PWMU.CO– Surat at Tiin menjelaskan tentang tradisi Mekkah melindungi dakwah Islam. Masalah ini dibahas dalam Kajian Tafsir al-Quran dengan pendekatan strategi taktik oleh pengasuh Pondok Tahfidh al-Quran Serang, Banten, KH Sachrodji Bisri.
Di awal kelahiran Islam terjadi kegaduhan politik dan gesekan kepentingan, tapi Kota Mekkah tetap aman bagi Nabi Muhammad untuk merintis penyebaran ajaran Islam. Di sinilah tempat kelahiran Nabi Muhammad dan terbitnya agama Islam. Kota yang didoakan oleh leluhur para nabi yakni Nabi Ibrahim sebagai kota aman untuk keturunannya seperti tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 126.
Dalam perkembangannya kota di pedalaman gurun pasir itu menjadi ramai didatangi peziarah setelah mempunyai sumber air zamzam dan pembangunan kakbah sebagai altar penyembahan kepada Allah yang kemudian dikenal sebagai haji. Mekkah akhirnya menjadi kota lintasan perdagangan dan suku-suku mulai menetap di situ.
Penduduk Mekkah membangun aturan untuk menjaga ketertiban umum yang dijaga dari tradisi ke tradisi. Aturan pidana dan perdata yang melindungi internal dan antar suku untuk menyelesaikan persoalan yang muncul.
Suku-suku memiliki peran mengatur kota. Suku Quraisy sebagai keturunan pembangun Mekkah menguasai sumur zamzam dan kunci kakbah. Menjamin keamanan tamu-tamu yang datang berziarah untuk haji maupun berdagang.
”Itulah gambaran dari ayat wa hadzalbaladil amiin dari surat at Tiin. Kota yang aman itu adalah Mekkah. Aman karena dijaga oleh tradisi suku-suku penduduknya. Aman untuk peziarah haji. Aman juga untuk Nabi Muhammad yang mengembangkan Islam mulai dari kota itu,” kata KH Sahrodji Bisri.
Nabi Tak Tersentuh
KH Sahrodji menjelaskan, walaupun Nabi Muhammad ketika menyiarkan Islam dimusuhi dan diancam oleh elite Quraisy tapi tidak ada yang berani menyentuh apalagi membunuh Nabi Muhammad. Sebab Nabi secara aturan dilindungi oleh tradisi sukunya dari kabilah Bani Hasyim.
”Tradisi melindungi anggota suku di kalangan bangsa Arab ini sangat kuat. Bisa jadi secara individu ada perbedaan ideologis tetapi jika ada satu anggota suku diganggu suku lain wajib dibela. Sebab itu sama dengan membela kehormatan suku. Perbedaan ideologis per individu diabaikan dulu,” ujar Bang Oji, panggilan akrab KH Sahrodji Bisri.
Sewaktu Nabi Muhammad menyebarkan misi kenabian, kepala kabilah Bani Hasyim adalah Abu Thalib. Maka pamannya itu menjadi pelindung Nabi walaupun secara pemikiran dua orang ini ada perbedaan ideologi. Adalah fakta Abu Thalib tidak menerima Islam. Tapi kewajiban sebagai kepala kabilah menjamin keamanan dan keselamatan anggotanya.
Dalam suasana tradisi seperti inilah Islam bisa berkembang di kota Mekkah. Di bawah ancaman, penghinaan, makian dari orang-orang yang tidak suka, Islam terus menyebar pelan-pelan ke hati penduduk kota meskipun diterima kebanyakan rakyat miskin. Aturan tradisi melindungi Nabi.
Orang sejahat Abu Jahal hanya bisa menggertak dan memaki Nabi Muhammad. Tidak berani dia membunuhnya meskipun mempunyai niat membunuh Nabi. Ketika Abu Jahal nekat menyentuh dan menyakiti Nabi, maka Hamzah, yang saat itu belum Islam, datang menuntut balas dan balik menghajar Abu Jahal di depan khalayak tanpa perlawanan. Sebab Abu Jahal pun sadar aturan tradisi itu.
Orang terhormat bangsawan Quraisy sekaliber Walid bin Mughirah yang sangat dihormati penduduk Mekkah tidak berani bertindak menangkap Nabi. Tapi dia harus berbicara dulu kepada Abu Thalib, kepala kabilah Bani Hasyim, agar mengendalikan kegiatan Nabi.
Perubahan Politik
Tradisi perlindungan yang disebut dalam surat at Tiin ini membawa konsekuensi baik dan buruk yang ditanggung bersama oleh semua anggota kabilah. Contoh saat terjadi pemboikotan untuk menghentikan kegiatan dakwah Nabi, yang menanggung risiko aksi boikot itu bukan hanya Nabi dan anak istrinya tetapi seluruh anggota kabilah Bani Hasyim merasakan akibatnya. Mereka kelaparan karena tidak ada suku lain yang mau berdagang bahan makanan dan barang lainnya. Bayangkan, ini terjadi selama dua tahun.
Sayangnya, tradisi kabilah ini menguntungkan bagi orang yang memiliki pelindung. Budak-budak yang berbeda pemikiran dengan majikannya, atau orang-orang miskin yang tidak memiliki perlindungan menjadi sasaran pelampiasan kemarahan orang Quraisy yang benci Islam.
Itulah yang menimpah Bilal bin Rabah, keluarga Yasir bin Amir, dan pengikut Nabi lainnya. Nabi menyuruh mereka bersabar hingga datang pertolongan Allah. Nabi sendiri tak bisa menolong karena para budak itu berada pada kekuasaan majikannya.
Ketika Abu Thalib wafat, kepala kabilah Bani Hasyim jatuh ke tangan Abu Lahab, paman yang menentang Nabi. Di masa ini perlindungan terhadap Nabi dicabut sehingga mencari suaka ke Thaif yang ditolak. Akhirnya pemimpin suku Khuza’ah yang berani memberikan suaka.
Saat Abu Lahab mati, pemimpin Bani Hasyim dipegang Abbas bin Abdul Muthalib. Nabi mendapatkan lagi perlindungan. Hingga datanglah orang-orang Yatsrib yang menawarkan perlindungan dan hijrah ke negerinya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto