
Sakit Kakinya, Bukan Hatinya oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Pernah dikirimi video film pendek orang berjubel di lift? Tak ada yang mau keluar meski sudah overload. Meski sinyal sudah tat tet tat tet berkali-kali. Penumpang terakhirnya, anak muda mengenakan headset, cuek sambil menikmati musik yang didengarnya.
Semuanya hanya menunjukkan wajah jengkel, ada yang melihat jam tangannya sudah terbuang berapa menit waktunya di situ. Ada yang berkali-kali mengangkat bahu. Ada yang hanya saling pandang, tak ada yang berani menegur anak muda yang cuek itu.
Tiba-tiba dari bagian belakang, ada gerakan orang mau keluar. Semuanya minggir, memberi jalan. Siapa dia? Orang baik hati yang mau mengalah. Perempuan muda. Hebatnya, jalannya dibantu menggunakan kruk. Dia sakit kakinya. Bukan hatinya.
Dan, juga film ini. Bus umum berhenti untuk menaikkan penumpang baru. Seorang kakek tua. Tahu itu, sikap para penumpang bergegas seperti tidak memperhatikan jika ada penumpang baru. Ada yang baca koran, baca buku, asyik dengan HPnya. Hampir sampai di dereten belakang, tak ada yang memberikan kursinya.
Tiba-tiba seorang perempuan muda berdiri menyilakan kakek tadi menduduki kursinya. Kakek mengatakan tidak perlu, tapi perempuan itu tetap menyilakannnya.
Sampai tiba di terminal terakhir, hampir semua penumpang tertegun, karena perempuan tadi mengambil kruknya di kabin atas. Lagi, kaki perempuan itu sedang sakit. Tapi bukan hatinya.
Jual Beli Orang Dusun
Dalam kehidupan nyata, Anda mungkin mendapatkan pemandangan seperti ini. Di sebuah jalan beraspal sempit misalnya. Lalu mobil lain yang berpapasan. Siapa yang mengalah? Mau mengalah sebentar keluar dari aspal.
Atau ketika sedang rebutan masker saat awal serangan covid dulu. Masih tersisa lima boks masker. Tahu barang langka, Anda mengambil semuanya. Lalu ada pembeli baru yang tanya ke pelayan. ”Ada masker, Mbak?”
”Maaf sudah habis,” jawab pelayan itu. Apakah Anda tergerak untuk membaginya?
Emha “Cak Nun” Ainun Nadjib pernah menulis penjual kacang godok di sebuah dusun yang sedang dilewati mobil budayawan yang juga ustadz ini. ”Boleh dibeli semua, Pak?” Apa jawabnya. ”Maaf, ada langganan saya di depan yang biasanya menunggu saya lewat,” katanya.
Emha memujinya. ”Itulah jual beli orang dusun. Bukan yang penting laris lalu kulakan lagi. Tapi, memikirkan pembeli lainnya. Kita kadang-kadang perlu belajar kepada wong cilik, wong dusun. Mereka sering lebih bijak daripada kita, orang kota,” kata Cak Nun.
Mari berlatih menajamkan otot hati, bukan hanya kaki. Mengasahnya tiap hari. Supaya jadi manusia sejati. Salam!
Editor Sugeng Purwanto