Khilafah HTI, Utopia di Atas Rekonstruksi Sejarah adalah rangkuman pertama oleh Dr Sholikh Al Huda MFil I dari hasil diskusi Majelis Sinau Padhang Wetan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO-Sistem politik Khilafah Islamiyah model Hizbul Tahrir Indonesia menjadi kajian dalam studi politik Islam di kalangan akademisi dan aktivis pergerakan.
Misalnya buku Arus Baru Islam Radikal tulisan Imdadun Rahmat (2005) menjelaskan, Hizbut Tahrir (HT) di Indonesia masuk sekitar tahun 1982-1983 yang dipasarkan oleh Musthofa dan Abdurrahman Al Baghdadi. Awal tumbuhnya di Masjid Kampus Al Ghifari IPB dan Pesantren Al Ghazali Bogor (h. 100).
Buku Proyek Khilafah HTI, Perspektif Kritis yang ditulis Dr Ainur Rofiq Al Amin (2015) menyebutkan, ideologi HTI adalah penerapan hukum Islam secara total (integralistik) di masyarakat dunia.
Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri HT dalam kitabnya Nizam al-Islam (1953) menyatakan, dakwah masa sekarang adalah dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mengupayakan terwujud dan tegaknya Daulat al Islam yang mampu menerapkan hukum Islam (Rofiq, h.57)
Untuk mewujudkan cita-cita ideologi tersebut adalah melalui agenda perjuangan menegakkan khilafah yang tidak bisa ditawar dan merupakan the most pivotal action yang harus segera diwujudkan, bahkan lebih penting dari pada masalah akidah. Bagi mereka urusan penegakkan khilafah adalah urusan hidup mati. (Rofiq, h.67)
Struktur negara khilafah model HT terdiri dari Khalifah, Mu’awin (pembantu) Khalifah, Para Wali (Gubernur), Departemen Perang, Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Industri, Departemen Peradilan, Departemen Pelayan Rakyat, Departemen Keuangan dan Perbendaharaan Negara, Departemen Informasi, Majelis Ummat. (Rofiq, h.118-139).
Dari paparan tersebut, tampak jelas watak asli gerakan HT adalah gerakan politik kekuasaan dengan model pendekatan dakwah keagamaan.
Kelompok Pesimistik dan Optimistik
Dari fakta-fakta ini muncul dua respon terhadap pertanyaan seberapa besar peluang penegakkan sistem politik Khilafah Islamiyah Hizbut Tahrir di Indonesia.
Pertama, kelompok pesimistik yang menganggap sistem khilafah di Indonesia sebagai utopia. Kedua, kelompok optimistik sistem politik khilafah dapat terwujud di Indonesia dengan perjuangan yang berat dan berdarah-darah.
Tulisan ini mengupas dulu argumentasi kelompok pesimistik. Khilafah dianggap sebuah utopia disebabkan oleh beragam faktor. Faktor pertama, realitas politik Indonesia cenderung nasionalis-multikultural, sehingga sulit jika menawarkan model politik sektarian berbasis agama.
Dari sisi etnis ada beragam suku Jawa, Sunda, Bali, Manado, Minang, Batak, Ambon, Bugis, Papua dan lainnya. Agama juga beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Khonghucu dan Aliran Kepercayaan (Kejawen).
Aliran keagamaan pun banyak mulai NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, LDII, Tarbiyatul Islami, Wahidiyah, Mathalail Anwar dan sebagainya.
Aspek politik menganut sistem multi partai ada PDIP, PKB, PAN, PKS, Demokrat, Gerindra, Golkar, PSI, PPP, Perindo dan lainnya.
Semua elemen masyarakat di atas menyatakan sudah final dan bersepakat, bahwa Pancasila sebagai dasar negara. Muhammadiyah punya konsep negara Darul Ahdi wa asy-Syahadah yang diputuskan dalam Muktamar Ke-47 di Makasar.
