PWMU.CO – Guru dan karyawan SDMM telah bersertifikat terlatih Konvensi Hak Anak. Hal itu diungkapkan Penanggung Jawab Bimbingan dan Konseling Ria Eka Lestari, Rabu (4/11/20).
Ia mengatakan, semua guru dan karyawan adalah orang dewasa di sekolah yang berada di sekitar anak, sehingga harus dipastikan mengetahui dan memahami hak-hak anak. “Dengan demikian, mereka dapat mengambil peran dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi anak,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, semua guru dan karyawan penting terlatih Konvensi Hak Anak juga untuk mendukung satuan pendidikan yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak. “Termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus di dalamnya,” kata dia.
Menurutnya, jika belum memahami Konvensi Hak Anak (KHA), dikhawatirkan tidak dapat memberikan pemenuhan hak dan perlindungan anak dengan optimal. Materi Konvensi Hak Anak telah digelar SDMM via Zoom Clouds Meeting pada Sabtu 8 Agustus 2020 menghadirkan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Elvi Hendrani.
Prinsip Konvensi dan Pemenuhan Hak Anak
Ada empat prinsip dalam Konvensi Hak Anak. Pertama, nondiskriminasi. Melihat semua anak adalah sama dan harus ditolong. Kedua, kepentingan pribadi bagi anak menjadi prinsip dasar penting dan diutamakan saat kita membuat program, keputusan, kegiatan, yang akan berdampak pada anak. Semuanya didedikasikan agar anak bertambah baik.
“Apakah setelah program atau keputusan ini dilaksanakan, ditetapkan, anak bertambah baik? Jawab dengan hati. Saat kita tidak jujur menjawabnya, kebanyakan keputusan ini terkait dengan kepentingan sekolah, misalnya,” tutur Elvi Hendrani, kala itu.
Ia mencontohkan, apakah mengembalikan anak kepada orangtua adalah keputusan yang terbaik bagi anak, karena sekolah sudah tidak bisa membinanya. Menurutnya, anak yang dikembalikan kepada orangtua tidak pernah menjadi lebih baik. Tidak pernah membuat anak lebih termotivasi untuk bersekolah. “Hasilnya anak menjadi murung, frustasi, trauma bertemu dengan teman, guru, dan lain-lain. Maka keputusan ini melanggar prinsip kedua dari konvensi hak anak,” tegas Elvi Hendrani.
Prinsip ketiga, hidup, tumbuh, dan berkembang. Maka jika nanti sekolah membuka anak untuk masuk, Elvi Hendrani meminta semua pihak memastikan tidak ada kluster baru Covid-19. “Karena sehat itu penting bagi anak. Tanpa sehat anak tidak bisa jadi cerdas. Tanpa sehat anak tidak bisa jadi ceria. Tanpa sehat tidak akan dapat kembali ke sekolah,” ujarnya.
Keempat, penghargaan terhadap pendapat anak. Anak didengar, diakui sebagai manusia seutuhnya, bukan sebagai dewasa kecil, tetapi manusia sesuai dengan perkembangannya.
Disiplin Sekolah Ramah Anak
Tak hanya itu, guru dan karyawan SDMM serta orangtua siswa juga telah mengikuti pelatihan Disiplin Sekolah Ramah Anak atau Disiplin Positif. Pelatihan tersebut telah digelar pada Sabtu 15 Agustus 2020 menghadirkan Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak Bekti Prastyani via Zoom Clouds Meeting.
Ria Eka Lestari mengatakan, disiplin positif sangat berkaitan erat dengan ekosistem ramah anak. Dengan disiplin positif, kata dia, tidak akan ada tindakan yang merendahkan martabat anak (selama ini dikenal dengan istilah hukuman).
“Disiplin positif akan menumbuhkan kesadaran internal anak, bukan kontrol dari luar. Diharapkan, anak akan tetap disiplin meski tanpa pengawasan,” jelasnya.
Ia menegaskan, disiplin Sekolah Ramah Anak ini memegang prinsip Albert Einstein, yaitu kejeniusan dilahirkan dari kegembiraan. “Maka kedisiplinan pun harus dikemas dalam suatu tindakan yang menggembirakan anak, bukan menakuti,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik terus berusaha memenuhi enam komponen Sekolah Ramah Anak (SRA). Yaitu kebijakan tentang SRA, pendidik dan tenaga kependidikan terlatih KHA, proses belajar yang ramah anak, sarana pra sarana ramah anak, partisipasi anak, serta partisipasi orangtua, lembaga masyarakat, dunia usaha, stakeholder lainnya, dan alumni. (*)
Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.