Biarkanlah HRS Ditahan, Itu Skenario-Nya, kolom oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Biarkanlah Habib Rizieq Shihab (HRS) ditahan. Itu memang pilihannya. Ya, itu pilihannya. Itu konsekuensi dari nilai-nilai yang diperjuangkan.
Perjalanan dakwahnya masih panjang. Tahanan bukanlah akhir pengabdiannya dalam medan dakwah. Ini bukan kali pertama ia harus mendekam di rumah tahanan. Ini kali ketiga atau keempatnya.
Tapi kali ini ia mesti di tahan dengan pelanggaran protokol kesehatan, yang tidak semestinya harus dipidanakan. Spekulasi pun muncul, bahwa politik mencengkeram hukum. Maka biarlah pengadilan yang membuktian semuanya.
Di pengadilanlah adu pasal pidana yang disangkakan akan terjadi, antara penuntut umun dan pembela. Dan hakim jadi tumpuan sebagai tangan Tuhan di bumi, memutus keadilan yang sebenarnya.
Tidak main-main, yang disangkakan pada HRS adalah pasal-pasal yang menjerat dan bisa dipidana enam tahun penjara. Tentu polisi yakin dengan itu, lalu meneruskan pada pihak penuntut umum, dalam hal ini jaksa.
Maka jika ada pihak yang membandingkan kasus HRS dengan Djoko Tjandra si maling uang negara lebih dari 500 miliar dan kabur belasan tahun hanya dituntut dua tahun penjara. Itu sih sah-sah saja.
Jika hakim nanti memutus Djoko Tjandra sesuai tuntutan, pastilah “berhati mulia”. Maka yang muncul adalah tuntutan manusiawi, divonis ringan sesuai tuntutan karena yag bersangkutan dianggap sudah tua. Pada kasus HRS tidaklah berlebihan pula jika berharap jika hakim pun memakai pendekatan berdasar keadilan.
Maka, pantaslah jika semua pecinta HRS pun berharap HRS akan diputus bebas, karena pelanggar protokol kesehatan tidak bisa dipidanakan. Soal itu para praktisi dan pemerhati hukum, baik yang pro dan kontra HRS, tampaknya sama-sama punya pandangan sama, bahwa tidak ada pasal-pasal pidana yang bisa menjerat HRS.
Tuhan kok Diam Saja
Jika benar apa yang disuarakan HRS itu nilai-nilai kebaikan, kenapa Tuhan diam saja melihat hambanya diperlakukan demikian?
Pastinya banyak yang bertanya demikian. Itu pertanyaan biasa. Pertanyaan yang kerap kita tuntut Tuhan dengan apa yang diinginkan. Ada yang bisa terucap, tapi lebih banyak pertanyaan itu muncul dalam hati, yang jarang bisa terjawab dengan baik.
Melihat peristiwa digelandangnya HRS dari Polda Metro Jaya ke mobil tahanan, dini hari tadi (13/12/2020), banyak yang lalu tanpa sadar air mata berlinangan, dan lalu terucap doa-doa kutukan pada polisi, dan bahkan sampai pada anak cucunya segala.
Tidak perlulah sampai berdoa dengan doa tidak baik demikian. Berdoa sebaiknya yang baik-baik saja. Doakan HRS tabah menjalani ujian-Nya, dan Pak Polisi diberi nur kebajikan. Itu kan lebih baik.
Tapi doa apa pun itu bisa terlontar dari mulut atau cukup lewat hati siapa saja (sirr), dan itu pun sah-sah saja. Tidak ada yang bisa menghentikan orang mau berdoa apa saja, bahkan doa kutukan sekalipun. Tidak mungkin bisa dijerat atau terkena jeratan UU ITE yang menakutkan itu.
Tuhan tentu tidak diam melihat episode perjalanan HRS. Itu skenarionya. Dan kita semua tidak tahu kisah yang dibangun-Nya itu akan berakhir seperti apa.
Selembar daun yang gugur pun itu skenarionya. Tidak ada yang beredar di muka bumi dan alam semesta tanpa Tuhan lengah mengaturnya.
Maka, tidak perlulah khawatir, pastilah Tuhan mengijabah doa-doa para santri dan pecinta HRS dengan cara-Nya dan pada waktunya. Itu bagian dari iman, mestilah diyakini.
Biarlah HRS itu ditahan. Itu tidak sedikitpun merendahkannya. Baginya itu cuma seperti pindah tempat tidur saja. Pejuang dakwah menjadikan rumah tahanan bukan tempat menakutkan. Pikiran dan jiwanya tetap merdeka. Tidak ada yang bisa membungkamnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.