Rebutan Khalifah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Banyak orang ingin memiliki khalifah. Di sebuah desa ada gadis bernama Khalifah. Wajahnya lumayan dan otaknya cemerlang. Ia menjadi rebutan pemuda di desanya.
Ada lagi khalifah yang diperebutkan oleh kaum tarekat. Posisinya penting karena menjadi wakil mursyid (pembimbing tertinggi) di daerah-daerah. Khalifah berhak memimpin upacara ritual tarekat dan bisa memberi berkah kepada siapa saja yang memintanya.
Ada lagi khalifah yang sedang diimpikan. Ia adalah pemimpin tertinggi dan universal di dunia Islam. Ia berkuasa penuh. Tidak mengenal pembagian kekuasaan (trias politica). Tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Tidak mengenal batas teritorial. Di mana pun umat Islam berada, harus tunduk kepada khalifah.
Khalifah dalam Al-Quran
Khalifah adalah sebuah kata yang populer, tapi setiap orang punya maksud yang berbeda-beda. Al-Quran juga menyebut khalifah sebagai sesuatu yang penting. Tapi tidak sama dengan khalifah yang mereka maksud itu.
Dalam sebuah dialog dengan Malaikat, Allah menyatakan sebuah rencana untuk menjadikan khalifah di muka bumi. Maksudnya, menciptakan manusia sebagai khalifah. Jadi, seluruh manusia adalah khalifah.
Para mufasir mencoba memahami mengapa manusia disebut khalifah. Khalifah bisa bermakna pengganti. Allah menjadikan manusia sebagai pengganti jenis makhluk yang sebelumnya pernah ada.
Khalifah juga bisa berarti wakil. Artinya, manusia adalah wakil Allah yang bertugas memakmurkan bumi dan menata kehidupan manusia sesuai kehendak-Nya. Ini adalah penafsiran.
Nabi Muhammad tidak pernah bicara tentang makna khalifah yang tertulis di ayat tersebut. Konon beliau pernah menyinggung kata-kata khalifah (jamaknya: khulafa’), tetapi tidak pernah menjelaskan siapa yang dimaksud. Tidak jelas apakah khulafa’ itu memiliki konotasi jabatan politik atau tidak. Juga tidak jelas, mereka hidup di mana dan kapan.
Khalifah setelah Nabi Wafat
Pengertian khalifah sebagai pemimpin negara baru lahir dalam sejarah sesudah Nabi wafat. Abu Bakar adalah khalifah (pengganti) Rasulullah. Umar bin Khattab adalah khalifah (pengganti) dari khalifah (pengganti) Rasulullah.
Setelah itu, khalifah berkembang sebagaimana kepala negara. Jabatan khalifah bertahan sampai 1934 ketika Mustafa Kemal menghapuskan khilafah Usmaniyah. Ia mengubahnya menjadi negara republik.
Dalam realitas sejarah, praktik khilafah berubah-ubah. Pada zaman generasi pertama setelah Nabi, khalifah bersifat terbuka. Siapapun yang terbaik berhak menjadi khalifah asal berasal dari suku Quraisy.
Setelah itu, khalifah berubah menjadi dinasti (kerajaan). Maka muncul Dinasti Umaiyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Usmaniyah dan lain-lain. Semuanya tetap disebut khalifah.
Universalitas khilafah juga berubah. Keyakinan bahwa hanya ada satu khalifah di dunia Islam telah runtuh sejak abad ke-10 Masehi. Saat itu ada Khalifah Umaiyah di Andalusia dan Khalifah Abbasiyah di Timur Tengah.
Bahkan, Daulah Fatimiyah juga berdiri lepas dari kedua khilafah tersebut. Di samping itu, masih banyak negara Islam kecil yang juga merdeka. Tidak ada lagi kekuasaan universal bagi khalifah.
Kepemimpinan Quraisy
Selama sekitar 1000 tahun umat Islam masih yakin bahwa hanya orang Quraisy yang berhak menjadi khalifah. Tetapi dalam praktiknya, hanya bisa bertahan sampai abad ke-13. Setelah itu, defacto, yang berkuasa bukan Quraisy.
Mamluk bukan Quraisy, Usmaniyah juga bukan Quraisy. Tapi mereka masih butuh Quraisy. Ketika Bani Abbas hancur, salah seorang keluarga Bani Abbas dibawa ke Mesir dan dijadikan alat legitimasi oleh Mamluk. Mereka berkuasa atas nama Quraisy.
Demikian juga, ketika Usmaniyah berkuasa, salah seorang anggota keluarga Quraisy diboyong dari Mesir ke Turki untuk dijadikan alat legitimasi. Usmaniyah berkuasa atas nama Quraisy. Pada abad ke-17, Usmaniyah rupanya tidak lagi memerlukan Quraisy. Mereka akhirnya menobatkan dirinya sebagai khalifah.
Perilaku khalifah sepanjang sejarah juga sering tidak Islami. Ada khalifah yang suka mabuk-mabukan. Ada juga saling bunuh antarcalon khalifah. Ada juga khalifah yang bekerja sama dengan kafir untuk melawan sesama Muslim.
Karena Allah dan Rasul-Nya tidak mengajarkan bentuk negara Islam, maka kita bebas memilih. Seolah-olah Islam menyatakan, silakan pilih bentuk negara khilafah, kerajaan, republik, atau apa pun. Yang penting harus sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Lebih baik negara republik yang Islami daripada negara khilafah yang tidak Islami. Lebih baik negara kebangsaan yang adil dan makmur daripada negara khilafah yang dlalim dan melarat. Yang penting bukan bentuknya, tapi isinya. Itulah ajaran Islam tentang negara. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Khalifah dalam buku Di Balik Simbol Memahami Pesan Agama dengan Seemanga Kemajuan ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul Rebutan Khalifah.
Discussion about this post