Demokrasi Cukong Sudah Waktunya Dibinasakan menyoroti praktik berpolitik yang menyuburkan suap menyuap.
PWMU.CO-Komisioner KPU, Bawaslu, dan kontestan Pilkada yang terpapar virus covid-19 bisa dianggap sebagai isyarat untuk memperbaiki praktik demokrasi kita yang sudah rusak. Jika diabaikan, virus money politics bakal lebih parah merusak sendi kehidupan bernegara.
Jika ini dibiarkan maka negara kita sudah hancur lebur. Sendi ekonomi dan kesehatan rusak oleh wabah corona, sendi politik rusak oleh suap. Karena itu seruan untuk menunda Pilkada ada baiknya didengarkan.
Janganlah ngotot dengan prinsip Pilkada memberikan legitimasi kepala daerah untuk memerintah karena pilihan rakyat dibandingkan Plt (Pelaksana tugas). Apalah arti legitimasi itu jika diperoleh dengan suap? Sungguh terlalu.
Demokrasi di Indonesia lewat Pemilu dan Pilkada dalam praktiknya disadari sudah rusak. Money politics merusak segalanya. Semuanya serba transaksi. Tawar menawar. Pemilu dan Pilkada menjadi pasar krempyeng yang meluber di jalanan. Memacetkan arus aspirasi yang terhalang oleh kepentingan politikus dan partai. Apakah ini yang disebut demokrasi Pancasila.
Terang benderang dilakukan pelakunya. Mulai penyelenggara Pemilu, kontestan, dan rakyat pemilih. Dari sogokan sembako, duit kontan maupun cicilan, hingga transaksi kebijakan. Ada yang sudah ditangkap KPK dan dipenjara. Tapi masih banyak yang selamat karena belum ketahuan.
Dibiayai Cukong
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun mengakui Pilkada menciptakan praktik cukong. Sebanyak 82 persen kandidat yang ikut Pilkada dibiayai oleh cukong.
Cukong artinya pemilik modal yang menyediakan dana yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain.
Penyandang dana mana mau gratisan. Semua ada hitungannya. Ada kompensasi uangnya balik dengan keuntungan berlipat ganda. Jadinya para bandar ini lebih kuasa dari penguasa.
Kepala daerah yang dibandari cukong ketika terpilih lantas korupsi kebijakan sebagai balas budi kepada cukong untuk mengembalikan modal yang diberikan. Inilah demokrasi cukong yang kita praktikkan.
”Ini lebih berbahaya dampaknya ketimbang korupsi biasa, bahkan wabah covid-19,” kata Mahfud MD pada acara ngopi bersama media di Padang seperti ditulisa Antara, Kamis (17/9).
Daya Rusak Korupsi Kebijakan
Korupsi kebijakan lebih dahsyat daya rusaknya. Sebab menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebijakan yang menguntungkan cukong bakal menyengsarakan hidup rakyat. Contoh izin pertambangan, hak pengelolaan hutan, pengelolaan air. Kebijakan macam ini berakibat menggeser hak rakyat ikut menikmati sumber alam. Sering terjadi konflik dalam urusan ini.
Sudah banyak kepala daerah yang korupsi ditangkap KPK dan dipenjara. Namun kasus ini tak membikin jera kepala daerah lain. Katanya, ya sudah apesnya. Salah sendiri korupsi kok sampai ketahuan. Kurang elegan cara mainnya.
Pemilu yang selama ini dipraktikkan sudah disadari keburukannya. Sudah jauh dari idealitas nilai demokrasi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas. Hasilnya malah mengeruk uang negara untuk mengisi tas.
Pemilu dan Pilkada juga merusak perilaku rakyat menjadi pragmatis alias mata duitan. Ungkapan Nomer Piro Wani Piro (NPWP) menjadi populer. Jumlah suara kandidat bisa mendadak berubah dalam penghitungan di kelurahan, kecamatan, hingga di KPU. Penyelenggara pemilu seperti berubah jadi tukang sulap.
Demokrasi cukong ibarat main dadu. Bandar selalu menang karena banyak trik tipu-tipu. Petaruh kadang bernasib baik, tapi banyak yang terkuras habis duitnya. Bahkan yang tombok prapatan pun bisa terkecoh jatuhnya dadu.
Karena itu sudah waktunya praktik ini dihentikan. Dulu tidak membayangkan pemilihan langsung yang dikira ideal itu ternyata begini jadinya. Menyuburkan suap. Reformasi ternyata merusak anak sendiri.
Politik Tanpa Politikus
Dorongan sistem Pemilu dan Pilkada dikembalikan kepada pemilihan di legislatif ada baiknya dipertimbangkan lagi. Memang ada untung ruginya. Tapi masih lebih baik daripada demokrasi cukong yang dipraktikkan di era sekarang ini.
Jadi yang dibutuhkan bukan menunda Pilkada. Tapi mengubah sistem pemilihan langsung kembali ke pemilihan di legislatif. Undang-undang Pemilu dan Pilkada perlu diubah.
Pejuang demokrasi pasti tak menyukai ini. Karena wakil rakyat suka mengebiri aspirasi rakyat. Apa yang diinginkan rakyat selalu tak sesuai dengan keinginan rakyat. Politikus namanya memang sangat tercemar limbah pabrik cukong.
Tapi apakah saudara tega pemilihan langsung itu malah menjadikan negara seperti dikuasai bandar dadu yang mengendalikan penjudi tombok prapatan.
Untuk mengatasi ini bagaimana kalau kita praktikkan politik tanpa partai politik dan politikus. Wakil rakyat dipilih dari aktivis ormas. Di UUD 45 zaman dulu, mereka ini disebut Utusan Golongan. Tapi dulu diberi porsi kecil hanya di MPR.
Politikus sudah diberi kesempatan tapi gagal membawa kebaikan negeri selama puluhan tahun. Sekarang kita uji para aktivis ormas yang suka bersuara kritis apakah mampu menyelenggarakan negara lebih baik dari politikus.
Orang-orang ormas inilah yang duduk di legislatif. Melaksanakan pemilihan presiden dan kepala daerah. Pemilihan di legislatif lebih bisa dikontrol karena pemilihnya terbatas hanya wakil rakyat di gedung dewan pusat dan daerah.
Kalau ada cukong yang masuk menyuap waktu serangan fajar lebih mudah deteksinya. Polisi dan KPK pasti bisa menangkap sinyalnya dan langsung OTT (Operasi Tangkap Tangan). Tapi bagaimana kalau polisi dan KPK juga disuap?
Kalau itu terjadi, gerakkan rakyat bikin revolusi lagi untuk membinasakan semua orang-orang rusak ini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto