Memedi yang Tidak Medeni oleh Prof Dr Ahmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Dua peristiwa viral kisah perempuan Eropa sandera di Afrika yang muncul di medsos pekan ini mengungkap siapa sesungguhnya memedi (setan) itu.
Jika di kampung dulu, semasa kecil, memedi itu dibayangkan dalam sosok gendruwo, setan gundul, kuntilanak. Anak milenial sekarang melihatnya pada sosok Mak Lampir.
Ternyata, semua itu tidak menakutkan bagi kebanyakan orang. Kenapa tidak takut ? Karena mereka ini memang tidak pernah melihatsosok memedi yang disebutkan itu. Mak Lampir itu pun sosok rekaan visual drama serial televisi. Wujud sesungguhnya para pemirsa televisi tidak mengetahui pasti. Justru sebaliknya, memedi itu menjadi hiburan keluarga setelah penat bekerja seharian.
Apa yang terjadi pada diri Silvia Constanza Romano, seorang gadis warga Italia dan Sophie Petronin, seorang wanita Perancis menjadikan analogi ketidaktakutan terhadap memedi itu.
Kedua perempuan ini sama-sama menjadi tawanan kelompok bersenjata di bumi Afrika. Silvia ditahan oleh Al-Shahab, kelompok bersenjata di Somalia selama 2 tahun. Sedang Sophie ditahan di Mali selama 4 tahun.
Dari perspektif memedi, kedua perempuan ini seperti judul novel yang difilmkan Perawan di Sarang Penyamun. Bisa dibayangkan bagaimana nasib perempuan berada di tengah-tengah penyamun, yang dari sisi etika moral agama dipertanyakan.
Silvia dan Sophie telah berhasil mengungkap konstruksi memedi itu terkait dengan persepsi masyarakat Barat tentang Islam. Pengalaman mereka berdua tentang Islam dan muslim berbeda dengan persepsi kebanyakan masyarakat Barat.
Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka berdua memeluk Islam. Agama yang bukan keyakinan yang dianut oleh nenek moyang mereka.
Labeling
Selama ini masyarakat muslim tidak berkutik menerima labeling dan stereotyping Barat tentang Islam. Label-label memedi tentang Islam itu tidak hanya terus diproduksi oleh mereka, tetapi juga sudah beranak produsen di negara muslim sendiri.
Yang disebut terakhir ini didorong oleh politik kepentingan kelompok dan diri. Sebagian orang yang mendukung labelisasi ini diindikasikan karena kebutuhan sesaat guna bertahan hidup.
Ngeri! Jika melihat kesaksian seorang buzzer yang tertangkap. Ia tega melakukan sesuatu yang mudah-mudahan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Dibayar tiga juta setengah sebulan. Tetapi hal ini juga akibat kelemahan umat yang tidak bisa kaya dan dermawan untuk bisa membantu mereka yang membutuhkan. Padahal jalan penyalurannya sudah ada melalui zakat, infak dan sadekah.
Ketakutan pada Islam dan muslim yang dianggap memedi itu terus saja diproduksi oleh sebagian negara Barat dan elite penguasa tertentu di negara muslim. Di Barat, stereotyping ini awalnya dilakukan oleh kaum orientalis terhadap sosok Nabi dan awal pertumbuhan Islam.
Para orientalis awal hampir semuanya negatif terhadap figur Nabi dan Islam. Di era modern, stereotyping terhadap Islam beralih pada sosok fundamentalis seperti al-Qaida, ISIS, dan sebagainya.
Labelisasi ini berhasil. Setidaknya menjadi alat legitimasi untuk menggebuk rejim penguasa muslim tertentu yang dinilai merugikan kepentingan Barat.
Pembongkar Labeling
Di negeri tertentu, labelisasi ini telah berhasil menggiring opini bahwa memedi itu muncul dalam sosok fundamentalis, radikalis, teroris, Wahabi, dan kadrun.
Jalan menuju kearah memedi harus ditutup. Karena itu ujaran kebencian seperti jihad, kafir harus ditutup melalui sertifikasi ulama, sertifikasi mubaligh, naskah khutbah, dan sebagainya. Sumber memedi harus terkontrol. Semua ini ada dalam payung besar yang namanya Politik Islam Penguasa.
Konstruksi memedi sebenarnya sudah lama dicoba dibongkar oleh kalangan akademisi Barat sendiri. Orang seperti Annemarie Schimmel, Karen Amstrong, John L. Esposito dan yang lain telah lama berusaha melakukannya.
Mereka ini memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat dengan menggunakan logika bahasa Barat. Meskipun tidak jarang mereka ini menerima tuduhan sebagai antek Islam. Karen Amstrong dan John Esposito tetap dalam keyakinannya yang lama. Almarhumah Annemarie Schimmel yang pernah diboikot oleh dua ratus ilmuwan Jerman telah masuk Islam.
Bagi Silvia, Sopie, dan Schimmel memang telah menemukan kebenaran meskipun jalan yang ditempuhnya berliku dan penuh tantangan. Bagi mereka ini, ternyata memedi yang sampai sekarang dimaksudkan untuk menakuti banyak orang ternyata tidak medeni (menakutkan).
Benar apa yang dikatakan Graham E. Fuller bahwa memedi dalam berbagai bayangan seperti yang disebutkan di atas akan selalu tetap ada meskipun A World without Islam seperti yang dia ulas dalam judul bukunya itu. (*)
Kota Lumpur 28/10/2020
Editor Sugeng Purwanto