PWMU.CO – Takwa: Membumikan Kashalehan. Ini hari Jumat. Di mimbar-mimbar khutbah selalu diserukan takwa. Apa sebenarnya makna takwa?
Ketika seorang sahabat bertanya pada Umar bin Khattab tentang takwa, maka beliau menganalogkan dengan orang yang berjalan di atas bara api.
Apa yang dilakukan orang itu? Tentu ia akan berhati-hati saat menitinya. Begitulah takwa: berhati-hati meniti jalan hidup; berusaha selalu di jalan lurus!
Oleh para khatib, kehati-hatian meniti jalan hidup itu dijabarkan sebagai upaya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangannya.
Ciri Orang Bertakwa
Definisi seperti ini tentu masih umum, abstrak, dan perlu penjelasan lebih kongkrit. Untuk memudahkan mendefinisikan takwa, al-Quran menyebut ciri-ciri orang bertakwa. Jika ditarik garis besarnya, ciri itu berkaitan dengan tiga hal fundamental. Yaitu:
akidah, syariat, dan akhlak.
Apa saja ciri yang melekat pada diri orang betakwa dalam tiga hal itu?
Percaya pada ke-ghaib-an—sesuatu yang kadang sulit diukur dengan parameter material. Seperti Allah, hari akhir, dan malaikat. Kegaiban itu diberitakan oleh Kitab Suci dan disampaikan kepada para Nabi. Inilah ciri penting akidah orang bertakwa.
Ini meneguhkan akan keterbatasan akal pikiran manusia sekaligus meruntuhkan kesombongan intelektual. Dalam hal keimanan pada yang ghaib, modal pentingnya bukan karena kita tahu tetapi sebaliknya justru karena kita tidak tahu.
Di sini akal pikiran kadang runtuh. Tapi justru inilah keunikan orang bertakwa. Dalam kekuatan nalarnya justru harus menggunakan supra-nalarnya.
Perhatikan sosok-sosok orang bertakwa: Siti Khadijah yang mempercayai kenabian Muhammad dan Abu Bakar yang mempercayai israk mikraj Muhammad.
Mereka lebih percaya pada apa yang diberitakan Allah ketimbang menyangkut apa yang ada dalam “genggaman tangan”.
Mikraj dalam Shalat
Selain melekat dalam dirinya karakter keimanan, orang bertakwa dicirikan dengan kualitas pengamalan syariah dalam kesehariannya.
Salah satu pengalaman syariah terpenting bagi orang bertakwa adalah shalat; sebagai suatu kesadaran transendental.
Shalat adalah mikraj-nya orang beriman. Sebagai mikraj, shalat adalah pencapain tertinggi orang bertakwa dalam perjumpaan dengan Tuhannya. Dalam shalat, orang bertakwa akan “menyatukan” dirinya dengan Tuhan.
Seperti mikraj Rasulullah SAW, shalat orang bertakwa tidak menjadikannya hanyut dalam ecstasy, kenikmatan ruhani individual. Padahal momen perjumpaan dengan Tuhan dikenal sebagai kenikmatan terindah. Kenapa?
Ya, meskipun sudah mikraj, Rasulullah SAW tetap “turun” ke bumi. Berbaur kembali pada umat, pada alam semesta. Begitu pulalah sejatinya orang bertakwa yang telah mikraj dengan salatnya.
Mengapa orang bertakwa yang telah mikraj dengan shalatnya harus kembali ke “bumi”? Inilah rahasinya terpentingnya: ketika ia berjumpa Allah, disampaikannya segala masalah diri dan umatnya. Dan setelah itu ia berbalik untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada diri dan umatnya, sekaligus menjadi bagian dari penyelesaian masalah umat.
Selesaikan Masalah di Bumi
Maka jika telah ditunaikan shalat, segeralah “turun” ke bumi: selesaikan masalah-masalah bumi dengan bekal petunjuk langit, hasil perjumpaan dengan Tuhan.
Orang bertakwa yang sukses dengan shalatnya akan menyandang gelar khalifatullah fil ardh, wakil Allah di bumi. Ia akan memakmurkan bumi dengan petunjuk langit. Ia akan menjadi perpanjangan “tangan”” Tuhan.
Maka seorang khalifatullah fil ardh, ia akan memandang dengan “pandangan” Tuhan, mendengar dengan “pendengaran” Tuhan, atau berbicara dengan “mulut” Tuhan …
Selain menegakkan shalat, karakter orang bertakwa yang berkaitan dengan syariat adalah menafkahkan hartanya baik yang wajib (zakat) maupun keutamaan (sedekah).
Jika shalat adalah kesadaran transendensi orang bertakwa sebagai bentuk harmonisasi dengan Tuhan, maka nafkah (infak) adalah kesadaran sosial dalam peran kemanusiannya.
Tak Tersekat Ruang dan Waktu
Yang unik dari kesadaran infak orang bertakwa adalah terbebas dari sekat “ruang”. Dalam keadaan “sempit” atau “lapang” ia tetap menafkahkan hartanya.
Perhatikan kisah sahabat ini: Seorang yang kelaparan bertamu ke rumahnya. Di rumah hanya ada sepiring hidangan yang sebenarnya jatah makan malamnya tuan rumah sendiri.
Tapi tamu lebih penting ia jamu dan ini menjadi kesempatan infak dalam kesempitan. Maka diajaklah makan bersama sang tamu itu, dengan taktik menemaramkan lampu biar sang tamu merasa makan bersama padahal tuan rumah hanya menghadap piring kosong.
Dengan bekal shalat, zakat, sedekah, atau pengalaman syariat lainnya, akan terbentuk akhlak al-karimah, ciri lainnya orang bertakwa.
Meminjam sang sufi revolusioner Muhammad Zuhri, akhlak al-karimah (budi pekerti terpuji) adalah ketika seseorang menghadap Tuhan dia mampu menjadi wakil manusia (untuk mengadukan segala nasib mereka) dan ketika berhadapan dengan manusia dia bisa menyampaikan pesan-pesan Tuhannya.
Semoga kita termasuk hamba bertakwa; yang membumikan keshalehan! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.