Mata Air Surga dan Penjaganya: Sehari sebelum Hadi Mustofa Djuraid Wafat ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, sang kakak; Direktur PSWH Jatim.
PWMU.CO – Sehari sebelum Hadi Mustofa Djuraid meninggal, Jumat (17/7/2020), kami masih bercanda di grup WhatsApp keluarga.
Hadi memamerkan foto cucu laki-lakinya yang genap berusia 10 hari, Wildan Arsakha Rakhman. Saya tahu, Hadi ‘balas dendam’. Ia sudah menyiapkan nama itu bertahun-tahun sebelumnya. Bukan untuk cucunya, tapi untuk anaknya.
Ia ingin punya anak laki-laki, tapi Allah menitipkan kepadanya dua anak perempuan yang cantik dan shalihah. Iftitah Rohmatika—sekarang menyelesaikan studi doktoral di Tokyo—dan Ayuni Rahmadina dokter gigi lulusan UI. Jadilah, nama ‘Wildan’ disimpan dan baru diberikan kepada sang cucu.
Di grup WhatsApp itu saya juga dibalas, karena saya juga bertahun-tahun menyiapkan nama ‘Salsabila’ untuk anak perempuan saya. Tapi, Allah menitipkan tiga anak laki-laki yang ramai, Zidny Ilman, Jordan Fahmi, dan Jericho Fikri, kepada saya.
Beda dengan Hadi yang akhirnya bisa ‘melampiaskan dendam’, saya belum bisa memakai nama itu untuk cucu saya—Byantara Muhammad Farzan—karena lagi-lagi Allah menitipkan cucu laki-laki kepada saya.
Hadi berkomentar bahwa Wildan dan Salsabila berasal dari Surga. Hadi mengutip Surat al-Insan 18, “Mata air di dalam surga yang dinamai Salsabila”. Hadi lalu mengutip al-Waqi’ah 17, “Para penghuni surga itu dikelilingi oleh Wildan, penjaga-penjaga muda yang tetap muda selamanya.”
Tiga Saudara Wafat saat Olahraga
Jumat (17/7/2020) sejak pagi WhatsApp saya banyak berisi pesan ucapan selamat, karena 17 Juli adalah hari lahir saya, sesuai dengan KTP dan ijazah. Tapi, dalam versi keluarga, ada cerita yang beda.
Menurut sesepuh, saat saya lahir Bapak—Djuraid Mahfud—sedang bepergian ke luar kota beberapa hari belum kembali. Sambil menunggu Bapak kembali diberilah nama sementara, dan ketika itu sang bayi diberi nama Agus Wahid karena lahir pada 1 Agustus.
Barulah setelah Bapak pulang, saya mendapatkan nama yang sekarang. Itulah salah satu alasan saya tidak merayakan hari lahir.
Saya anak keempat. Hadi kelima dari tujuh bersaudara, empat laki-laki dan tiga perempuan. Dari keempat anak laki-laki itu kebetulan tiga menjadi wartawan, Husnun, saya, dan Hadi.
Dan, dari keempat saudara laki-laki sekarang saya tinggal sendirian sebagai lone survivor. Tiga saudara laki-laki semua meninggal karena serangan jantung dan meninggal saat berolahraga. Semuanya tidak melewati usia 60 tahun.
Mas Helmi, kakak mbarep meninggal pada 2014 sesaat setelah bermain tenis. Ia menyetir mobil dan merasa dadannya sesak. Ia langsung mengarahkan mobilnya ke dokter dan disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit. Dalam perjalanan Mas Helmi kapundut.
Mas Husnun juga begitu. Ia sudah punya gejala jantung. Tapi, kecintaannya terhadap olahraga melewati semuanya. Mas Husnun jago tenis dan volley. Setelah berhenti tenis karena dilarang oleh dokter ia beralih ke joging. Dari joging di sekitar rumah Mas Husnun mulai lari lebih jauh berkilo-kilo meter bahkan sampai 10 kilometer. Ia wafat ketika sedang ikut lomba maraton di Surabaya, 10 bulan yang lalu.
Wafat saat Bersepeda
Hadi rutin berolahraga. Meski tidak jago olahraga permainan, Hadi rajin senam dan bersepeda. Beberpa tahun yang lalu gula darahnya tinggi. Bisa jadi ini keturunan dari Ibu yang wafat karena diabetes pada 2015. Tapi, Hadi disiplin menjaga diri. Selain berolahraga dan senam, Hadi tarak tidak makan nasi putih dan rutin berpuasa.
Jumat pagi Hadi ada rapat di kantor Balai Pustaka di daerah Matraman. Dari rumahnya di Tugu Asri, Depok, ia bersepeda dengan sepeda lipat kesayangannya menuju Matraman.
Selesai rapat Hadi langsung memacu sepedanya untuk pulang mengejar Jumatan. Di perjalanan, cuaca yang panas dan jalan yang agak menanjak membuat Hadi kelelahan. Ia meminggirkan sepedanya. Ia menggeletak.
Bakat Olahraga dan Menulis
Kami sekeluarga punya hobi dan kecintaan yang sama terhadap olahraga. Kami juga sama-sama suka menulis sejak kecil. Mungkin bakat itu menurun dari Bapak.
Setiap hari kami menyaksikan Bapak mengajar kitab di rumah dan di berbagai tempat, berdiskusi tentang masalah agama dan keumatan, membaca kitab-kitab dan membuat catatan-catatan sampai larut malam.
Saya bercita-cita menjadi wartawan sejak kecil dan sering bermain-main ala reporter televisi. Ketika tim sepakbola kampung menang saya membawa kayu sebagai mikropon dan bergaya mewawancarai para pemain bintang.
Saya masuk Akademi Wartawan. Mas Husnun terlebih dahulu merantau ke Semarang kuliah di IKIP dan mengambil jurusan olahraga. Skripsinya tentang olahraga dalam Islam, berdasar hadis Nabi yang memerintahkan orangtua mengajarkan anak-anaknya renang, panahan, dan berkuda.
Hadi ke Malang, kuliah di IKIP jurusan Bahasa Arab. Di situlah ia menjadi aktivis kampus dan menjadi pegiat dakwah kampus intens. Di sela-sela aktivitasnya Hadi mengirim tulisannya ke berbagai media. Ia girang bukan kepalang ketika artikelnya dimuat di Jawa Pos dan menerima wesel Rp 70.000.
Awal 1990-an saya di Biro Jawa Pos Yogyakarta. Mas Husnun menyusul gabung dengan Jawa Pos Biro Jawa Tengah di Semarang. Hadi bergabung dengan Republika yang ketika itu menjadi simbol kebangkitan Islam politik bersama ICMI. Hadi menemukan habitatnya yang benar-benar sesuai dengan passion-nya.
Di tahun-tahun yang sibuk itu kami bertiga praktis jarang berkomunikasi kecuali ketika bertemu di rumah pada acara-acara tertentu. Itu pun kami jarang berbicara mengenai pekerjaan.
Jurnalis Organik
Saya tahu aktivitas Hadi dengan memantau Republika Jawa Timur tempat Hadi menjadi kepala biro. Saya hampir tidak pernah bertemu Hadi di lapangan karena pada saya ditugaskan di luar negeri.
Saya kembali ke Indonesia pada pertengahan 1990. Hadi sudah menikahi Zahroh Naimah. Dia sudah menjadi wartawan yang matang. Dia pindah ke Jakarta dan bergabung dengan Metro TV.
Hadi adalah jurnalis organik dalam tradisi gramscian. Ia aktivis politik yang punya jaringan luas dalam gerakan Islam politik. Darah politik kami warisi dari Bapak yang memasang foto hitam putih Natsir di dinding ruang tamu dan memberi kami buku-buku Hamka.
Mas Husnun adalah wartawan profetik yang konsisten mengamalkan ‘Dakwah bil Koran’ berdakwah melalui media. Mas Husnun punya jaringan yang luas di birokrasi dan lembaga-lembaga sosial keagamaan.
Hadi tetap konsisten dengan tauhid jurnalistiknya. Ia tidak berpolitik langsung tapi ia terlibat secara massif dalam gerakan-gerakan keumatan. Pun ketika menjadi staf khusus Menteri Perhubungan dan Menteri ESDM, Hadi tetap menghidupi jaringan keumatannya.
Saya malu dan merasa kecil dibanding Mas Husnun dan Hadi. Hal itu semakin saya rasakan setelah mereka pergi.
Jumat siang bakda Dhuhur. Sebelum saya sempat membalas WhatsApp ucapan ulang tahun, puluhan WhatsApp masuk mengucapkan bela sungkawa atas wafatnya Hadi. Beberapa telepon masuk, saya hanya bisa menjawab dengan tangis.
Hadi telah pergi. Ia hanya 10 hari ditemani sang cucu Widan di dunia. Tapi, insyaallah Hadi akan bersama-sama Wildan yang abadi di surga, sambil menikmati keindahan mata air Salsabila. (*)
Mata Air Surga dan Penjaganya: Obituari Hadi Mustofa Djuraid, Editor Mohammad Nurfatoni