PWMU.CO – Mengurus Aisyiyah harus benar-benar tuntas. Perempuan Aisyiyah bukan sosok yang sibuk mencari pahala sebanyak-banyaknya akan tetapi mengabaikan masalah kemanusiaan. Bukan pula sosok yang sibuk mencari keselamatan diri tetapi membiarkan orang lain hancur. Berorganisasi harus sukses seratus persen.
Hal itu disampaikan Dra Hj Rukmini Amar, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur pada kegiatan Sekolah Kader yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Jember via Zoom, Sabtu (26/12/2020)
Tokoh Aisyiyah kelahiran Sumenep, Madura yang memberikan materi Dakwah Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan itu mengatakan, gerakan Aisyiyah tidak hanya berpikir untuk Aisyiyah sendiri. Akan tetapi lebih luas dari itu.
“Gerakan Aisyiyah itu untuk negeri Indonesia. Di tengah marak dan mudahnya kita mendapat informasi, abaikan informasi-informasi yang tidak berasal dari organisasi,” tandas Rukmini.
Aisyiyah Gerakan Mencerahkan
Perempuan yang sedang menempuh pendidikan S2 di usia 61 tahun ini menambahkan, gerakan Aisyiyah adalah gerakan yang mencerahkan. Sebagaimana hadits Nabi SAW yang mengatakan, “Hendaklah kalian bersifat memudahkan dan jangan menyulitkan, hendaklah kalian menyampaikan kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.“
Menurut Rukmini, Muhammadiyah mempunyai cara yang baik saat akan menyampaikan aspirasi. Tidak dengan kekuatan otot akan tetapi dengan diskusi dan lobi-lobi.
“Sebagaimana disebutkan dalam an-Nahl ayat 125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” tuturnya.
Dakwah pencerahan menurutnya mempunyai tiga unsur yaitu kecerdasan, benar dan positif dalam menghadapi masalah, dan memiliki nalar yang sehat. Sehingga menurutnya, dalam mengurus Aisyiyah, kader harus memahami ilmu komunikasi.
“Aisyiyah harus mampu menempatkan diri kapan harus berbicara ma’rufah, layyinah, sadida, baligha, maisura dan karima,” terangnya.
Dakwah pencerahan itu menurutnya juga harus mengandung nilai-nilai islam berkemajuan, Islam Wasathiyah (moderat) tidak extrem dan radikal, tidak liberal. Wasathiyah: tawasut (tengahan), tawazun (seimbang), I’tidal (adil/lurus), tasamuh (toleran), musaawah (egaliter), syura (musyawarah), islah (perbaikan/reformasi/mencari keadaan lebih baik), aulaawiyah (mendahulukan/memprioritaskan), tathawwur wa ibtikar (dinamis), tahaddur (memperbaiki).
“Memiliki prinsip yang kuat, tetapi luwes dalam penyampaian, penuh kedamaian, menghargai perbedaan, menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi,” ucap Rukmini.
Dakwah Pencerahan Itu Membebaskan
Dakwah pencerahan juga harus mampu menjawab problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural. Menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan.
“Dakwah pencerahan bukan semata-mata tabligh (menyampaikan ajaran), melainkan ikhraj wa tahrir (membebaskan) manusia dari segala bentuk keyakinan palsu yang menyelimuti hati dan pikirannya. Jadi tidak hanya meyelamatkan aqidah, tapi membangun sistem keyakinan yang benar, kokoh, dan terbebas dari segala bentuk kemusyrikan,” ujarnya.
Setelah mad’u mengalami pembebasan dan perubahan, dakwah pencerahan mengembangkan program pemberdayaan dengan mengoptimalkan segala potensi mad’u untuk meraih hidup sukses. Yaitu sukses studi, berorganisasi, berprofesi, hidup sebagai suami istri dan sukses berakhlak islami.
“Dakwah pencerahan tidak sekedar tabligh, melainkan diikuti penyadaran (tau’iyah) dan peningkatan kualitas hidup umat,” tandas Rukmini. (*)
Kontributor Humaiyah Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni