Pilkada: Politic Logic, Logistic, atau Magic? Kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya, tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak kalangan mengubah atau menunda orientasi target pekerjaan. Persyarikatan Muhammadiyah telah memutuskan menunda muktamar yang sedianya berlangsung bulan Juli tahun 2020 menjadi tahun 2022.
Kegiatan usaha dipaksa menerapkan kerja di rumah atau work from home. Kegiatan-kegiatan pendidikan juga sama, dilakukan secara daring atau online.
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau lockdown ala Indonesia telah dilakukan di beberapa daerah. Bahkan di DKI Jakarta telah diberlakukan PSBB jilid II sejak 14 September 2020.
Semula PSBB ini dikhawatirkan mengganggu ekonomi. Tapi tidak terbukti. Indeks harga saham gabungan (IHSG) indikator bursa saham di Bursa Efek Indonesia selama sepekan pelaksanaan PSBB justru merespons positif.
Banyak kalangan meyakini bahwa keseriusan menangani Covid-19 termasuk pelaksanaan PSBB yang terencana, terukur, dan terstruktur bisa membawa dampak positif bagi ekonomi, bukan sebaliknya.
Pilkada, dari Sosial ke Sains
Di tengah kondisi ekonomi yang sudah on the track (pada jalur yang benar) saat ini justru muncul kekhawatiran pada rencana kegiatan pilkada. Kekhawatiran muncul disebabkan sejumlah komisioner KPU dan kandidat calon kepala daerah diketahui positif Covid-19.
Perhelatan pilkada dikhawatirkan menjadi kluster baru yang bisa menimbulkan set back atau langkah mundur dalam pemulihan Covid-19.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) telah memasuki warming up (pemanasan) menuju posisi kibaran bendera start. Meminjam istilah dalam MotoGP, para peserta pilkada sudah menempati pole position (peringkat start) sesuai hasil pooling atau jajak pendapat masing-masing.
Semua kandidat yakin menang. Kalau tidak yakin menang sudah pasti tidak melanjutkan prosesi pilkada. Sejumlah logistic (biaya politik) telah ditanamkan jauh-jauh hari dan siap menghitung untung rugi atas investasi politik yang dilakukan.
Pilkada bagaimanapun suka atau tidak suka merupakan salah satu dari “berkah” reformasi 1998. Sebagai bagian dari prosesi politik, pilkada sangat unik ditinjau dari prosesnya. Politik yang selama ini dipahami sebagai bagian dari ilmu sosial, dalam perkembangannya ikut “menyeret” disiplin ilmu lain, termasuk ilmu eksakta.
Yang paling terlihat adalah ilmu statistik, di mana sering dipakai untuk memengaruhi opini masyarakat dalam menentukan pilihan pada calon tertentu. Produk dari proses survei disesuaikan dengan beragam parameter sedemikian rupa untuk mempengaruhi logic atau pikiran masyarakat calon pemilih.
Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU juga dituntut untuk masuk bidang ilmu eksakta dalam menentukan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sampai rekapitulasi hasil suara.
Dari DPT yang dikeluarkan KPU selanjutnya para kandidat bersama tim sukses dan tim konsultannya melakukan analisa peluang menang pada kantong-kantong suara yang menjadi target.
Antara Logic dan Logistic
Sejumlah indikator dipakai untuk mengukur peluang mendapat suara pada kantong-kantong tertentu berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa pendukung dari partai-partai pengusung. Penggunaan logic pada proses ini juga menentukan seberapa besar logistic (biaya politik) yang perlu ditanamkan. Logistic adalah realitas dalam pilkada atau pemilihan umum lainnya.
Disiplin ilmu yang diperlukan dalam menghitung logistic ini antara lain akuntansi, manajemen keuangan, bahkan manajemen pemasaran untuk pengadaan iklan. Disiplin ilmu dalam pengelolaan logistic dituntut memiliki logic untuk mengalokasikan biaya yang pas pada pos-pos survei, iklan, operasional kampanye dan lain-lain.
