KH Sa’dullah, Dawahnya Unik dan Langka. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur.
PWMU.CO – Dakwah bisa dilakukan melalui beragam cara dan media. Selain bil lisan atau ceramah, juga bil kitabah atau menulis di media, dan bil hal atau perbuatan plus keteladanan nyata.
Intinya, berdakwah bisa dilakukan sesuai keahlian mubalighnya dan selaras dengan kondisi sasaran dakwah yang berbeda-beda. Seperti dilakukan KH Sa’dullah, cara dan media yang digunakan dalam berdakwah termasuk unik dan langka.
‘Dukun’ yang Jernihkan Iman
Pria kelahiran 10 Maret 1953 ini dikenal masyarakat awam sebagai seorang ‘dukun’. Kata dukun sengaja diberi tanda petik, untuk membedakan makna kata aslinya. Label dukun dilekatkan padanya lantaran kerap mengobati dan menolong orang sakit, seperti patah tulang, struk, stres, gila, dan sejenisnya.
Tapi berbeda dengan praktik perdukunan pada umumnya, yang kerap menggunakan mantra atau perantara berbau syirik kepada Allah SWT. Sa’dullah sebaliknya. Setiap kali mau melakukan terapi, dia dahului dengan menjernihkan iman si pasiennya.
Alkisah, suatu ketika ada seorang yang setiap Rabu Kliwon bertingkah aneh. Suaranya mirip kerbau dan jalannya merangkak.
“Lalu diterapi dengan mengalihkan ke tauhid. Dia dibuat lupa pada Rabu Kliwon. Setelah dua kali diterapi, langsung sembuh,” ujar salah seorang tokoh yang berasal dari kampung yang sama dengan Sa’dullah.
Tenaga Dalam yang Bersih
Aktivis Tapak Suci Putera Muhammadiyah ini memiliki keahlian tenaga dalam. Keterampilan itu diperoleh dari hasil latihan gerakan jurus-jurus tertentu. Seperti latihan ketenangan (hening), konsentrasi, pengaturan nafas, dan lain-lain sebagai bagian dari ilmu bela diri.
Tidak dapat ditampik bahwa sebagian orang memperoleh tenaga dalam, dengan jampi-jampi dan mantra yang menjurus pada kesyirikan. Tapi dia jauh dari cara-cara lazimnya.
Sewaktu menjadi nara sumber seminar Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim di Kediri beberapa tahun lalu, dia berpesan: “Bagi yang terjun atau menjadi penggemar tenaga dalam, agar menjaga kebersihan jiwa yang diajarkan Islam dan membuang segala bentuk kesyirikan.”
Dalam kapasitas sebagai pendekar Tapak Suci, dia pernah mendapat penghargaan dari Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur waktu itu. Tapi sekitar tiga setengah tahun sebelum wafat, keahliannya seperti diuji oleh dirinya sendiri. Dia mengalami patah tulang akibat kecelakaan hebat di jalan tol jelang pintu keluar Bunder Gresik. Lantas dia terapi sendiri setiap hari, hingga sembuh.
Bukan untuk Eksploitasi
Hebatnya, keahlian langka ini tidak dimanfaatkan untuk mengeksploitasi orang lain. Apalagi yang sedang susah ditimpa musibah.
Semua itu dilakukan murni untuk menolong, tanpa minta imbalan. Dihayati betul doktrin yang diajarkan Muhammadiyah, yaitu memberi tanpa berharap kembali. Seperti makna yang terkandung dari simbol matahari.
Sejak kecil, putra dari pasangan H Ridwan dan Mutholi’ah, ini dikenal cerdas. Dituturkan oleh adiknya, Hj Kuni’ Abdul Wahid, ketika kakaknya baru kelas V dan VI Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Sedayulawas, Brondong, sudah ditugasi oleh gurunya untuk mengajar adik-adik kelasnya.
Saat nyantri di Pondok Pesantren Arraudhotul Ilmiyah Kertosono, Nganjuk, prestasinya kian cemerlang. “Sehingga masa pendidikan yang seharusnya ditempuh enam tahun, cukup diselesai¬kan dalam tempo tiga tahun,” tuturnya.
Setelah lulus dari Kertosono, dia pulang kampung ke Sedayulawas. Rutinitas setiap pagi dan malam, mengajar Tafsir al-Quran dan Nahwu Sharaf. Kegiatan itu terus ditekuni hingga akhir hayatnya. Sehingga tidak heran jika masyarakat memanggilnya kiai. Sebuah panggilan yang lazim diberikan kepada mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama.
Kontribusinya untuk AUM
Kontribusinya dalam dakwah Muhammadiyah juga tidak kecil. Misalnya, pada 1980 mendirikan Mushala Al Islam. Sebagai pengusaha, dia juga terlibat aktif dalam proses pembangunan Masjid Agung dan Masjid Taqwa, MIM, MTsM, SMPM, MAM, SMAM, dan TPA.
Karirnya di Muhammadiyah dimulai dari bawah. Selama tiga periode (1985-2000) menjadi Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sedayulawas. Kemudian berlanjut menjadi Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Brondong, Lamongan selama dua periode (2000-2010).
Salah satu prestasi penting selama memimpin cabang adalah rintisan pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah, yang kemudian dirampungkan oleh pengganti setelahnya. Kini gedung tersebut berdiri megah di pinggir jalan raya, sebagai pusat kegiatan dakwah.
Sebenarnya ayah dari Felosofa Fitriya, Zaki Husnaini, Kiflen Mir Rahmatih, Inda Su’udah Fillah, ini masih diharapkan bersedia untuk dipilih kembali pada periode ketiga. Tapi ia paham bahwa ada aturan dalam Persyarikatan yang membatasi masa jabatan ketua hanya boleh dijabat maksimal dua kali oleh orang yang sama.
Bagi suami dari Maria Ulfah tersebut, untuk beramal tidak harus menjadi ketua. Tipologi karakter pemimpin yang rame ing gawe, tapi sepi ing pamrih.
Firasat sebelum Wafat
Pada Sabtu (7/2/2015) malam, seperti sudah mendapat firasat. Kepada istrinya, dia bilang bahwa umurnya sudah 63 tahun seperti usia Rasulullah. Esoknya, usai shalat Subuh bersama keluarga, setelah dari kamar mandi dia terjatuh. Lima menit berikutnya, dia mengembuskan nafas terakhir.
Isyarat serupa pernah disampaikan kepada putrinya, Kiflen Mir Rahmatih. Saat anak ketiga ini sungkem waktu lebaran, ayahnya meneteskan air mata sembari menyatakan bahwa shalat Idul Fitri ini adalah terakhir dirinya menjadi imam.
“Sudah menjadi tradisi pada setiap shalat Id di Sedayulawas, siapa pun khatibnya, beliau yang menjadi imamnya,” tukas Kiflen yang pada 2019 mendapat biasiswa studi S2, di UINSA Surabaya.
Kepergiannya menimbulkan duka mendalam. Bukan hanya bagi keluarga tapi juga masyarakat pada umumnya. “Beliau tokoh yang sulit dicari penggantinya. Semoga husnul khatimah,” ujar KH Ahmad Ahzab Shaleh, Ketua PCM Brondong kala itu, ketika menemani penulis takziyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post