PWMU.CO – Abdul Mu’ti dan Pendidikan Toleransi disampaikan Rektor IAIN Salatiga Zakiyuddin Baidhawy. Menurutnya karya tulis Prof Dr Abdul Mu’ti MEd merupakan cermin dari realitas betapa pentingnya pendidikan toleransi diterapkan bagi seluruh lapisan bangsa Indonesia.
Hal tersebut dia sampaikan dalam webinar jelang pengukuhan Guru Besar Prof Dr Abdul Mu’ti MEd dengan tema Jalan Panjang Mewujudkan Pendidikan yang Pluralistis via Zoom, Selasa (1/9/2020).
“Saya melihat betapa karya tulis beliau yang fenomenal itu gambaran dari realitas pentingnya toleransi diterapkan di Indonesia. Yang di dalamnya terdiri bukan hanya berbagai agama, tapi juga kebudayaan, etnis dan sebagainya,” tutur Zakiyuddin.
Dia mengatakan, toleransi merupakan batas minimal dalam membangun relasi yang positif di antara individu dan kelompok-kelompok tertentu.
“Artinya, tanpa toleransi kita akan sulit membangun relasi yang positif antarindividu maupun kelompok,” terangnya.
Maka menurut pemikiran Zakiyuddin, toleransi adalah langkah pertama untuk membangun suatu keadaban di ruang publik.
Tak Bermaka tanpa Toleransi
Menurut Zakiyuddin, tanpa membangun toleransi sebagai pondasi dari keadaban di ruang publik, maka tatanan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan menjadi tidak bermakna.
“Karena bagaimanapun itu merupakan bagian dari cara kita membangun perdamaian,” tandas alumnus Perbandingan Agama Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut.
Guru besar Islamic Studies Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga itu menuturkan, toleransi juga merupakan satu pondasi bagi masyarakat untuk mencapai keadilan.
“Keadilan tidak akan pernah tercapai jika kita tidak bisa menoleransi antara satu dengan yang lain,” ucapnya.
Dia mengatakan, toleransi menjadi suatu yang sangat penting karena kita hidup di dalam masyarakat yang mengenal adab dan keberagaman yang bersifat komunal (difersity)
“Antara satu kelompok dengan kelompok lain itu berbeda dan kita tidak bisa menolaknya. Sehingga keberagaman itu hanya bisa hidup jika kita mampu menolerir,” terangnya.
Terkait dengan toleransi otentik, Zakiyuddin berpendapat, hal itu terjadi ketika ada keselarasan antara sense of mind (pikiran), attitude (prilaku) dan behaviour (kebiasaan)
“Orang bersikap toleran itu bukan sekedar ada pada cara berpikirnya. Tapi apa yang dia pikirkan harus mewujud berupa sikap positif kepada orang lain,” katanya.
Toleransi Otentik
Dia mengatakan, toleransi itu harus menjadi bagian dari perilaku. Jika tidak melahirkan prilaku yang toleran maka belum bisa dikatakan toleransi yang otentik.
“Apa yang kita pikirkan tentang orang (sense of mind), bagaimana kita bersikap kepada orang lain (attitude) sampai pada bagaimana kita berprilaku (behaviour) itulah toleransi otentik. Harus berada pada tiga arah itu,” tegasnya. Menurutnya, apa yang ditulis Abdul Mu’ti sangat menyentuh persoalan toleransi.
“Saya apresiasi kontribusi pemikiran beliau dalam Pendidikan Agama Islam. Saya melihat buku ini merupakan karya beliau yang berhasil,” pujinya.
Dia pun memberikan ucapan selamat atas gelar guru besar yang diraih oleh Abdul Mu’ti. “Selamat kepada Kakanda Abdul Mu’ti yang telah diberikan amanah dan kepercayaan sebagai salah satu guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” ucapnya.
Zakiyuddin berharap kiprah dan aktivitas Abdul Mu’ti selama ini mampu menjadi teladan banyak orang.
“Terutama menjadi teladan bagi kaum muda yang masih memiliki semangat untuk memikirkan secara visioner masa depan Indonesia yang lebih plural dalam kehidupan penuh toleran dan perdamaian,” tegasnya (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni