Masyarakat Madani Ideal Zaman Nabi ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Al-Quran menyatakan kehidupan yang baik adalah suatu kehidupan yang berorientasi pada dua komitmen. Yaitu kepada Allah (habl minallah) dan kepada manusia (habl minannas).
Sebagaimana biasanya dalam al-QuRan, maka kata-kata manusia itu ditujukan kepada seluruh umat, tanpa pandang agama, ras atau suku. Jadi, hubungan yang baik harus dibangun atas dasar kemanusiaan tanpa melihat perbedaan yang sifatnya primordial.
Begitu juga, al-Quran menyatakan Nabi Muhammad diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Yang bahkan ditafsirkan bukan saja alam manusia tetapi juga alam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian sikap hidup inklusif merupakan tuntutan dari al-Quran.
Ajaran Objektif dan Subjektif
Kehidupan sosial dalam pandangan al-Quran termasuk dalam kategori ajaran Islam yang bersifat obyektif. Hal ini berbeda dengan kategori subjektif, yaitu ajaran yang berkaitan dengan doktrin atau keyakinan yang biasanya disebut dengan akidah serta institusionalisasinya yang berupa ibadah.
Akidah dan ibadah adalah ajaran yang subjektif dan karena itu eksklusif. Di mana agama lain tidak bisa melakukan sharing dalam meyakini akidah itu atau menghayati ibadahnya.
Namun demikian, di tengah-tengah eksklusivisme akidah dan ibadah itu, toleransi merupakan keharusan karena menyangkut wilayah hubungan antarmanusia yang menurut ajaran Islam sangat objektif. Bisa dicerna oleh setiap orang tanpa pandang agama atau ras. Setiap orang memerlukan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam hubungan antarmanusia, nilai-nilai kemanusian yang harus dibangun meliputi toleransi antarumat beragama, di mana setiap pemeluk agama diberikan kebebasan melaksanakan ajaran.
Allah sendiri menyatakan dalam Surat al-Maidah: 47, “Hendaklah pengikut Injil itu melaksanakan hukum seperti apa yang diturunkan oleh Allah di dalam kitab itu.”
Di samping itu toleransi dan jaminan keamanan bagi pemeluk berbagai agama juga jelas disebutkan dalam al-Quran Surat al-Madah: 69, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan Nasrani, yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal saleh tidak perlu merasa takut dan bersedih hati.”
Konteks Indonesia
Dalam konteks masyarakat Indonesia, inklusivisme itu bisa dibangun melelaui peningkatan wawasan kebangsaan yang sesungguhnya.
Kebangsaan itu sendiri merupakan suatu fenomena kehidupan yang alamiah yang telah ada sejak lahirnya kehidupan bermasyarakat. Dalam al-Quran dinyatakan Allah telah menjadikan manusia itu berbangsa dan bersukubangsa.
Namun demikian perlu diingat bahwa fenomena itu merujuk kepada pengertian ras dan etnis, seperti apa yang terjadi pada saat al-Quran itu diturunkan. Pada zaman Nabi Muhammad saw, struktur kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh kategori ras dan etnis itu, misalnya Banu Quraisy dan Banu Tamim.
Kebangsaan dalam pengertian modern yang terikat oleh teritori maupun kesamaan nasib belum muncul pada saat itu. Di samping itu perlu juga diingat bahwa kebangsaan seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran haruslah bertujuan untuk saling mengenal.
Dan kemudian menjalin hubungan yang harmonis antarbangsa itu, dan tidak menjadikan kebangsaan sebagai ukuran keunggulan (superiority) karena nilai itu hanya terdapat pada kualitas individual, yakna ketaqwaan kepada Allah SWT (al-Hujurat: 13).
Peradaban manusia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kebangsaan itu telah diberi bentuk dan pengertian baru. Seperti apa yang kita lihat dalam kebangsaan Indonesia, yang mengikat seluruh komponen bangsa yang majemuk ini, baik dari sudut agama, ras, sukubangsa, bahasa dan lain-lain.
Maka persoalannya ialah bagaimana memenej kemajemukan itu dalam satu kesatuan kebangsaan, agar kemajemukan itu tidak menjadi sumber konflik dan ketegangan yang menghambat tumbuhnya sikap inklusif.
Bangsa Inklusif
Membangun wawasan kebangsaan yang bisa mendorong tumbuhnya sikap inklusif itu harus melibatkan dua dimensi, yakni internal dan eksternal.
Dimensi pertama, internal, berkaitan dengan format hubungan di antara komponen masyarakat yang membentuk suatu bangsa. Sedangkan dimensi kedua, eksternal, berkaitan dengan format hubungan bangsa itu dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Dalam konteks dimenasi pertama, Masyarakat Madani tanpaknya merupakan format yang paling ideal yang menggambarkan bagaimana hubungan intern bangsa itu harus dibangun.
Sedang kebangsaan yang humanis dan universal merupakan format yang harus dibangun untuk menjadi wawasan kebangsaan dalam konteks masyarakat dunia yang jelas-jelas lebih beragama dari sudut afiliasi agama.
Masyarakat Madani atau Civil Society adalah masyarakat berperadaban, yang prototipenya telah diletakkan oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah belasan tahun berjuang di Kota Makkah tanpa hasil yang memuaskan, beliau berhijrah ke kota Yatsrib, suatu oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara kota Makkah.
Setelah mapan di kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi al-Madinah, yang berarti kota, atau secara lengkap Madinat al-Nabi (Kota Nabi). Secara harfiyah madinah memang berarti kota, tetapi ia juga menyiratkan arti peradaban. Di mana peradaban itu sendiri telah diterjemahkan dengan madaniyyah atau tamaddun.
Masyarakat Madani Ideal
Masyarakat Madani di Madinah itu menurut beberapa ahli telah menjadi tipe ideal yang patut dicontoh bukan saja oleh umat Islam tetapi juga umat lain.
Seperti apa yang dirumuskan oleh ilmuwan sosial dalam bentuk Civil Society, sekalipun harus diakui bahwa Masyarakat Madani menurut konsep Islam tidak serta merta identik dengan Civil Society yang dimaksud oleh para ilmuwan itu.
Barangkali bisa dikatakan bahwa konsep Civil Society itu merupakan bentuk yang paling mendekati Masyarakat Madani dalam wanaca keilmuan saat ini. Karena tidak serta merata indentik itulah, maka menjadi tugas kita untuk terlibat secara intensif dalam wacana itu sehingga Civil Siciety yang kita bangun dijiwai oleh Masyarakat Madani.
Dengan cara itu, maka format Masyarakat Madani akan menjadi Civil Society yang diwujudkan di negara kita. Civil Society yang semula lahir dalam konteks masyarakat sekular itu akan menjadi Masyarakat Madani dalam konteks masyarakat relijius. Masyarakat yang taat melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Masyarakat Etik
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai spiritual yang inheren di dalamnya, Masyarakat Madani, seperti yang dibangun oleh Nabi, memiliki ciri etis yang sangat menonjol.
Sekalipun tingkat kemakmuran, ilmu pengetahuan, dan teknologi pada zaman Nabi tidak semaju masyarakat modern sekarang ini. Tetapi dari sudut etika dan moral, masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad memiliki keunggulan yang luar biasa.
Karena alasan itulah, Nabi pernah menyatakan, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, “Sebaik-baik zaman adalah Zamanku ini.” Al-Quran juga memuji Zaman itu ketika mengatakan, “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama (menjadi pengikutku) merupakan orang-orang yang dekat dengan Tuhan (al-Waqiah: 11).
Masyarakat Madani yang dibangun oleh Nabi menggambarkan ciri-ciri masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak yang luhur. Ia merupakan masyarakat yang menekankan keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan toleransi.
Ia bersifat membebaskan dan menekankan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Penekanan terhadap nilai-nilai itu tergambar secara sangat jelas dalam al-Quran, yang kemudian diperjelas dengan tindakan dan ucapan Nabi.
Wasiat Terakhir Nabi
Betapa pentingnya itu semua dinyatakan kembali oleh Nabi dalam pidato dan wasiat secara sangat emosial di hadapan para sahabatnya untuk menjadi perhatian bagi seluruh umat manusia.
Hal ini diucapkan oleh Nabi kira-kira tiga bulan menjelang wafat di Padang Arafah pada waktu menunaikan ibadah, yang dikenal dengan Khutbat al-Wada’ (Pidato Perpisahan).
Nabi mengatakan, “Wahai manusia, dengarkanlah ucapanku; aku sesungguhnya tidak tahu apakah aku masih akan bertemu setelah ini… Wahai manusia, sesungguhnya jiwamu dan harta bendamu adalah suci (harus dihormati).
…. Aku telah sampaikan ini. Barangsiapa yang diberi amanat, tunaikanlah amanat itu ….. Sesungguhnya riba itu harus dihapuskan, … Jangan menganiaya dan jangan dianiaya.
…Wahai manusia, sesungguhnya kamu punya hak yang harus dipenuhi oleh istri-istrimu. Dan mereka juga punya hak yang harus engkau penuhi … Sungguh aku telah sampaikan ini …
Wahai Tuhan, aku telah sampaikan … Wahai manusia, apakah aku telah sampaikan ? … Ya Tuhan, saksikanlah ini.“
Pidato Nabi itu menunjukkan betapa pentingnya perikemanusiaan yang tanpa pandang perbedaan agama itu. Sehingga tidak ada lagi penganiayaan, penjarahan, penyalahgunaan amanah, kezaliman dan pengingkaran terhadap hak-hak asasi manusia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Masyarakat Madani dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.