Akurasi logic dan logistic para kandidat diuji di lapangan dalam kegiatan pra-pencalonan, kampanye, pemilihan, bahkan penentuan akhir setelah pemilihan. Ramuan-ramuan logic dan logistic para kandidat bisa diukur dari rating atau hasil survei pada masa kampanye. Hasil dari olah logic dan logistic paling akhir ditentukan dalam perolehan suara setelah prosesi pemilihan pada hari “H”.
Keniscayaan logic dan logistic dalam proses politik termasuk pilkada tidak bisa dihindarkan dari kebutuhan biaya yang tinggi. Sebuah ironi jika apa yang disampaikan Menkopolhukam mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa kurang lebih 80 persen calon kepala daerah dibiayai cukong menjadi kenyataan.
Jika ditilik dari prosesnya, sangat masuk akal (logic) jika pilkada membutuhkan biaya yang tinggi. Logistic atau kebutuhan sarana prasarana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dan para kandidat juga sangat tinggi. Sarana pra-sarana pilkada menjadi peluang bisnis tersendiri dalam proses pengadaannya baik pengadaan dari pihak pemerintah maupun pengadaan dari para kandidat.
Logistic yang dibutuhkan pemerintah antara lain surat suara, kotak suara, tinta, jasa pengamanan, jasa audit, jasa sosialisasi di media masa, dana kampanye dan lain-lain. Sedangkan logistic yang dibutuhkan kandidat jamak diketahui dan dinikmati masyarakat yaitu kaos, stiker, baliho, banner, neon box, konsumsi, transportasi dan lain-lain.
Dengan keadaan ini tidak salah jika banyak pihak menyebutkan bahwa pilkada ikut menggerakkan ekonomi. Adanya usulan menunda pelaksanaan pilkada sangat mengusik banyak pihak yang sangat berharap berkah ekonomi pilkada.
Penundaan pilkada menjadikan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan logistic terancam tertunda proses pengadaannya bahkan pencairannya. Tantangan logic bagi semua pihak khususnya pemerintah menghitung risiko biaya menunda atau melanjutkan pilkada.
Revolusi Online Pilkada
Jika sektor-sektor bisnis, pendidikan, industri, hiburan, jasa, dan perdagangan bersedia tunduk pada protokol kesehatan, mungkinkah penyelenggaraan pilkada juga melakukannya?
Jika sektor-sektor bisnis, pendidikan, industri, hiburan, jasa, dan perdagangan bersedia tunduk pada protokol kesehatan, mungkinkah penyelenggaraan pilkada juga melakukannya?
Kampanye virtual, DPT digital sampai pencoblosan online dan perhitungan suara hasil pencoblosan secara digital akan mengantarkan Indonsia menuju revolusi prosesi politik yang efisien secara logistic.
Jika aktivitas bisnis dan pendidikan sebagian besar bisa dipaksa melakukan revolusi online kenapa pilkada tidak? Menunda pilkada demi menyelamatkan nyawa masyarakat agar tidak menjadi kluster baru memerlukan daya logic tersendiri bagi pemerintah.
Tetapi hal tersebut tidak mudah. Pasti ada pihak-pihak yang merasa terganggu urusan logistic mereka dengan penundaan atau perubahan revolusioner pelaksanaan pilkada.
Politic = logic + logistic benar-benar sedang diuji seberapa besar porsi logic dan logistic yang dialokasikan. Ketika logic lebih dikedepankan, logistic akan lebih efisien. Tetapi jika logic dikesampingkan kemungkinan besar akan menjadi pesta demokrasi termahal sepanjang sejarah dengan tambahan pengadaan alat pelindung diri (APD) yang besar.
Cita-cita mengurangi ekonomi dan politik biaya tinggi semakin jauh. Kesan merebaknya oligarki ekonomi dan politik dengan mengedepankan logistic daripada logic semakin nyata adanya.
Jika logic dan logistic sudah tidak terkendali, yang dikhawatirkan berikutnya adalah magic (sihir) yang tidak dapat dicerna akal sehat, tetapi—percaya tidak percaya—bisa menjadi penentu beragam keputusan dalam pemerintahan dan masyarakat. Wallahu’alam bi ash shawab. (*)
Pilkada: Politic Logic, Logistic, atau Magic? Editor Mohammad Nurfatoni.