Pengemis: Diberi atau Tidak? Kolom ditulis oleh Ustadz Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Di lampu merah sering menjadi tempat mangkal anak jalanan. Ada pengamen, pengemis, penjual asongan, pembersih kaca mobil, dan profesi anak jalanan lainnya. Lampu merah bagaikan kantor mereka mencari nafkah.
Yang paling susah itu menghadapi pengemis. Diberi atau tidak? Kalau profesi lain ditolak atau diberi tidak meningalkan beban. Tetapi pengemis? Diberi meninggalkan beban. Ditolak juga meniggalkan beban. Selalu ada konflik di hati.
Kalau diberi ada perasaan bersalah. Jangan-jangan ini bisa melestarikan “profesi” itu. Juga uang yang meskipun sering berupa recehan itu jangan-jangan tidak jatuh ke tangan pengemis tetapi ke tangan bosnya pengemis. Benarkah para pengemis di lampu merah itu dikendalikan dan dikuasai bosnya?
Perlakuan Manusiawi
Namun kalau tidak diberi kadang merasa bersalah. Jangan-jangan kita bakal termasuk pendusta agama. Pengemis secara khusus dalam al-Quran diminta kita perlakukan manusiawi, lembut, tidak kasar. “Faamassaaila fala tanhar. Adapun pengemis jangan pernah kamu bentak.”
Juga ada pesan bahwa jika mencintai Allah maka hendaklah kita membantu orang-orang lemah. Tuhan seakan menagih demikian:
“Kalau kamu mencitai Aku, mengapa engkau tidak menjenguk-Ku ketika Aku sakit? Mengapa engkau tidak memberi-Ku makan ketika Aku lapar? Tidak memberi salimut atau pakaian ketika Aku kedinginan?
Tuhan, bagaimana Engkau bisa sakit? Engkau bisa lapar? Engkau bisa kedinginan? Bukankah Engkau Maha segalanya?
Aku besama orang-orang malang yang sakit. Namun engkau membiarkan mereka terkapar sendirian. Kau tidak menjenguknya. Aku bersama orang-orang miskin yang kelaparan namun engkau tidak pedulikan. Aku bersama orang-orang yang kedinginan karena tidak punya selimut dan pakaian. Namun engkau membiarkan mereka dalam penderitaan.”
Kini pengemis itu berada di depan hidung kita. Dengan suara menghiba meminta belas kasihan. Tidak banyak yang diminta. Hanya uang recehan yang tidak membuat kita jadi miskin. Mengapa kita tidak peduli? Apalagi di antara mereka ada anak-anak usia sekolah. Mereka setiap hari bernafas dengan udara kotor dari polusi knalpot kendaraan yang behenti di lampu merah.
Pengemis Zaman Sekarang
Namun dunia pengemis sekarang tidak sederhana seperti pengemis zaman dulu. Tidak selalu karena miskin atau kebutuhan mendesak.
Di lampu merah daerah Surabaya, dulu ada seorang yang selalu hadir dengan duduk di sebuah becak. Dia parkir becaknya di tepi jalan berjarak sekitar lima meter dari lampu merah. Tidak pernah minta-minta. Hanya duduk diam di becaknya.
Dengan jarak dekat itu dia bisa mengawasi aktivitas anak-anak yang mengemis atau jual koran dan jualan barang lain. Apakah dia ini bos dari anak-anak kecil jalanan ini? Entahlah!
Jika benar dia bos dari para pengemis itu, maka uang kita jatuh ke bosnya. Tidak ke pengemis itu. Maka masihkah mereka perlu dibantu? Bukankah memberi bantuan sama dengan melestarikan budaya mengemis di tengah masyarakat? Melestarikan penyakit sosial?
Kawan saya tinggal di perkampungan padat di wilayah Kenjeran. Persis di sebelah rumah kawan itu tinggal seorang yang kerjanya sebagai pengemis. Dia seorang ibu dengan empat orang anak. Suaminya bekerja serabutan dan tidak tentu.
Setiap pagi ibu ini pergi ke tempat operasinya di daerah Surabaya Utara. Berangkat jam delapan pagi dan pulang jam empat sore. Hampir sama dengan jam kerja orang kantoran atau pekerja pabrik.
Suatu hari tercium bau masakan yang sedap sekali. “Mau ada tamu penting? Kok bau masak terasa lezat?” tanya saya.
“Tidak! Ini bau masakan dari rumah sebelah,” katanya.
“Lho, rumah ibu yang tiap hari mengemis?”
Di perkampungan padat, jarak antarrumah memang berdekatan sehingga masakan bisa tercium ke tetangga.
“Dia memang pengemis. Tetapi jangan remehkan uangnya. Setiap hari makannya mungkin lebih enak dari pada makan keluarga kami. Ketika mantu dia nanggap orkes. Hebat bukan? Jangan remehkan uang seorang pengemis,” cerita dia.
Pelanggan Pengemis
Saya punya pelanggan pengemis. Biasanya datang ke rumah rombongan empat orang ibu. Cara mintanya khas: “Assalamualaikum Bah. Ini empat orang!” suaranya nyaring.
Lalu kami beri uang dengan pesan, “Bagi rata ya. Jangan bertengkar!”
Lalu diterima salah seorang dan dimasukkan ke tasnya. Tidak dibagi. Rupanya dia semacam bagian bendahara.
Suatu hari saya tanya mengapa pilih mengemis, tidak bekerja biasa? Salah seorang menjawab, “Saya sudah pernah bekerja. Lalu saya keluar.”
“Bekerja di mana?”
