Refleksi Kemerdekaan Haedar Nashir: Rindu Indonesia Bernyawa. Renungan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyambut HUT Ke-75 Republik Indonesia.
PWMU.CO – Dalam gempita perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-75 dengan templat logo milenial nirsensitivitas sosial. Tiba-tiba terlintas suara berat Bung Karno didampingi Hatta kala memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang mengguncang semesta:
Proklamasi
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.”
Gelegar teks bersejarah yang dibacakan dengan sepenuh jiwa raga itulah yang mengentak dunia dan menjadi penanda Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara MERDEKA. Merdeka dengan huruf kapital. Merdeka dari penjajahan asing yang merampas Tanah Air dan menyengsarakan rakyat Indonesia ratusan tahun lamanya.
Seluruh rakyat di pelosok Tanah Air kala itu merayakan dengan sukacita dan kesyukuran atas kemerdekaan yang ditebus sangat mahal iu. Kemerdekaan yang dengan bijak oleh para pendiri bangsa dipersaksikan sebagai, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.”
Kini, setelah waktu berlalu jauh dari hari bersejarah itu. Jika dalam setiap perayaan 17 Agustus selalu dipekikkan “merdeka”. Apakah Indonesia hari ini benar-benar merdeka dari ketergantungan asing dan praktik kekuasaan domestik yang membelenggu? Kala dikumandangkan “Hidup Indonesia”, apakah Indonesia “benar-benar hidup” saat ini?
Nyawa Indonesia
Mr Soepomo ketika berpidato di BPUPKI menyatakan, setelah merdeka kita ingin membangun Indonesia bukan raga fisik semata, tetapi membangun Indonesia yang “bernyawa”. Indonesia yang memiliki jiwa. Sebagaimana bagian dari frasa lagu Indonesia Raya: “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”.
Hampir semua tokoh kemerdekaan dan pendiri bangsa di majelis tertinggi tersebut bicara nilai-nilai mendasar. Sebagai dasar negara dan nilai fundamental sekaligus jiwa bagi Negara Indonesia yang sedang diperjuangkan kemerdekaannya. Pikiran-pikiran mendasar itulah yang di kemudian hari dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk dalam batang tubuh UUD 1945.
Adakah nilai-nilai mendasar Indonesia itu saat ini menjiwai alam pikiran, sikap, dan tindakan para elite dan warga bangsa?
Bagus orang-orang berslogan “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”, “Aku cinta Indonesia”. Namun, adakah jiwa keindonesiaan di dalamnya? Jangan sampai slogan hampa makna, tidak bernyawa.
Nyawa Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak tersentuh amendemen yang sangat liberal. Adakah Indonesia hari ini semakin mendekati atau sejiwa dengan tujuan menjadi negara dan bangsa yang benar-benar telah merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di dunia nyata.
Cita-cita nasional yang memang berat untuk diwujudkan, tetapi setidaknya tidak dikalahkan oleh kebijakan-kebijakan pragmatik jangka pendek.
Apakah Benar-Benar Merdeka?
Apakah Indonesia saat ini benar-benar merdeka dari neokolonialisme dan neoliberalisme seperti pernah dicemaskan Bung Karno puluhan tahun silam?
Elite dan warganya benar-benar bersatu lahir dan batin. Benar-benar berdaulat dari segala cengkeraman politik, ekonomi, dan budaya domestik maupun asing. Benar-benar berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Benar-benar makmur mayoritas rakyatnya.
Lima pertanyaan dasar tersebut patut dijawab ketika para petinggi dan penduduk negeri merayakan Indonesia merdeka.
Para penyelenggara negara apakah ingat perintah konstitusi dasar. Bahwa setiap Pemerintah Negara Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sudahkan semua itu dijalankan dan menjadi komitmen utama para pejabat negara?
Bacalah dengan saksama substansi Pancasila di dalamnya. Negara dan bangsa Indonesia ini harus benar-benar ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ber-Persatuan Indonesia. Ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila dalam kata kerja, bukan kata benda dan retorika.
Saksikan Indonesia di dunia nyata. Sistem kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia praktiknya oligarkis. Adakah sistem kekuasaan elite tersebut dengan jiwa Indonesia merdeka?
Siapa yang dapat menghentikan jika eksekutif dan legislatif berkongsi mengegolkan RUU yang bermasalah? Tidak ada, suara Tuhan pun mungkin tidak akan didengar.
Padahal, Bung Hatta mengingatkan, kemerdekaan bukan sekadar terlepas dari jajahan Belanda, melainkan masyarakat Indonesia juga harus melepaskan diri dari jajahan para kaum ningrat (elite) yang berusaha menguasai rakyat Indonesia!
Kehilangan Indonesia
Indonesia menjadi negeri merdeka seperti sekarang ini diperjuangkan dengan pengorbanan jiwa para pejuang dan pendiri bangsa. Hatta untuk sebuah nama INDONESIA perlu proses panjang sejak Adolf Bastian memperkenalkannya pada 1884.
Para tokoh kebangkitan nasional serta Kongres Pemuda 1928 lebih memilh Indonesia daripada nama Swarnadwipa, Dwipantara, Insulinda, Melayunesia, dan Nusantara. Nama Indonesia pun bermakna, bernyawa.
Kita saat ini merindukan Indonesia yang beryawa dalam jiwa Pembukaan UUD 1945 dan spirit para pejuang bangsa. Indonesia yang bersumberkan nilai Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa yang hidup dalam kesadaran kolektif bangsa di seluruh penjuru negeri. Bukan Indonesia kata-kata. Apalagi, sekadar ragad fisik dan berlogo “merchandise”.
Pastikan jiwa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh sumber nilai keindonsiaan itu dilaksanakan dengan sesungguh-sungguhnya oleh seluruh penyelenggara negara.
Pastikan lima sila dalam Pancasila dijiwai dan dijalankan, bukan sekadar bermain di perundang-undangan, yang salah kaprah dan membakar gundah. Bukan Pancasila yang bersemi dalam jiwa-jiwa kerdil dan congkak kuasa.
Pastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terwujud untuk memotong mata rantai kesenjangan sosial sebagai masalah utama bangsa. Pastikan siapa yang menguasai tanah dan sumber daya alam di negeri tercinta ini.
Nasib Bumiputra
Kita tidak tahu nasib penduduk bumiputra dan rakyat kecil, apakah masih bisa punya tanah hanya untuk sejengkal, yang dulu para nenek moyangnya berkorban nyawa untuk kemerdekaan negeri ini. Adakah negara melindungi Tanah Air yang kaya raya itu untuk hajat hidup terbesar rakyat?
Pastikan kekayaan negara dan sumber daya alam dijamin untuk sebesar-besarnya hajat hidup rakyat sebagaimana pasal 33 UUD 1945. Apakah kekayaan flora, fauna, dan yang terkandung di perut bumi Indonesia tidak dieksploitasi oleh tangan-tangan rakus dan tidak bertanggung jawab.
Diekspor mentah dan murah tanpa berpikir kepentingan domestik dan nasib generasi mendatang. Amanahkah para petinggi dan aparat negara dari pusat sampai daerah dalam menjaga kepentingan bangsa dan tumpah darah Indonesia yang sangat berharga itu.
Apakah pendidikan Indonesia benar-benar sebagai strategi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai jalan kebudayaan mendidik akal budi dan menyiapkan manusia Indonesia yang beriman-bertakwa, berkahlak mulia, ceras berilmu, dan berkeahlian sebagai insan berbudi luhur untuk menjadi aktor peradaban masa depan Indonesia.
Bukan pendidikan sebagai pabrik produksi insan modular yang terputus nalar sejarah dan kebudayaannya dari jati diri keindonesiaan.
Jangan Serba Indrawi
Kaum milenial dan generasi Z memang harus diberi ruang kreasi dan inovasi bagi kemajuan Indonesia.
Namun, jangan manjakan mereka dengan ruang kreasi serba-indrawi yang membuat mereka ahistoris dan terasing jati diri keindonesiaan yang bersumberkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur yang hidup di Bumi Pertiwi Indonesia.
Pemanjaan yang berlebihan akan menjadikan mereka “the lost generation” laksana anak salah asuhan.
Hari ini kita merindukan Indonesia yang tidak gemerlap luar, tetapi kehilangan jiwa autentik. Kita nyaris tidak begitu mengenali Indonesia yang didirikan para pendiri negara 75 tahun silam. Indonesia yang berjiwa Pembukaan UUD 1945. Bukan Indonesia yang penuh jargon verbal yang dangkal, tetapi luruh sukma dan tak berdaya-hidup.
Indonesia yang sarat ritual simbolis nirmakna fundamental. Indonesia yang warga dan elite negerinya terputus dari sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai luhur 1945. Indonesia yang tidak bernyawa! (*)
Atas izin penulis, tulisan yang telah diterbitkan Republika berjudul “Indonesia Bernyawa”, Jumat (14/8/2020) ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul “Refleksi Kemerdekaan Haedar Nashir: Rindu Indonesia Bernyawa”.
Editor Mohammad Nurfatoni.