Kisah Sukses Bos Kosmetik Wardah oleh Ali Murtadlo, jurnalis tinggal di Surabaya.
PWMU.CO-Sudah dua kali ini, Menteri BUMN 2011-2014 Dahlan Iskan (DI) mewawancarai bos komestika Wardah Nurhayati Subakat. Pertama, pertengahan 2018 lalu, yang kemudian ditulis berseri. Yang kedua kemarin, zoominar yang langsung dipimpin DI, difasilitasi Perusahaan Webinar Jagaters, milik mantan anak buah DI dan yunior saya di JP, Mas Joko Intarto.
Mengapa begawan media ini perlu mewawancarainya sampai berkali-kali, ikuti alasannya. Kisahnya memang istimewa. Perusahaan lokal yang meraksasa bahkan bisa mengalahkan yang kelas dunia. Kisah sukses ini jangan hanya dengar hebatnya sekarang. Juga jatuh bangunnya dulu. Banyak yang bisa kita tiru: kegigihannya, etos kerjanya, relijiusitasnya, kedermawanannya, dan kedekatan dengan karyawannya.
Pada saat awal kita dihajar Covid, Maret lalu, Wardah memberikan berita segar bagi negeri: membantu Rp 40 miliar untuk penanggulangan covid 19. Karena termasuk perusahaan yang paling awal memberikan sumbangan untuk Covid, hampir semua media memberitakannya. Setelah itu, baru diikuti yang lainnya.
Bukan kali ini saja, perusahaan kosmetik milik keluarga Nurhayati Subakat asal Padang Panjang ini mensyukuri kesuksesan perusahaannya dengan berbagi CSR (Corporate Social Responsiblity).
Sebelumnya, Nur juga memberikan dana abadi kepada almamaternya, ITB, sebesar Rp 52 M yang diterima langsung oleh rektornya (pada waktu itu) Prof Dr Ir Kadarsah Suryadi DEA. Dari delapan saudara kandung Nurhayati, ada 6 yang lulusan ITB. Anak pertama dan kedua Nur, juga sama-sama alumni ITB, sedangkan anak ketiganya dokter lulusan UI.
Penghargaan dari Almamater
Nurhayati Subakat sendiri lulusan farmasi ITB dengan predikat lulusan terbaik, baik S1maupun S2-nya. Sedangkan S3 juga diperoleh dari ITB, bukan lewat jalur studi. Tapi penghargaan (honoris causa) atas kemampuannya mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya di kampus dengan inovasi yang dikembangkannya di perusahaan kosmetiknya, PT Paragon Technology and Innovation (PTI). Perusahaan ini antara lain membawahi Wardah, kosmetika para hijabers, Emina, Make Over, dan sampo merek Putri.
Anehnya, meski lukusan terbaik, bukan jaminan bagi Nur untuk segera mendapatkan kerja. Setelah kirim lamaran sana sini, akhirnya baru diterima sebagai apoteker yang ternyata tidak berapa lama harus ditinggalkan karena harus mendampingi suaminya, Subakat Hadi, yang tinggal di Jakarta.
Di ibu kota, Nur mulai cari kerja lagi. Diterima sebagai staf quality control di perusahaan farmasi ternama. Meski karirnya terbilang bagus, dia mundur memilih mundur untuk membuat produk sendiri. Membuat perusahaan sendiri.
Meski berawal dari home industry dengan karyawan dia sendiri dibantu satu asisten rumah tangganya. ”Produk pertama kami adalah sampo merek Putri,” katanya. Lalu, produknya mulai dia tawarkan ke salon. Karena produknya bagus, banyak salon yang menyukainya. ”Namanya home industry, perjalanannya pelan, tapi alhamdulillah berkembang,” katanya. Produk-produk Putri mulai terpajang di salon-salon ternama Jakarta. ”Saya memang mengandalkan kualitas,” kata Nur.
Pabrik Terbakar Habis
Di tengah mulai menikmati kemajuan perusahaannya, badai terbesar datang. Pada 1990 perusahaannya terbakar. Habis-bis. Rata dengan tanah. ”Semua faktur ikut terbakar. Pakai faktur saja kadang nagihnya sulit. Bisa dibayangkan jika tidak ada fakturnya,” katanya.
Nur merenung berhari-hari. Apa hikmah di balik kebakaran ini. Ditutup apa lanjut. ”Saya kepikiran karyawan. Bank yang tahu kami kebakaran malah datang. Membesarkan hati kami pasti ada hikmah di balik ini. Mereka siap bantu. Saya bilang kira-kira butuh Rp 50 juta. Malah ditawari Rp 150 juta. Saya bilang jaminan saya kurang. Banknya bilang, nanti bangunan pabrik ini, bisa dijadikan jaminan. Saya mau, dan saya malah punya empat pabrik dan rumah saya sendiri,” katanya.
Milestone berikutnya adalah kelahiran Wardah 1995. ”Inspirasinya dari teman-teman Pondok Pesantren Hidayatullah agar kami memiliki kosmetika halal bagi muslimah. Saya setuju. Lalu, kami memasarakan bersama. Tidak jalan. Mengapa? Karena santri tidak pakai kosmetika,” katanya.
Tidak patah arang, pemasaran gerilya gencar dilakukan. ”Anak pertama saya yang sejak 2002 bergabung, ikut memasarkan. Bahkan, punya kenangan di Pasar Atom Surabaya. Kata anak saya dbilangi begini, jual make up kok halal-halal terus,” katanya menirukan anaknya.
Perjalanan 35 tahun PT Paragon yang dipimpin Nurhayati menunjukkan jalan yang tidak mudah. Bahkan seringkali terjal berliku. ”Orang melihat Wardah sekarang. Padahal yang sekarang ini, baru kita nikmati sepuluh tahun terakhir. Yang 25 tahun sebelumnya, adalah masa-masa perjalanan kerja keras kami,” katanya.
Mau meniru kisah sukses ini? Lewati dulu jalan berlikunya. Salam!
Editor Sugeng Purwanto