Muhammadiyah memandang NKRI yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara Pancasila yang selaras dengan nilai keislaman. Negara ini hasil kesepakatan nasional (Darul Ahdi) dan tempat pembuktian (Dar as-Syahadah) untuk menjadi negara yang damai (Dar as-Salam) sebagai perwujudan cita-cita membangun Indonesia sebagai negara yang Baldhatun Thayibathun war Rabbun Ghafur.
Disparitas Pemahaman
Faktor kedua, disparitas (perbedaan) pemahaman dan sikap terkait posisi relasi agama dan politik di Indonesia secara ideal. Disparitas tampak di kalangan cendekiawan muslim dan politisi muslim yang tergabung di partai Islam atau partai berbasis Islam. Pandangan dan sikap mereka belum ada titik temu dan sepakat terhadap posisi agama pada wilayah politik.
Dari pengamatan dari berbagai sumber kajian politik Islam, minimal terdapat tiga pandangan posisi Islam pada wilayah politik. Yaitu pandangan sekuler, integral, substansial.
Pandangan sekuler memosisikan agama harus dipisahkan pada ruang publik politik di Indonesia. Artinya semua urusan keagamaan merupakan urusan privat-internal individu. Tidak boleh dimasukkan pada ruang publik politik. Hal itu dikhawatirkan terjadi politisasi agama. Cendikiawan yang berpendapat seperti ini contohnya Nur Cholish Madjid dengan slogan Islam Yes, Partai Islam No.
Pandangan integral menyatakan, relasi agama dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara parsial. Agama Islam merupakan kesatuan ajaran yang kaffah mengatur seluruh kehidupan umat Islam. Mulai persoalan privat ritual ibadah hingga persoalan publik politik, termasuk mengatur kehidupan kenegaraan. Tokoh yang menyuarakan gagasan ini misalnya Moh. Natsir, tokoh Masyumi.
Pandangan substansial memahami Islam memiliki seperangkat nilai-nilai kehidupan individu maupun bermasyarakat. Termasuk dalam sistem politik pemerintahan. Dalam Islam ada ajaran atau nilai keadilan, kejujuran, musyawarah, toleransi, persamaan hak dan kewajiban dan sebagainya.
Nilai-nilai tersebut dijadikan landasan normatif dalam menjalankan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia meskipun bentuk dan model sistem politiknya menganut sistem Pancasila dan NKRI yang di al- Quran tidak ditemukan secara eksplisit.
Jika sistem pemerintahan Pancasila dan NKRI sudah menerapkan prinsip dan nilai-nilai Islam maka bisa disebut sistem tersebut sudah Islami walau bentuknya tidak formal menyebut sebagai negara Islam. Tokoh yang menyuarakan gagasan ini di antaranya Amien Rais, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Buya Syafii Ma’arif.
Dari ragam pandangan dan sikap di atas sulit bagi HTI menawarkan sistem politik khilafah sebagai sistem politik yang paling Islami. Pandangan HTI cenderung sama dengan pandangan integral namun kekuatan politiknya kecil di Indonesia. Kekuatan politik di Indonesia didominasi nasionalis-sekuler dan sebagian kelompok subtansial.
Sistem Peralihan Kekuasaan Berbeda
Faktor ketiga, terdapat ragam model pemerintahan dalam sejarah Islam. Mulai Khulafaur ar-Rasyidin, Lalu berubah menjadi corak dinasti di masa Khilafah Umayah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani.
Zaman khulafaur ar-Rasyidin saja sistem peralihan kekuasaannya berbeda. Ada model baiat ala Khalifah Abu Bakar, cara penunjukan di masa Umar bin Khattab atau model formatur saat beralih kepada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sesudah itu beralih menjadi kerajaan.
Melihat beberapa model sistem pemerintahan Islam di masa lalu itu maka tidak begitu mudah diterima klaim sistem khilafah HTI dinilai paling Islami dan wajib ditegakkan. Atas dasar inilah sistem khilafah HTI dinilai utopia. (*)
Dr Sholikh Al Huda M Fil I adalah Dosen Prodi Studi Agama-Agama (SAA) Unuversitas Muhammadiyah Surabaya; Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
Editor Sugeng Purwanto