Khalifah: Wakil Tuhan, Wakil Rakyat. Kolom ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO, tinggal di Kabupaten Gresik.
PWMU.CO – Selama ini akhlakul karimah (budi pekerti luhur) sering dipahami sebagai sopan santun, unggah-ungguh, adab, atau tata krama. Tapi, saya tercengang ketika mendapatkan makna yang sangat dalam tentang akhlakul karimah.
Adalah Muhammad Zuhri (1939–2011) yang memberikan makna mendalam itu. Menurut guru hikmah yang disebut-sebut sebagai sufi revolusioner itu, ajaran Islam telah memiliki kriteria tersendiri tentang akhlak mulia.
Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Juga, firman Allah dalam Surat al-Qalam: 4, ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki budi pekerti yang luhur.”
Seseorang disebut berakhlakul karimah—sebagaimana teladan terbaik yang diberikan Nabi SAW—manakala berada dalam kondisi yang seimbang. Artinya, pribadi yang sanggup berdiri di antara Allah dan semestanya; di antara yang ideal dan riil; atau di antara dimensi keharusan dan kenyataan.
Pandangan Pak Muh—panggilan akrabnya— itu didasarkan pada Surat al-Baqarah 143, ”Demikianlah telah Kami jadikan kamu suatu umat yang seimbang, supaya kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul (mewakili Allah) menjadi saksi atas kalian.”
Menurut Pak Muh, seorang yang berakhlak terpuji akan menyandang dua tanggung jawab sekaligus. Yaitu tanggung jawab ke atas dan ke bawah.
”Ketika pribadi yang demikian menghadap kepada Allah, ia bertanggung jawab untuk menyampaikan tuntutan dan harapan umat manusia kepada-Nya. Dan ketika berhadapan dengan manusia, dia bertanggung jawab menyampaikan pesan dan perintah Allah kepada mereka,” tulis Pak Muh dalam buku Secawan Cinta: Pesan-Pesan Kearifan dari Lereng Muria (Barzakh Foundation, 2015, h 450).
Singkatnya, seorang berakhlak mulia itu akan menjadi wakil Allah di depan manusia dan menjadi wakil umat manusia di depan Allah.
Dua Tanggung Jawab Khalifah
Definisi akhlakul karimah Pak Muh di atas penting sebagai bahan renungan untuk para pemimpin yang sedang berkuasa. Juga bagi para petarung yang akan memperebutkan kursi kepemimpinan dalam ajang kompetisi politik.
Adalah suatu fakta, tidak semua orang berkesempatan menjadi pemimpin. Apalagi pemimpin formal seperti presiden, gubernur, bupati, atau wali kota. Juga para anggota dewan. Perlu sumber daya (baca dana) yang besar untuk mendapatkannya.
Karena itu, diakui atau tidak, menjadi pemimpin seperti itu adalah kesempatan langka—dan emas. Sekaligus sebuah posisi yang sangat strategis, khususnya dari sisi spiritual seperti yang didefinisikan Pak Muh sebagai akhlakul karimah di atas.
Sebab ada dua tanggung jawab yang harus diemban seorang pemimpin—jika ia ingin menyandang gelar akhlakul karimah. Pertama, dialah—karena kesempatan yang langka itu—wakil manusia di hadapan Tuhan.
Memang, dalam spiritualitas Islam, semua orang punya hak untuk langsung ‘bertemu’ dan ‘berhadapan’ dengan Tuhan, melalui ibadah-ibadahnya.
Tetapi doa pemimpin yang adil—sebagaimana sabda Rasulullah—adalah salah satu yang mustajab (terkabulkan). Karena itu menjadi kewajiban bagi pemimpin untuk menyampaikan doa dan harapan umat di hadapan Tuhan.
Dalam konteks yang lebih luas, pemimpin adalah penyerap aspirasi rakyat. Dia adalah wakil rakyat. Ini sejalan dengan makna pemimpin sebagai khalifah—yang artinya wakil.
Sebagai khalifah itu pula pemimpin menyandang tanggung jawab kedua. Dia adalah wakil Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya bagi semesta.
Pemimpin adalah wakil Tuhan untuk membumikan pesan-pesan Ilahiah. Salah satu pesan penting itu bagaimana pemimpin memakmurkan rakyat—dan makna menyimpangnya: membesarkan dinasti dan kroni sendiri.
Jika seorang pemimpin mampu mengemban dua tanggung jawab itu, dia akan ‘bergelar’ akhlakul karimah. Tentu, capaian ini hanya bisa digapai oleh pemimpin yang punya kedekatan dengan Tuhan sekaligus merakyat! (*)