Spiritualitas Kalender Hijriah, kolom ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Setidaknya ada dua hal menarik yang selalu melekat ketika kita membicarakan tahun atau penanggalan Islam.
Pertama, awal sistem penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Yaitu hijrah, perpindahan Rasulullah SAW dan para sahabat dari kota Mekkah menuju Kota Yatsrib.
Kedua, kalender Hijriah yang menggunakan peredaran rembulan sebagai sistem penanggalannya.
Mengapa Umar Berpedoman Hijrah?
Orang pertama yang menetapkan sistem kalender Islam Hijriah ialah Khalifah Umar bin Khaththab. Mengapa dia menggunakan peristiwa hijrah sebagai latar belakang penanggalan Islam?
Semula memang ada usulan ditetapkannya awal kalender Islam berdasarkan kelahiran Rasulullah SAW. Seperti kaum Nasrani yang menggunakan kelahiran Nabi Isa yang mereka yakini jatuh pada akhir Desember dan dibulatkan menjadi 1 Januari. Sehingga kita kenal penanggalan Miladi yang bermakna kelahiran atau Masehi yaitu mengambil nama Isa al-Masih.
Tapi usulan ini tidak disetujui Khalifah Umar. Dia lebih memilih peristiwa hijrah sebagai awal permulaan kalender Islam.
Keputusannya untuk menjadikan sejarah hijrah sebagai permulaan kalender Islam cukup menarik. Karena dalam pandangannya, hijrah adalah peristiwa yang membalikkan keseluruhan perjalanan sejarah perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan kebenaran dan memperoleh kesuksesan yang spektakuler.
Intimidasi di Mekkah
Jika kita tilik kembali sejarah hijrah Rasulullah SAW tersebut, paling tidak ada dua hal yang bisa kita pungut untuk kemudian kita reaktualisasikan dalam dakwah kekinian.
Pertama, hijrah tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah adanya intimidasi tak terhentikan—dalam berbagai bentuknya—dari kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Jika kita telaah lebih jauh, intimitasi itu terjadi, terutama, karena umat Islam dalam posisi politik yang lemah.
Padahal dengan intimidasi itu umat Islam tidak memiliki perlindungan yang berarti dalam pelaksanaan hak-hak keagamaan dan kemanusiannya. Lebih dari itu misi kerasulan (rahmatan lil alamin) yang diemban Muhammad SAW sulit untuk tercapai.
Mengingat misi itu bersifat mendasar dan mengandung implikasi perubahan besar. Tepatnya penghancuran, terhadap ideologi sesat yang dianut oleh mayoritas elit dan penduduk Mekkah waktu itu.
Membangun Kekuatan di Madinah
Kedua, dalam rangka membangun kekuatan politik itulah Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Madinah. Tak heran jika akhirnya terbentuk negara Madinah, yang berbasis sepenuhnya pada ideologi Islam; yang memiliki pranata politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan sendiri.
Dengan negara Madinah itulah akhirnya Rasulullah SAW memiliki kekuatan politik untuk melindungi hak-hak keagamaan dan kemanusiaan. Bukan saja bagi umat Islam sendiri melainkan juga bagi warga lainnya.
Karena itu kota tempat beliau berhijrah yaitu Yatsrib diubah namanya menjadi al-Madinah ar-Rasul yang bermakna Kota Rasul—dalam pengertian tempat peradaban yang dibangun Rasululah SAW.
Maka, memasuki tahun baru Islam sama dengan kita diingatkan untuk terus meningkatkan perjuangan. Mengubah dan memperbaiki masyarakat sehingga terwujud masyarakat beradab. Yaitu masyarakat yang tunduk-patuh pada nilai-nilai kebenaran, yang bersumber dari Yang Maha Benar.
Spiritualitas Kalender Hijriah
Penetapan kalender Hijriah ini didasarkan pada adanya kesadaran manusia yang kali pertama tentang adanya siklus 30-an hari (satu bulan) yang didasarkan pada hasil pengamatan manusia atas rembulan itu yang berubah-ubah dari bentuk sabit sampai menjadi bundar penuh (bulan purnama).
Perubahan bulan dari sabit menuju purnama pernah menjadi perhatian sahabat Nabi. Suatu ketika Muad bin jabal dan Tsa’labah bin Ghanamah bertanya kepada Rasululah saw, “Wahai Nabi, mengapa bulan bermula tsabit kemudian membesar hingga purnama, lalu, dari malam ke malam, mengecil hingga sirna dari pandangan?”
Mendapat pertanyaan itu Rasulullah SAW terdiam lalu turunlah wahyu, “Katakanlah (Hai Muhammad), dia (bulan sabit) adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (al-Baqarah/2:189)
Secara spiritual kita bisa mengambil hikmah dari fenomena alam berupa bulan dan perubahannya itu seperti firman Allah dalam al-Quran, Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti (untuk memberi kesempatan) bagi siapa yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) dan yang ingin bersyukur (al-Furqan 62)
Apa pelajaran dari pergantian waktu itu? Seperti yang disimbolkan oleh perjalanan bulan: pada mulanya dia tak hadir di persada bumi, kemudian lahir kecil mungil, bagai bulan sabit.
Dari hari ke bulan, bulan ke tahun, kita menjadi besar, hingga dewasa, sempurna usia, tetapi kemudian: sedikit demi sedikit, kembali menurun dan menurun kemampuannya. Hingga tua dan mati. Lalu menghilang dari kehidupan duniawi.
Lalu bagaimana kita menggunakan perubahan waktu dan juga umur itu? Bagi yang tidak beriman—mengutip M. Quraish Shihab—pergantian malam dan siang, tidak lain kecuali: permainan tanpa tujuan (seperti perilaku bayi). Melakukan aktivitas yang melalaikan (seperti dilakukan anak-anak); berhias dan bersolek (seperti remaja); menumpuk harta dan anak untuk kebanggaan (seperti kebanyakan orang dewasa).
Sementara bagi orang beriman, waktu, seperti diingatkan Allah dalam surat al-Furqan di atas meniscayakan dilakukannya dua aktivitas. Pertama, mengingat yang berkiatan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi agar mengantarkan kepada perbaikan dan peningkatan.
Kedua, bersyukur yang menuntut digunakannya semua potensi yang dianugerahkan Allah sesuai tujuan penganugerahannya. Ini menuntut upaya dan kerja keras. Seperti kata Allah, Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri mempersiapkan apa yang telah disiapkannya untuk hari esok. (al-Hasyr 18)
Makna dari Sabit ke Purnama
Karena pergantian detik dan menit, jam dan hari, bulan dan tahun tidak lain dan tidak bukan pada hakikatnya adalah perubahan dari tiada menjadi ada dan kembali menjadi tiada.
Seperti perubahan bulan sabit menuju purnama dan hilang kembali, maka kita dingatkan oleh Ali bin Thalib, “Jika keadaanmu makin mundur, sedangkan maut terus datang menghadangmu, maka alangkah cepatnnya pertemuanmu dengannya.”
Maka, mari kita simak firman Allah, “Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah bersusah payah menuju Tuhanmu, maka engaku akan menemui-Nya.” (al-Insyiqaq 6)
Jadi, pergantian waktu dalam Islam mengandung pengertian spiritual yang mendalam. Jangan heran—dan tak usah iri—jika pergantian tahun Islam tidak ditandai oleh aktivitas yang serba gebyar dan penuh hura-hura. Semangat ini sangat relevan di tengah pandemi Covid-19.
Selamat Tahun Baru Hijriah!. (*)