Bank Syariah Indonesia Bukan Musuh Muhammadiyah, kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – Menyikapi berdirinya Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai holding bank syariah BUMN, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah secara resmi menggelar konferensi pers, Selasa (22/12/2020) siang.
Sebelumnya beredar wacana Muhammadiyah menarik dananya dari bank-bank syariah BUMN untuk dialihkan ke bank-bank syariah lain yang sedang berkembang.
Pernyataan yang disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mendapat tanggapan positif dari sejumlah simpatisan, warga, dan struktur Muhammadiyah. Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Dr dr Sukadiono menyatakan siap mendukung keputusan PP.
Tanggapan dari masyarakat salah satunya Tere Liye publik figur penulis novel-novel best seller menyambut baik rencana PP Muhammadiyah itu.
Tuntun BSI Peduli UKM
Dalam konferensi pers tersebut PP Muhammadiyah menuntut agar BSI peduli UKM, ekonomi kerakyatan, dan keumatan, selaras dengan Pasal 33 UUD 1945 dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Adapun rencana penarikan dana amal-amal usaha dan pimpinan Muhammadiyah dari tingkat ranting sampai pusat menunggu kajian lebih lanjut.
Pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Prof Dr Haedar Nasir MSi dan Sekretaris Umum Prof Dr Abdul Mu’ti MEd itu juga menginginkan BSI sebagai milik negara dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel untuk bisa memberi manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Keputusan PP Muhammadiyah bukan hal aneh jika meneliti jati diri Muhammadiyah yang didirikan dengan semangat al-Ma’un untuk memberdayakan kaum dhuafa, masakin, dan kaum termarjinalkan lainnya.
Muhammadiyah bukan musuh pemerintah atau pesuruh pemerintah, tetapi mitra sejajar pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberdayakan masyarakat yang belum terjangkau program-program pemerintah.
Hadir pada tahun 1912 pada masa pemerintahan kolonial, Muhammadiyah sebagai organisasi yang membawa sikap cooperatif pada pemerintah penjajah kolonial Belanda, Jepang, sampai Indonesia merdeka. Sikap Muhammadiyah yang ada kalanya berbeda dengan pemerintah sejak 1912 sebagai sikap penyajian alternatif dalam ikut serta memajukan masyarakat dalam dakwah dengan wasilah pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi dan lain-lain.
Amal-amal usaha Muhammadiyah, baik sekolah, universitas, klinik di ranting-cabang sampai rumah sakit-rumah sakit elite sebagai alternatif pemberian layanan dan kualitas pada masyarakat bersama institusi-institusi dan badan-badan usaha milik pemerintah.
Demikian juga keberadaan bank syariah di Indonesia khususnya yang hadir untuk menyajikan alternatif jasa perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam dan pemberdayaan kaum termarjinalkan dalam sistem ekonomi nasional.
Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah pertama di Indonesia berdiri tahun 1991 sebagai ijtihad bersama antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) hadir dengan sejumlah infrastruktur untuk memberdayakan ekonomi rakyat.
Selain mendirikan Bank Muamalat Indonesia sebagai bank umum syariah yang melayani korporasi, dibentuk juga bank-bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) untuk melayani kelas usaha menengah serta Baitul Maal wa Tamwil (BMT) untuk melayani kelas usaha mikro dan kecil.
Lembaga inkubasi pemberdayaan BMT, UKM, dan koperasi dengan nama Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Koperasi (PINBUK) berdiri dibawah koordinasi MUI dan ICMI.
Tahun 1990-an bisa disebut tahun start-up atau rintisan sistem perbankan syariah, koperasi syariah (BMT), dan UKM-UKM mitra bank-bank syariah, BPR syariah dan BMT-BMT.
Ujian krisis moneter tahun 1997 berlanjut krisis ekonomi dan krisis multidimensi tahun 1998 berhasil dilalui bank syariah dan BPR-BPR syariah. Ketika bank-bank umum swasta banyak mengalami likuidasi dan bank-bank umum pemerintah mengalami krisis negatif swap, likuiditas, kredit macet, lonjakan kurs dan lain-lain, bank syariah tidak mengalami kendala yang berarti.
