Agar Muhammadiyah Tak Lagi Yatim Piatu Politik, kolom ditulis oleh Biyanto, Guru Besar Filsafat dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 kabupaten/kota akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Pertanyaannya, dari begitu banyak pilkada berapa kader atau simpatisan Muhammadiyah yang maju sebagai calon bupati/walikota atau wakil bupati/wakil walikota?
Jika tidak ada kader atau simpatisan, berapa banyak calon dalam pilkada yang memiliki hubungan emosional dengan Muhammadiyah?
Sebagai insider penulis ingin mengajak aktivis Muhammadiyah untuk menjadikan pertanyaan tersebut sebagai refleksi bersama. Sebuah refleksi yang penting untuk menyongsong Milad Ke-108 Muhammadiyah (18 November 1912-18 November 2020).
Jika pimpinan dan warga persyarikatan abai dengan dinamika politik, maka jangan heran apabila mereka yang masuk dalam pusaran politik dan kekuasaan tidak memerhatikan kepentingan Muhammadiyah.
Pada konteks itulah Muhammadiyah penting menjadikan politik sebagai amal usaha baru setelah sukses di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Pertanyaannya, dari mana keinginan mewujudkan politik sebagai amal usaha harus memulai? Jawabnya, sebagai langkah awal penting dirintis penyelenggaraan sekolah politik untuk mendidik kader-kader Muhammadiyah.
Kader-kader tersebut dapat disiapkan untuk mengisi berbagai posisi di eksekutif dan legislatif. Dorongan mewujudkan amal usaha politik pernah diutarakan almarhum Bahtiar Effendy. Menurut beliau, menjadikan politik sebagai amal usaha penting karena sepanjang era reformasi, Muhammadiyah belum sukses menempatkan kader-kader terbaiknya di lembaga eksekutif dan legislatif.
Yatim Piatu Kekuasaan
Diaspora kader-kader Muhammadiyah di panggung politik dan pemerintahan belum terlaksana dengan baik. Bahkan di instansi tertentu dalam pemerintahan, kader-kader Muhammadiyah termarginalisasi. Padahal Muhammadiyah memiliki sumber daya berkualitas yang melimpah.
Pada konteks itulah Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) pernah menyatakan bahwa dalam politik dan kekuasaan Muhammadiyah layaknya yatim piatu (Republika, 24/9/2019).
Istilah yatim piatu politik merupakan refleksi mendalam Buya Syafii terhadap nasib Muhammadiyah dalam panggung politik nasional. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sejauh ini Muhammadiyah belum menikmati buah dari era reformasi.
Padahal era reformasi tidak dapat dilepaskan dari ketokohan Amien Rais, yang notabene mantan Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Publik mengenal Amien Rais sebagai Bapak Reformasi.
Pertanyaannya, apa yang salah dengan posisi politik Muhammadiyah sepanjang era reformasi sehingga belum sukses mendistribusikan kader-kadernya dalam berbagai jabatan publik di lembaga politik dan pemerintahan?
Pertanyaan ini dapat dijawab secara normatif dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah memang bukan partai politik. Khittah politik Muhammadiyah juga meniscayakan organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik. Sejauh ini Muhammadiyah juga menunjukkan konsistensinya dengan menekuni perjuangan melalui jalur kultural.
Dalam posisi itulah Muhammadiyah tidak mungkin bermain politik praktis layaknya partai. Selanjutnya juga dikatakan bahwa yang dimainkan Muhammadiyah adalah politik kebangsaan (high politics). Yakni, politik adiluhung yang menekankan pentingnya politik nilai.
Meski politik kebangsaan penting, namun dalam konteks politik sekarang ini Muhammadiyah sejatinya dapat mengambil langkah lebih jauh. Muhammadiyah dapat menegoisasikan kader-kader terbaiknya untuk menduduki jabatan-jabatan publik di legislatif dan pemerintahan.
Tiga Pilihan Strategi Politik
Sebagai organisasi besar dengan amal sosial yang konkrit, “jihad politik” itu penting dilakukan dalam konteks dakwah amar makruf nahi mungkar. Ada beberapa pilihan untuk mewujudkan gagasan amal usaha politik.
Pertama, Muhammadiyah mendirikan partai politik. Pilihan ini pasti tidak mudah karena berlawanan dengan khittah politik Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah menjadikan partai tertentu sebagai partai utama. Posisi ini sejatinya telah diambil Muhammadiyah. Sejauh ini publik juga memahami bahwa Muhammadiyah memiliki hubungan istimewa dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ketiga, Muhammadiyah mendistribusikan kadernya di berbagai partai politik. Hal itu berarti Muhammadiyah membebaskan kadernya untuk berdiaspora di sejumlah partai politik.
Dari sejumlah alternatif tersebut, rasanya yang paling memungkinkan adalah pilihan ketiga. Melalui cara itulah Muhammadiyah dapat menitipkan aspirasi perjuangan pada kader dan simpatisan Muhammadiyah yang berdiaspora di sejumlah partai politik serta lembaga legislatif dan eksekutif.
Dengan meminjam istilah Din Syamsuddin dalam Islam dan Politik Era Orde Baru (2001), strategi tersebut dinamakan politik alokatif (allocative politics). Untuk menjalankan politik alokatif, yang harus dilakukan Muhammadiyah adalah menyiapkan kader-kadernya untuk berkhidmat di dunia politik.
Mereka harus orang yang memiliki integritas, kompetensi, talenta, dan antusiasme di bidang politik. Mereka juga harus tahan banting dan tidak mudah kaget berhadapan dengan dinamika politik yang selalu menghadirkan kejutan.
Untuk menjadikan kader Muhammadiyah berkarakter tersebut tentu membutuhkan pendidikan berkelanjutan. Pada konteks itulah gagasan sekolah politik penting direalisasikan sebagai bagian jihad politik Muhammadiyah. Sekolah politik ini merupakan investasi jangka panjang untuk mewujudkan amal usaha politik. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.