PWMU.CO – Mantan Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH A.R. Fahruddin pernah menyatakan menjadi anggota Muhammadiyah, apalagi pimpinan, berarti menyediakan diri untuk dapat dan sanggup memikul berbagai tugas dan kewajiban karena Allah swt.
Karena itu, dalam sejarah Muhammadiyah sudah terbiasa berebut untuk saling “tidak mau” menjadi Ketua. Tak heran jika dalam beberapa Musyawarah Daerah (Musyda), peraih suara terbanyak justru memajukan diri agar tidak dipilih sebagai Ketua.
Dalam Musyda, setiap anggota memilih nama calon anggota Pimpinan sejumlah anggota Pimpinan yang ditetapkan. Jumlahnya juga bervariatif, ada yang 9, 11, dan lengkap 13. Ilustrasinya, jika sebuah PDM A menentukan anggota PDM sebanyak 13, maka anggota Musyda memilih 13 nama.
(Baca juga: Lagi, Suara Terbanyak Tak Mau Jadi Ketua dan Suara Terbanyak 1-2 Tak Mau, Yasin Kembali Ketua)
Setelah itu, 13 nama yang mendapatkan suara terbanyak ditetapkan sebagai anggota PDM. Ke-13 orang lantas mengadakan musyawarah tersendiri untuk menentukan siapa yang menjadi Ketua.
Tradisi ini memang kelihatan janggal di era demokrasi Indonesia sekarang. Tapi bagi Muhammadiyah, tradisi musyawarah mufakat itu terus dipertahankan sejak kelahirannya. Persyarikatan sangat mengutamakan kebersamaan, sehingga Ketua dipilih berdasarkan musyawarah anggota Pimpinan yang terpilih.
(Baca juga: Dua Musyda dengan Suara Terbanyak Kembar)
Dari 31 PDM yang sudah melakukan Musyda, terdapat 5 daerah yang menghasilkan “suara terbanyak bukan Ketua”. Tentu banyak alasan yang melatarbelakanginya, tapi poin pentingnya, perjalanan kepemimpinan Muhammadiyah harus berdasarkan kebersamaan dan kepercayaan. (kholid)
baca sambungan hal 2 …