Sistem syariah yang pada awalnya diragukan selanjutkan banyak dikloning oleh bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta melalui sistem double window. Bank Syariah Mandiri yang berdiri tahun 1999 menjadi anak perusahaan BUMN pertama, selanjutnya memasuki tahun 2000 bak cendawan di musim hujan tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia.
Patut Diapresiasi
Rencana Muhammadiyah menarik dana dari holding bank-bank syariah BUMN perlu diapresiasi sebagai upaya mengembalikan jati diri awal sistem ekonomi syariah dan perbankan syariah, di antaranya pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi.
Pemberdayaan UKM sendiri merupakan salah satu agenda penting Reformasi 1998 dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antara pemodal besar, pemerintah dengan masyarakat pemodal kecil.
Tidak dipungkiri bahwa kesenjangan ekonomi antarpelaku usaha besar dan kecil sangat nyata dan terasa adanya. Kesenjangan tidak seharusnya ditutupi, melainkan harus dibuka secara transparan untuk bisa diselesaikan secara bersama-sama berdasarkan konstitusi yang berlaku.
Amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1 jelas bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Semangat kekeluargaan sebagai ruh dalam menjalankan tata kelola ekonomi nasional Indonesia merdeka untuk menggantikan tata kelola ekonomi kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme.
Sistem ekonomi kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme “sukses” menjadikan ekonomi “negara” Hindia Belanda maju dan mampu bersaing dengan negara lain. Akan tetapi sistem yang mampu memajukan ekonomi “negara” kolonial menimbulkan dampak sosial dan kemiskinan masyarakat korban sistem tanam paksa, cultur stelsel, batigslot, kerja rodi dan lain-lain.
Korban terbesar sistem ekonomi kolonial dan feodal adalah masyarakat bumiputera sebagai penghuni kasta ekonomi terendah di bawah bangsa asing Eropa dan Asia yang ikut menjalankan roda ekonomi di nusantara atau “negara” Hindia Belanda.
Ekonomi kolonial yang bercorak imperialisme berorientasi pertumbuhan sukses memberi pemasukan pada negara induk Belanda, sementara Hindia Belanda sebagai “negara” koloni hanya diperhatikan infrastruktur fisiknya. Kemajuan dan kecanggihan sarana prasarana jalan, pelabuhan, industri dan lain-lain di negara koloni tidak membawa dampak pada kemajuan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya.
Pergantian pemerintahan penjajahan dari Belanda ke pemerintahan pendudukan Jepang tahun 1942 sampai 1945 memperburuk kualitas kehidupan sosial ekonomi bumi putera.
Memasuki alam kemerdekaan, Orde Lama hingga Orde Baru dan Reformasi belum mengurangi angka kesenjangan ekonomi secara memadai. Tahun 1997/1998 menjadi momen introspeksi seluruh bangsa tentang sistem politik dan ekonomi yang dibangun Orde Baru ternyata rapuh seperti balon (bubble economy). Ekonomi yang tampak wah dan indah tetapi isinya keropos karena sangat tergantung pada modal utang, bukan modal kekayaan atau ekuitas.
Praktik liberalisme tanpa disadari banyak pihak ditengarai menjadi penyebab gagalnya ekonomi Orde Baru memasuki era tinggal landas sebagaimana yang dicita-citakan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Ke-6 (Repelita VI) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Hakikat ekonomi syariah yaitu ekonomi akhlakul karimah selaras dengan asas kekeluargaan ekonomi nasional dan semangat al-Maun Muhammadiyah. Sinergi pemerintah dan Muhammadiyah diharapkan tetap berlangsung indah dalam kerangka ekonomi “akhlakul karimah”.
Innamal buistu utammima makarimal akhlak sebagai misi kenabian menjadi wasilah sinergi membangun ekonomi umat tanpa terlalu banyak menggunakan teori-teori ekonomi dan syariat yang kaku atau rumit. Memberdayakan kaum dhuafa, perbaikan layanan, keterbukaan informasi, semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan bagian dari akhlakul karimah yang semuanya telah tersirat di dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai “Piagam Madinah”-nya Indonesia.
Wallahu’alambishshawab (*)
Bank Syariah Indonesia Bukan Musuh Muhammadiyah; Editor Mohammad Nurfatoni.