PWMU.CO– Kenangan dengan Pak AR Fachruddin muncul saat memperingati milad Muhammadiyah ke-108 tahun ini. Seperti diceritakan Agus Mulyono yang pernah menjadi staf Majelis Dikti PP Muhammadiyah tahun 1992-2018.
Dia merindukan sosok pemimpin seperti Abdul Rozak Fachruddin, nama lengkap ketua PP Muhammadiyah periode 1968-1990. Dia menceritakan kenangan bersama Pak AR suatu hari di tahun 1994. Saat itu Pak AR masih sering mengantor di Gedoeng Moehammadijah Jl. KH Ahmad Dahlan 103 Yogya.
Seperti biasa tugasnya mengantar pimpinan Majelis Dikti juga memintakan tanda tangan surat-surat ke Ketua Majelis yang waktu itu dijabat Prof Dr Yahya A. Muhaimin, yang juga menjadi Dekan Fisipol UGM.
Ketika mau keluar kantor bersama Pak Yatno, bagian keuangan, bermaksud menuju ke UGM, di depan kantor ada Pak AR sedang menunggu sesuatu. Masih ingat dalam kenangan Agus, saat itu dia memakai mobil Majelis Dikti Kijang Super.
Agus pun menyapa Pak AR. ”Badhe tindak pundi, Pak AR (Mau pergi kemana, Pak AR)?”
”Ajeng wangsul. Mas Agus badhe wonten pundi (Mau pulang. Mas Agus mau kemana)?” jawab Pak AR.
”Sowan Pak Yahya wonten UGM (Pergi ke Pak Yahya di UGM),” ujar Agus menerangkan.
Pak AR lalu bertanya,”Medal Jl. Cik di Tiro mboten, Mas Agus (Lewat Jl. Cik di Tiro tidak, Mas Agus)?” Rumah dinas Pak AR bertempat di Jl. Cik di Tiro 19A. Sekarang rumah ini menjadi Kantor PP Muhammadiyah.
”Njih Pak AR, monggo kulo derekaken (Ya, Pak AR, silakan saya antarkan),” jawab Agus yang juga ketua PRM Bangunjiwo Barat, PCM Kasihan Bantul Yogyakarta.
”Kok nderekaken kulo. Niki kan mobil Dikti nggih? Kulo saget nunut dugi griyo? (Kok mengantarkan saya. Ini mobil Dikti ya. Bisa saya ikut hingga rumah?),” kata Pak AR lagi.
Duduk di Belakang
Agus jadi salah tingkah sebab sekelas Pak AR bilang nunut kepadanya. ”Monggo Pak AR, kulo derekaken….estu, kulo siap, Pak AR lenggah ngajeng njih,” tutur Agus yang artinya, silakan Pak AR, saya antarkan. Sungguh, saya siap. Pak AR duduk di depan ya.
Pak AR menyahut,”Kulo niki namung nunut, menawi nunut niku wonten wingking mawon.” Artinya, saya ini Cuma nunut, ikut, kalau nunut itu di belakang saja.
Agus salah tingkah lagi. Kembali dia meminta Pak AR duduk di depan. Tapi Pak AR menjawab,”Sampun kulo ten wingking mawon. Mas Yatno ngrencangi Mas Agus wonten ngajeng njih.” Artinya, sudah saya di belakang saja. Mas Yatno menemani Mas Agus di depan ya.
Pak AR segera naik dan duduk di jok belakang. Mobil berjalan menuju UGM. Di dalam mobil Pak AR bertanya lagi kepada Agus. ”Mas Agus kerjo ten Dikti sampun kale tahun njih, kerasan mboten,” katanya yang artinya Mas Agus kerja di Dikti sudah dua tahun ya. Kerasan tidak?
”Alhamdulilah Pak AR, kulo sampun kerasan (Alhamdulillah Pak AR, saya sudah kerasan),” jawab Agus.
”Gajini pun namung sekedik lho, tapi insyaallah barokah,” tutur Pak AR. Artinya gajinya cuma sedikit. Tapi insyaallah barokah.
”Aamiin, njih Pak AR.” Waktu itu gaji Agus Rp 35.000. Dia masih bujangan.
”Rumiyen Mas Agus nate kerjo wonten Suroboyo njih, pripun sekeco rumiyen menopo sak niki?” Dulu Mas Agus pernah kerja di Surabaya ya. Bagaimana enak dulu atau sekarang?
Waktu di Surabaya gaji Agus sudah Rp 115 ribu. ”Sekeco kerjo wonten PP, alhamdulilah Pak AR, kulo sampun biasa wonten ranting.” Enak kerja di PP. Alhamdulillah saya sudah biasa di ranting.
Langgar Lampu Merah
Tidak terasa perjalanan sudah mau sampai Jl. Cik di Tiro, di perempatan Jl. Jenderal Sudirman. Timur Gramedia. Lampu hijau mau menyala merah, saya tancap gas. Nekat main serobot.
Tiba-tiba Pak AR menegur,”Benjang malih menawi sampun ajeng merah mboten sah melanggar njih Mas Agus.” Besok lagi kalau sudah akan lampu merah tidak usah melanggar ya Mas Agus.
Sekali lagi Agus yang pegang setir jadi kikuk. ”Njih Pak AR ngapunten niki nanggel,” jawabnya. Artinya, ya Pak AR maaf. Ini tadi nanggung.
”Njih mboten nopo nopo, untung wau mboten wonten polisi, benjang malih alon alon mawon njih Mas Agus.” Ya, tidak apa-apa, untung tadi tak ada polisi. Besok lagi pelan-pelan saja ya Mas agus.
”Njih Pak AR nyuwun pangapunten.” Ya Pak AR, mohon maaf.
Akhirnya sampai rumah Cik di Tiro. Mobil mau masuk halaman rumah. Tapi Pak AR minta turun depan rumah. Agus segera keluar lebih dulu berniat membukakan pintu mobil. ”Monggo, Pak AR.”
”Sampun, kulo saget buka kiyambak Mas Agus,” ujar Pak AR. Sudah, saya bisa membuka sendiri. ”Njih matur nuwun Mas Agus, pun aturaken Pak Yahya, matur nuwun njih kulo pun nunut mobil Dikti.” Terima kasih, Mas Agus. Sampaikan ke Pak Yahya terima kasih ya saya sudah nunut mobil Dikti.
Agus berkata dalam hati, orang ini luar biasa masih bilang nunut. Padahal orang ini mantan ketua PP Muhammadiyah lima periode. ”Ooh njih Pak AR, insyaallah.” Itulah sosok pemimpin yang dirindukan. Zuhud dan rendah hati. Semoga kenangan dengan Pak AR ini menjadi inspirasi bagi kita semua. (*)
Editor Sugeng Purwanto