Haedar Nashir Ajak Bangsa Mawas Diri. Hal itu dia sampaikan sebagai Renungan Jumat berjudul “Telaah Diri”.
PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih mawas diri.
Menurutnya, di era media sosial dan dunia yang sarat masalah ini, boleh jadi diri kita paling rajin melihat kesalahan-kesalahan orang lain atau pihak lain yang ada di luar sana. Demikian kritisnya sebagian kita, atau mungkin diri kita, nyaris tidak melihat sisi baik orang atau pihak lain itu.
“Hal yang tampak adalah buruknya. Lalu lahir ghibah, sinisme, dan keluhan tak berkesudahan. Kehidupan dianggap semua buram dan tak ada masa depan. Sedemikian pesimis, kata Haedar Nashir, dunia seolah akan ‘kiamat’,” ujarnya seperti dikutip PWMU.CO dari akun Twiter @HaedarNs yang dicuitkan, Jumat (2/10/2020) pagi.
Meminjam karya Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man. Atau seperti lagu karya Skeeter Davis, The End of The World. Ketika matahari masih bersinar, air laut bergegas ke pantai, padahal akhir dari dunia.
Maka Haedar Nashir mengajak kita, sesekali, menelaah diri. Apa yang telah kita perbuat untuk memaknai hidup ini. Untuk berbuat yang terbaik, meski sedikit namun berarti. Makna hidup bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.
“Pun makna bagi diri. Siapa tahu diri hanya banyak bicara, sedikit bekerja atau berbuat yang terbaik untuk kehidupan di sekitar,” ujarnya.
Koreksi Diri sebelum Kritik Orang Lain
Dia menegaskan, ketika pandemi Covid-19 yang masih menaik, apa yang terbaik dilakukan setiap diri kita di mana pun berada lebih daripada mengeluhkan keadaan minus perbuatan.
“Telaah diri itu penting. Introspeksi diri. Dalam bahasa agama disebut muhasabah. Hisablah diri sebelum mengoreksi orang lain. Siapa tahu, semut di ujung lautan tampak, gajah di pelupuk mata buram,” tuturnya sambil mengutip surat al-Hasyr 18:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Haedar Nashr, kemampuan menelaah diri merupakan wujud kearifan nan cerdas. Jangan sampai merasa diri paling benar dan baik, ternyata praktiknya jauh panggang dari api.
“Menyuarakan kebenaran, sambil menyalahi kebenaran. Berteriak keadilan, pada saat sama lupa kalau suka bertindak tidak adil alias zalim terhadap orang lain,” kritiknya.
Dia pun mengutip hadits riwayat Imam at-Tirmidzi, Nabi SAW bersabda: “Orang pandai adalah yang menghisab dirinya serta beramal untuk kehidupan sesudah mati. Adapun orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.”
Jadi, kata dia, alangkah cerdas dan bijak manakala diri kita telisik dengan suara hati yang jernih. “Siapa tahu masih banyak kurang daripada lebih. Lebih banyak bicara ketimbang berbuat. Kebenaran, kebaikan, keadilan, dan segala keutamaan hanya berhenti retorika bak simulakra,” ujarnya.
Padahal, dia melanjutkan, Tuhan murka pada siapapun yang cakap bicara tapi lain kata lain di laku nyata. “Maka, lihatlah ke dalam diri. Siapa tahu banyak noktah hitam,” pesan Haedar Nashir. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post