IDI, Happy Birthday sang Pahlawan oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Teman-teman dokter, selamat ulang tahun IDI ya. Sabtu, 24 Oktober kemarin memperingati 70 tahun, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia. Ini adalah hari-hari beratmu. Sudah 141 anggotamu yang gugur karena Covid. Meski jika terpapar berisiko kematian, kau tetap tak bisa menjauhinya.
Tugasmu memang harus berdekatan. Jika yang lain takut dan menghindar sejauh-jauhnya, panggilan tugasmu justru mendekatinya, menjinakkannya, menyembuhkan orang yang sudah terkenanya.
Sungguh berat. Membayangkan saja berat. Saya masih terngiang dengan video seorang dokter spesialis jantung penerima beasiswa LPDP yang masih muda belia. Begitu dinyatakan terkena covid, dia tak bisa pulang menemui istri dan dua anak kecilnya.
Begitu kangennya, dia hanya bisa mampir di depan rumahnya, sambil melambaikan tangannya. Setelah itu pergi lagi ke RS untuk dirawat. Setelah itu, pergi selama-lamanya. Meninggalkan anak kecilnya dan istri yang sedang mengandung buah hatinya.
Pengorbananmu yang luar biasa, kadang tak berbalas dengan sikap masyarakat yang menolak kawasannya ditinggali petugas medis. Malah ada yang tega mengusir dari tempat kosnya.
Jika ada kolegamu, ada yang enggan untuk praktik, sang senior mengingatkan sumpah doktermu. Sang dokter senior itu antara lain adalah Prof Dr dr Boediwarsono SpPD K-HOM yang meninggal dunia karena covid. Guru besar penyakit dalam khusus kanker FK Unair ini senantiasa mengingatkan koleganya begini: jika ada dokter yang tidak mau praktik karena covid, maka itu sudah menyalahi sumpah dokternya.
Kalau kadang suaramu agak berseberangan dengan pemerintah, kami tahu bahwa itu semata-mata karena panggilan profesimu. Engkau ingin menegakkannya setegak-tegaknya. Meski risikonya, kadang harus berbeda dengan pengatur kebijakan. Termasuk suaramu agar hati-hati memilih vaksin. Engkau memberikan contoh Presiden Brasil yang berani menolak vaksin yang belum diuji-coba.
Keserempet Covid
Covid-19 memang sangat berbahaya. Keserempet saja heboh semuanya. Stresnya luar biasa. Padahal belum tentu terkena, baru keserempet. Ini contohnya. Sebuah kampus menyelenggarakan rapat senat. Pesertanya 15 orang. Tiga hari sesudah rapat itu, profesor yang menjadi ketua senat dan saat itu memimpin rapat, mengumumkan dirinya OTG. Orang Tanpa Gejala. Swabnya positif. Dia terkena covid ketularan ponakannya yang seluruh kantornya terkena.
Sehari itu, semua yang ikut rapat heboh. Diputuskan, semua harus swab test, secepatnya. Makin cepat makin baik. Supaya tidak stres dan pasti treatmentnya. Meski dibiayai lembaga, tetap saja tegang sepanjang hari. Apalagi, tesnya ditunda besoknya. Karena tidak cocok dengan tempatnya di pusat perbelanjaan yang berjubel. Lalu semuanya memilih di lab yang dianggap lebih aman.
Efek ketegangannya macam-macam. ”Aku kalau minum kok pahit ya,” katanya. Langsung berinisiatif mengisolasi diri. Di rumah, ada orang atau tidak, pakai masker. Sedikit demi sedikit terdengar doa. Semoga tak terpapar. Bahkan, juga minta didoakan. Pagi sekali langsung tes. Setelah itu sebentar-sebentar lihat HP. ”Kok belum ya. Katanya, hasilnya juga mau dikirim lewat HP, selain resmi tertulis,” katanya.
Syukurlah, siang sedikit hasilnya keluar. ”Alhamdulillah, negatif,” katanya langsung sujud syukur. Tidak hanya dia, seluruh temannya negatif. Alhamdulillah.
Itulah, gambaran betapa covid sudah menjadi momok. Dan bagi teman-teman IDI, si momok, tetap harus didekatinya, dijinakkannya. Mereka tak bisa menjauhinya. Terima kasih pahlawan kemanusiaan. HBD. Semoga, angkamu tak bertambah. Tetap 141. Dan bagi yang sudah gugur, semoga tergolong kematian syahid. Allah menempatkan di surga tertingginya. Aamiin.
Editor Sugeng Purwanto