Hari Pahlawan di Mata Kaum Milenial oleh Machmud Shofi, guru MTs Muhammadiyah 3 Sumberrejo Bojonegoro.
PWMU.CO -Setiap tanggal 10 November bangsa ini memperingati Hari Pahlawan. Pertempuran besar pertama yang meletus setelah Indonesia merdeka. Ribuan korban jiwa mati demi membela harga diri bangsa merdeka yang dilecehkan oleh tentara Inggris.
Bagi generasi milenial sekarang, mungkin sulit membayangkan untuk apa perang mengorbankan nyawa hingga kota Surabaya hancur dibom, demi membela harga diri. Generasi gadget sekarang mengenal perang hanya dalam game online internet.
Jangan-jangan generasi ini membayangkan perang 10 November sekadar game online yang seru dan mengasyikkan di dunia maya. Semacam Clash of Clan, Modern Combat, Frontline Commando D-Day, Brothers in Arms dan sejenisnya yang mereka memainkan berjam-jam hingga malas membaca.
Keterputusan memahami sejarah heroik masa lalu dalam generasi milenial inilah yang harus disambungkan sehingga ketika mereka menjadi pemimpin negeri ini bisa menginjak bumi, memahami dunia nyata nasib rakyat dan negerinya. Melihat dengan mata geliat rakyat, bukan cuma membaca berita dari internet. Apalagi hoax. Inilah masalah yang harus diselesaikan.
Untuk itu momentum peringatan Hari Pahlawan jangan seremonial semata. Pahamkan tentang kenapa para pejuang mengorbankan nyawa, tenaga, harta melawan pasukan asing yang ingin kembali menjajah dan meremehkan harga diri bangsa. Mari memahami apa itu merdeka.
Pemicu Perang
Pertempuran besar Surabaya pada 10 November 1945 melibatkan pejuang Surabaya dan Indonesia lainnya melawan tentara Inggris. Tentara Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II datang ke Surabaya untuk mengatur peralihan kekuasaan dari Jepang sekaligus mengurus tawanan perang dan melucuti senjata Jepang.
Namun tentara Inggris bertindak arogan. Melihat arek-arek pejuang Surabaya yang memegang senjata sebagai milisi liar dan perampok. Pada 27 Oktober mereka sebarkan pamflet agar warga kota Surabaya menyerahkan semua senjata yang dipegang. Kalau tidak mau bakal ditembak mati.
Pamflet itu menimbulkan kegaduhan hingga meletus pertempuran antara pejuang Surabaya dengan tentara Inggris yang dikomandani Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby pada 28 Oktober 1945. Saat pasukan Inggris terdesak mereka meminta gencatan senjata dengan menghubungi Presiden Sukarno agar datang di Surabaya pada 29 Oktober untuk menghentikan perang.
Besoknya, 30 Oktober, saat perundingan gencatan senjata terjadi baku tembak di depan Gedung Internatio Jembatan Merah. Akibatnya Jenderal Mallaby tertembak mati di mobilnya dan terbakar.
Insiden itu membuat pimpinan pasukan Inggris Mayjen EC Mansergh marah lalu menyebarkan pamflet lagi pada 9 November. Isinya ultimatum kepada warga Surabaya agar menyerah, meletakkan senjata, dan menyerahkan pembunuh Mallaby. Kalau menolak kota Surabaya bakal dibom dari darat, laut, dan udara.
Rakyat dan pimpinan kota Surabaya menolak ultimatum itu dan memilih perang. Maka berkobarlah Perang 10 November yang sangat heroik dan menyatukan elemen masyarakat untuk berjuang.
Hindari Generasi Instan
Presiden Ir Soekarno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa pahlawannya. Jas Merah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sekarang bagaimana generasi milenial memahami sejarah dan menghargai pahlawannya? Jelas mereka tak terlibat dalam masa pergolakan zaman itu, namun generasi ini harus mampu memaknai kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai zamannya.
Hari Pahlawan memang diperingati setiap 10 November, tapi jadilah pahlawan setiap harinya dalam kehidupan. Menjadilah pahlawan untuk diri sendiri, keluarga, dan rakyat. Buatlah prestasi-prestasi yang bermanfaat bagi orang banyak.
Minimal berlakulah jujur dan bertindak tegas melawan kezaliman. Sifat jujur diperlukan agar tak berlaku korup di mana pun berada. Apalagi ketika menjadi pejabat. Bersikap tegas bisa membela rakyat keluar dari penindasan dan eksploitasi. Lebih-lebih sekarang pemerintah lagi gencar mengundang investasi asing yang mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja.
Hindari menjadi generasi serba instan. Ingin sukses dalam tempo secepatnya, tanpa kerja keras. Dunia gadget memang bisa membentuk pemikiran dan perilaku instan. Seperti cita-cita anak kecil sekarang ingin menjadi youtuber yang menghasilkan duit miliaran.
Kesenjangan sosial, narkotika, seks bebas pun mengancam karena serbuan informasi dunia internet. Menjadikan mereka tak produktif karena menghabiskan waktu memelototi HP.
Generasi milenial sudah seharusnya memanfaatkan teknologi informasi untuk produktivitas dan entrepreneurship. Bukan cuma penikmat untuk membuat video tiktok-an yang konyol. Main gadget boleh tapi tetap peduli masalah keumatan, sosial, lingkungan, dan politik.
Selamat Hari Pahlawan. Jadilah generasi milenial yang memberikan energi positif sebagai penggerak kemajuan umat untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur yang diridhoi Allah. (*)
Editor Sugeng Purwanto