“Di rumah makan. Di daerah basis angkatan laut. Saya bekerja di situ dua tahun,” katanya.
Lalu dia mengeluarkan kartu tanda masuk ke komplek itu. Memang kalau masuk ke daerah basis harus izin. Bagi mereka yang bekerja di tampat itu dia punya kartu khusus masuk. Dan pengemis punya kartu khusus itu. Tandanya setiap hari dia masuk daerah basis itu.
“Mengapa keluar?”
“Bayarannya sedikit”
“Lebih banyak hasil mengemis?”
Dia mengangguk sambil tertawa.
“Meskipun hasilnya sedikit tapi lebih terhormat daripada mengemis,” kata saya sambil menekankan kata terhormat.
Entah apa sebabnya, sejak hari itu mereka tidak pernah lagi muncul di rumah. Semoga karena berhenti mengemis, bukan pindah operasi di daerah lain.
Pengemis Ganti Baju
Kasus lain. Setiap hari seorang pria masuk ke sebuah masjid besar yang beada di tepi jalan raya. Pria itu lalu markir sepeda motornya. Dia masuk kamar mandi lalu ganti pakaian yang kumal ditutupi jaket, kemudian naik becak.
Sore hari pria itu datang. Ganti pakaian di kamar mandi, lalu mengambil motornya. Demikian berlangsung beberapa bulan.
Penjaga masjid itu akhirnya tahu, entah dari mana, bahwa pria itu adalah pengemis. Maka suatu hari kamar mandi dia kunci. Ketika pria pengemis itu datang dia tidak bisa ganti pekaian di kamar mandi.
Dia lalu marah-marah. “Mengapa kamar mandi dikunci? Masjid ini milik umat, milik masyarakat. Bukan milik penjaga masjid!” serunya.
Dengan tenang penjaga masjid itu menjawab, “Masjid memang milik umat. Tetapi masjid bukan tempat pengemis ganti pakaian dan meletakkan kendaraan.”
Pengemis itu terdiam lalu pergi. Dan sejak itu dia tidak pernah datang lagi.
Difabel Berkarya
Kembali ke soal pengemis. Diberi atau tidak?Saya dalam soal ini sering tidak istikamah. Maksudnya sering berubah sikap. Kadang memberi kadang tidak.
Ketika yang muncul logika lebih kuat dari pada perasaan maka saya tidak memberi kepada pengemis. Termasuk kepada pengemis yang cacat tubuh atau disabilitas/difabel (keterbatasan diri)
Saya segera teringat Irma Suryani dari Kebomen, Jawa tengah. Dia dan suami sama-sama cacat tubuh. Sejak kecil kena polio.
Tetapi dia tidak mengemis. Malahan mampu memberi pekerjaan kepada orang-orang cacat, kepada TKI yang pulang, anak jalanan, mantan PSK yang tobat, waria, dan orang normal yang butuh pekerjaan. Yang ditolong sampai 60 ribu orang di berbagai daerah.
Dia meproduksi keset, dari bekas kain perca. Keset itu sangat laris. Dieskpor ke banyak negara sampai sering kuwalahan. Seperti ke Australis, Jepang, Turki dan lainnya. Di belakang rumahnya dibangun asrama untuk anak-anak cacat dari berbagai daerah. Ada sekitar 300 orang dididik dengan gratis.
Jika ada pengemis datang ke rumahnya, Irma akan bicara keras kepada mereka. Termasuk kepada pengemis cacat. Dia tunjukkan bagian tubuhnya yang cacat.
“Lihat ini. Kita sama-sama cacat. Kamu membuat orang cacat menjadi rendah dan hina karena mengemis. Kamu mengemis karena malas, bukan karena tidak bisa bekerja. Kalau kamu mau kamu bisa tinggal di sini saya latih bekerja. Gratis!”
Pemgemis itu biasanya menunduk lalu pergi. “Tidak ada pengemis berani datang ke rumah ini,” katanya tertawa ketika saya mengunjungi rumahnya.
Pengemis Berdasi
Kalau logika lebih dominan maka saya tidak memberi. Tetapi kalau perasaan yang muncul lebih dominan, saya memberi pengemis. Perasaan itu muncul lebih dominan ketika pengemis itu anak-anak usia sekolah. Sering mereka tanpa alas kaki. Duh Gusti. Padahal dia dulu dilahirkan merdeka, sama seperti kita.
Maka ketika memberi saya sertai niat dalam hati: Ya Allah. saya tidak bermaksud melestarikan kebisaan mengemis. Saya juga tidak berniat memberi uang kepada bosnya. Saya hanya ingin memberikan sedikit kesenangan pada hati anak yang malang ini.
Soal uang recehan ini jatuh ke tangan bosnya atau orang tuanya saya tidak tahu. Yang pasti dia gembira ketika menadahkan tangan dan saya memberi. Hanya ingin menggembirakan hati anak ini walaupun hanya beberapa detik.
Sikap tidak istikamah memang tidak baik. Saya menyadari ini kelemahan. Saya akan berlatih istikamah tidak memberi. Saya berlatih istikamah berpikir logis.
Dan kita berharap ada perhatian yang lebih dari pemerintah terhadap anak jalanan ini. Bukan razia tetapi diatasi masalahnya. Di banyak negara tidak ada pengemis. Tapi di negara kita mengemis masih menjadi mata pencaharian.
Mereka memang miskin. Namun sebelum miskin harta terlebih dahulu miskin hati. Ini termasuk para pengemis berdasi. Yang ada di balik meja birokrasi. Yang menggadaikan harga diri. Bahkan menjualnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post