Takdir Memilihnya sebagai Martir, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Ambulans jenazah para syuhada itu memasuki Jalan Petamburan III, Selasa (8/12/2020) malam. Mereka disambut umat yang sudah menantikan sejak selepas Isya.
Tidak datang beriringan, tapi setidaknya tiap 15 menit ambulans satu per satu datang. Suara takbir bersahutan. Para kerabat, keluarga, dan kawan seperjuangan yang hadir di situ tampak larut haru dalam kesedihan.
Jenazah para syuhada itu disemayamkan di rumah sang Imam di Petamburan III. Rumah yang sekaligus markas FPI, tempat mereka berkhidmat selama ini.
Tentu tidak dihadiri sang Imam, Habib Rizieq Shihab (HRS), yang entah posisinya saat ini di mana. Beliau tidak sedang bersembunyi, tapi lebih pada menghindar sementara dari kesewenang-wenangan aparat yang dipaksakan.
Bagaimana tidak bisa dikatakan dipaksakan, bukannya kasus HRS itu jika dianggap kesalahan, itu kesalahan ringan. Itu soal pelanggaran protokol kesehatan. Denda maksimal sudah dikenakan, dan sudah diselesaikan. Banyak kasus serupa terjadi, tapi lalu selesai dengan sendirinya.
Sang Imam tidak bisa membersamai para syuhada itu. Tentu hati dan perasaannya akan meleleh penuh kesedihan, karena tanpa bisa hadir dan memimpin sendiri shalat jenazah mereka yang gugur menjaganya beserta keluarga dari teror tidak semestinya.
Para syuhada itu berusia masih muda—antara 20 sampai 26 tahun. Usia produktif. Mereka tidak memilih untuk mati ditembus peluru. Tapi takdir berkata lain. Takdir memilihnya sebagai martir.
Kelompok yang tidak mengenal makna takdir dengan baik, tentu tidak akan mampu melihat bahwa itu pilihan-Nya, pastilah nyinyir sikapnya.
Kenyinyiran itu ditampakkan pada khalayak, bahwa enam nyawa yang mati itu dianggapnya sia-sia. Bahkan tindakan aparat menembak mereka hingga tewas itu perbuatan yang sepatutnya. Tidak tampak sedikitpun sikap empati. Rasanya hati mereka itu terbuat dari baja.
Beristirahat di Megamendung
Setelah dimandikan, dikafani, dan dishalatkan di Markas FPI di Petamburan, jenazah itu disemayamkan di rumah masing-masing. Itu agar para keluarga atau tetangga yang tidak dapat hadir di Petamburan, bisa juga bertaziah dan menyolatinya.
Lima dari enam syuhada itu Rabu (9/12/2020) pagi dibawa ke Pesantren Argokultural, Markaz Syariah Megamendung, Kabupaten Bogor. Di tempat itulah mereka dimakamkan. Sedang yang seorang diminta keluarganya untuk dimakamkan di Jakarta.
Tidak tahu persis siapa yang meminta bisa dimakamkan di Megamendung itu, tapi yang jelas itu bisa dimaknai menghadirkan simbol agar para syuhada itu selalu berdekatan dengan sang Imam.
Kematian para syuhada itu, bukan peristiwa biasa. Kasus itu harus diusut tuntas agar bisa menghadirkan keadilan. Bersyukur Propam Polda Jaya mulai mengadakan penyelidikan internal pada pihak yang melakukan penembakan hingga jatuhnya korban, apakah sesuai SOP atau itu pelanggaran.
Permintaan hampir semua ormas: Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Matla’ul Anwar, ICMI, KAMI, Kontras dan lainnya menyayangkan peristiwa itu. Tidak ketinggalan para tokoh nasional. Di antaranya Amien Rais, KH Miftachul Akhyar-Buya Anwar Abbas (Ketua dan Wakil Ketua MUI), dan lainnya, yang berharap Presiden Jokowi membentuk tim independen pencari Fakta, guna mengungkap fakta sebenarnya dari peristiwa itu.
Umat menunggu sikap Presiden Jokowi atas kejadian memilukan itu, yang sampai saat ini belum juga disampaikan. Bahkan tidak satu pejabat pun yang biasanya royal bicara, tapi pada peristiwa ini seperti koor yang dikondisikan untuk tidak berbicara, meski cuma sekadar empati penyesalan atas terjadinya peristiwa naas itu.
Orang bertanya, ke mana Pak Mahfud, yang seharusnya selaku Menko Polhukam berbicara kok gak keluar suaranya. Biasanya beliau paling asyik berbicara.
Para syuhada pagi tadi dihantar ribuan umat datang berbondong, itu digerakkan oleh amalan si mayit yang diwafatkan-Nya sebagai syuhada. Tidak semua bisa diwafatkan demikian. Itu skenario Tuhan. Anak-anak muda itu terpilih diwafatkan dengan wafat yang indah… Subhanallah. (*)
Editor Mohamad Nurfatoni.