Praktik Demokrasi Hasilnya Malah Begini tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Seorang ulama datang menghadap kepada Khalifah Harun Al Rasyid. Ia berkata akan memberikan nasihat dengan keras sehubungan dengan berbagai kedholiman dan kesengsaraan yang menimpa rakyat kebanyakan.
Sebelum ulama bernasihat, Khalifah Harun Al Rasyid bertanya,”Di dunia ini apa ada raja selalim Firaun yang mengaku dirinya Tuhan, berkuasa sewenang-wenang tanpa batas dan menyengsarakan rakyat banyak?”
”Tidak ada,” jawab ulama itu tegas.
Khalifah melanjutkan. ”Kepada Firaun yang lalim saja Tuhan memerintahkan Musa as dan Harun as untuk mengedepankan adab, berkata sopan dan lemah lembut bahkan Tuhanpun mendoakan kepada Firaun raja lalim itu supaya takut dan ingat. Berarti aku lebih berhak mendapat perlakuan baik dan sopan, lebih dari si Lalim Firaun,” kata Khalifah Harun.
Sontak ulama tadi beringsut mundur tak jadi bernasihat karena kalah alim dengan rajanya.
***
Apakah seorang pemimpin dipilih untuk memenuhi hajat hidup orang banyak? Mungkin saja seorang khalifah atau raja atau presiden atau amir ditakdirkan menjadi wakil Tuhan di bumi yang bisa dilihat.
Dengan begitu semua kehendak dan harapan tumpah, termasuk sumpah serapah akibat kesal kepada pemimpinnya. Di saat itulah kekuasaan menemukan makrifatnya dalam ketenangan dan kesahajaan di tengah amuk massa karena penderitaan dan ketidakadilan.
Munculnya demokrasi adalah ikhtiar memutus mata rantai kekuasaan agar tidak memanjang dan meluas tapi diringkas agar simpel dan efisien. Demokrasi mengatur kekuasaan penguasa agar sesuai kepentingan rakyat.
Loss Democration
Di Indonesia, dengan kurang lebih 207 juta kepala yang punya hak memilih dan dipilih masih dipertanyakan kira-kira sistem apa yang paling cocok dan sesuai untuk memerintah. Betapa susahnya memimpin pada sebuah komunitas dengan banyak aspirasi.
Dalam praktik demokrasi, alih-alih rakyat hidup makmur, adil dan sejahtera, sebaliknya memangkas kehendak ratusan juta orang agar tak banyak berkata. Praktik demokrasi tidak didesain untuk kemakmuran ternyata. Tapi membatasi hak rakyat. Urusan kemakmuran itu urusan sendiri-sendiri. Desain demokrasi malah menyerahkan kepada seseorang untuk mutlak berkuasa.
Jadi demokrasi itu bukan tujuan hanya salah satu alat atau media untuk mudah berkuasa. Belum ada kajian apakah ada korelasi antara demokrasi dengan hidup susah, ketidakadilan atau berbagai kedholiman.
Praktik demokrasi juga terjadi loss democration alias demokrasi tak terkendali. Yaitu ketersediaan ruang publik tanpa batas bagi khalayak untuk menyampaikan aspirasi dan kehendak, semua bicara bahkan yang seharusnya tidak bicara. Aspirasi tanpa batas, kritik tanpa adab.
Dalam situasi seperti itu rakyat tak puas dengan penguasa. Penguasa curiga dengan rakyatnya mau makar mendongkel kekuasaannya. Kalau rakyat dan penguasa saling curiga akibatnya fatal.
Jadi jelas mana yang harus diubah. Sistemnya atau orang-orangnya yang berkuasa. Bukankah pemimpin adalah cermin rakyat, kata al Mawardi. Pemimpin baik lahir dari masyarakat baik. Pemimpin culas lahir dari masyarakat culas. Tesis ini begitu gamblang menggambarkan realitas.
Dalam diskursus politik kekuasaan modern hampir semua sepakat bahwa demokrasi adalah cara memerintah terbaik dibanding kerajaan, monarki bahkan khilafah sekalipun. Tapi kita juga masih ragu dalam berdemokrasi. Jadi apa yang sebenarnya kita inginkan? Perubahan sistem atau orang? Wallahu taala a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto