Abdurrahman bin Auf dijuluki si Tangan Emas, apa pun yang diusahakan selalu sukses.
PWMU.CO-Setelah hijrah dan tinggal di Madinah, Rasulullah membangun persaudaraan antara kaum anshar dan muhajirin. Persaudaraan ini menjadikan umat Islam lebur membentuk satu identitas bangsa baru yakni muslim. Bangsa yang tidak lagi memandang warna kulit, keturunan, suku, kaya dan miskin tapi berdasarkan hubungan akidah.
”Bersaudaralah kalian karena Allah. Dua orang, dua orang,” kata Rasulullah. Dengan ikatan persaudaraan itu mereka membangun semangat kebersamaan, tolong menolong, saling mendukung, hormat menghormati, saling berbagi dan menjaga.
Dalam buku Kisah Dramatik Hijrah diceritakan, demi ikatan persaudaraan itu yang kaya merelakan hartanya dibagi. Bahkan sampai-sampai ada yang rela salah satu istrinya dicerai untuk dikawinkan dengan saudara barunya. Namun kaum muhajirin tahu diri dan tidak aji mumpung. Sebab mereka hijrah bukan mencari harta dan wanita.
Seperti persaudaraan antara Abdurrahman bin Auf dari muhajirin dengan Sa’ad bin Rabi’ dari kelompok anshar. Sa’ad bin Rabi’ berkata kepada saudara barunya,”Aku termasuk orang anshar yang banyak harta. Kekayaanku akan kubagi dua. Separo untukmu dan untukku.”
Kemudian dia berkata lagi,”Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah mana yang kamu pandang baik akan aku ceraikan setelah habis masa iddahnya silakan menikah dengannya.”
Abdurrahman bin Auf bukan tipe manusia serakah dan memanfaatkan aji mumpung. Dia tahu diri. Persaudaraan ini bukan semata-mata berbagi harta dan istri tapi bertujuan menegakkan umat Islam yang kuat, bersatu, tanpa diskriminasi.
Dia pun menjawab dengan sopan kepada saudaranya,”Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkan saja kepadaku, di manakah pasar kota ini?”
Sa’ad bin Rabi lantas menunjukkan pasar orang Yahudi Bani Qainuqah. Pergilah Abdurrahman bin Auf ke pasar itu. Dengan ketangkasan bernegosiasi, dia bisa membeli barang dan berjualan di situ dengan modalnya sendiri yang sedikit.
Berdagang Gandum dan Samin
Mula-mula dia berdagang tepung gandum dan minyak samin. Itulah yang dia usahakan terus menerus hingga sedikit demi sedikit kemudian mampu mengumpulkan kekayaan. Membeli pakaian dan rumah. Penampilannya menjadi necis, rapi, dan harum.
Rasulullah melihat perubahan penampilan sahabatnya ini. Saat bertemu dengan Abdurrahman kemudian ditanya,”Kamu sudah punya penghasilan?”
”Ya, Rasulullah. Bahkan aku sudah menikah,” jawab Abdurrahman.
”Berapa mas kawin yang kamu berikan?”
”Setail emas.”
Dalam masa yang relatif pendek dia sudah mampu membayar mas kawin dengan emas. Memang kisah sahabat Nabi, Abdurrahman bin Auf, diberkahi kemuliaan dari tangannya. Apa pun yang diusahakan selalu sukses. Karena itu dia dijuluki bertangan emas.
Persaudaraan anshar dan muhajirin itu statusnya begitu tinggi sampai-sampai terjadi soal harta waris pun bisa jatuh ke saudara seiman ini.
Ikatan ini mengalahkan kekerabatan hubungan darah. Namun kemudian turun ayat yang mendudukkan kembali soal hukum waris ke posisi semula. Yakni surat Al Anfal ayat 75 dan surat An Nisa’ ayat 33 yang menekankan, hak waris sesuai dengan hukum yang telah ditentukan berdasarkan pertalian darah.
Sedangkan persaudaraan karena ikatan perjanjian ini dibolehkan mendapat bagian waris berdasarkan wasiat orang yang meninggal. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto