa Djuraid, Wartawan yang Dekat dengan Gerakan Mahasiswa tulisan kenangan Rosdiansyah, aktivis, penyiar radio dan TV.
PWMU.CO-Meninggalnya Hadi Mustofa Djuraid saat bersepeda Jumat (17/7/2020) mengingatkan saya pada aktivitas wartawan Republika itu dalam gerakan mahasiswa semasa di Surabaya tahun 1992-an hingga dia menjadi kepala biro Jawa Timur.
Kini tiga dari empat mantan Kepala Biro Harian Republika Jawa Timur yang saya kenal sudah tiada. Pertama, Anis Fathoni, jadi Kepala Biro tahun 1999 sampai 2006 meninggal 20 April 2018 di Surabaya. Kedua, Bambang Soen yang wafat pada 7 Juli 2020. Yang ketiga, Hadi Mustofa Djuraid meninggal pada Jumat 17 Juli 2020 yang banyak memberi kenangan.
Hadi Mustofa menggantikan posisi Bambang Soen sekitar tahun 1993. Karena Bambang Soen mengundurkan diri dari Republika dan fokus ke pengembangan jurnalistik di Bojonegoro.
Tahun-tahun kehadiran Mas Hadi kala itu merupakan periode yang sangat dinamis mewarnai gerakan mahasiswa muslim di Surabaya dan Jawa Timur. Dia semasa mahasiswa aktivis kampus di IKIP Malang. Sebagai wartawan dia dekat dengan orang-orang pergerakan yang kritis terhadap rezim Orde Baru.
Semangat dakwahnya ini pengaruh dari ayahnya, KH Djuraid Mahfudh. Ayahnya ini kiai Muhammadiyah yang terkenal di kampung Bibis Manukan Surabaya. Kiai Djuraid yang merintis pendirian masjid dan sekolah Muhammadiyah di Manukan.
Anak-anak Kiai Djuraid menjadi wartawan dan aktivis seperti almarhum Husnun Nadhor, Pemimpin Redaksi Malang Post dan Dhimam Abror, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos.
Hadi sendiri setelah di Republika, aktif di MetroTV, Harian Abadi, BUMNTrack, dan menjadi staf ahli Ignasius Jonan waktu jadi Dirut PT Kereta Api, Menteri Perhubungan, dan Menteri ESDM. Pernah menjadi Dewan Pengawas LKBN Antara. Terakhir dia diangkat menjadi komisaris PT Pertamina Gas sejak 2017.
Waktu dia memimpin kepala biro Republika, saya meminta Hadi ikut siaran acara Surabaya Round Up di Radio SCFM. Alhamdulillah, isi siaran jadi lebih kritis dan tajam. Tidak lagi melulu talking news, tapi benar-benar masuk depth news dan mengungkap behind the scene dari tiap peristiwa.
Tak bisa dipungkiri, Mas Hadi menambah bobot kualitas perbincangan kritis on-air. Kian banyak yang suka pada analisanya kala itu. Sehingga Radio SCFM berhasil menyabet Piala Cakra dari PRSSNI selama dua tahun berturut-turut 1994-1995.
Sesekali saya main ke kantor Republika Jawa Timur, yang semula di Bratang lalu pindah ke Kalibokor. Kami banyak mendiskusikan perkembangan politik lokal, regional maupun nasional. Menjelang Reformasi 1998 situasi politik kian panas.
Mendirikan JAMPS
Beberapa aktivis mahasiswa juga sering bergabung dalam perbincangan. Mas Hadi sering memberi masukan serta wawasan. Kala itu, kami harus berhadapan dengan kelompok mahasiswa yang terutama berafiliasi ke Yayasan Cakrawala Timur (Caktim).
Sampai suatu ketika di tahun 1994, Fadli Zon hadir dalam diskusi tertutup dengan para aktivis muslim Surabaya. Lalu terbentuklah komunitas Jaringan Aksi Mahasiswa dan Pemuda Surabaya (JAMPS). Aktivis gerakan mahasiswa itu antara lain Agus M Maksum, Ismail Nachu, Rizal Aminuddin, Ferry Dzulkifli, Cholis Akbar, dan lainnya.
Visi JAMPS membela suara muslim. Melawan dominasi wacana kekiri-kirian dari PRD, FKMS dan Caktim. Sebagai jurnalis, Mas Hadi tetap menjaga independensinya. Tak mau ikut terlibat dalam perencanaan aksi. Kami yang merencanakan aksi, Mas Hadi hanya menyediakan tempat saja.
Berbagai aktivis muslim datang dan ngobrol asyik bersama Fadli Zon. Fadli saat itu calon sarjana Sastra Rusia yang punya hobi membaca. Dia bagikan semua isi yang dibacanya itu kepada kami. Selain Fadli, yang juga sering hadir adalah Adian Husaini, wartawan Republika Jakarta yang meliput Istana.
Suatu ketika, kami menduetkan Fadli dan Adian menghadapi kelompok kiri dalam sebuah diskusi di Universitas Brawijaya (UB) Malang. Terjadi debat seru. Saya menyaksikan Fadli gencar mencecar argumen-argumen narasumber seorang aktivis berjuluk Maisir dalam forum debat itu.
Sosok Maisir ini sangat dekat pada Forum Komunikasi Mahasiswa Malang (FKMM), organisasi kemahasiswaan yang punya jaringan ke FKMS dan Caktim. Usai diskusi di UB, dengan menumpang mobil Republika, kami balik ke Surabaya.
Suaranya Diperhitungkan
Ada satu lagi nama yang jarang disebut karena memang selalu berada di balik layar. Isa Anshori. Anak IKIP Surabaya jurusan Bahasa Inggris. Sekarang dia terkenal sebagai pengamat pendidikan sejak duduk di Dewan Pendidikan Surabaya.
Berkat diskusi dan pendalaman wacana bersama Mas Hadi Mustofa ketika itu, JAMPS benar-benar menjadi jaringan ampuh menghadapi PRD, FKMS, Caktim. Bahkan JAMPS selalu diundang ICMI Jawa Timur untuk memberi masukan dan pemetaan jaringan.
Mas Ismail Nachu (Sekarang Ketua ICMI Jatim) memberi wawasan ke-LSM-an pada ICMI yang saat itu gencar menyosialisasikan Pinbuk dan BMT.
Berkat bantuan Mas Hadi, JAMPS bisa hadir dalam pertemuan Forum Umat Islam (FUI) di Asrama Haji Pondok Gede akhir Agustus 1996 di masa transisi dia pindah ke Jakarta.
Saya masih menyimpan video dokumentasi resepsi pernikahan saya di Balai Kartika Kodam Brawijaya bulan Mei 1996. Ada Mas Hadi dan rekan-rekan JAMPS dalam video tersebut.
Tentu saja, kini keluarga besar JAMPS sangat berduka. Mas Hadi Mustofa merupakan inisiator pembentukan JAMPS. Insyaallah Mas Hadi husnul khotimah. Amin Ya Rabb alamin. (*)
Editor Sugeng Purwanto