Gejala Otoritarianisme di Tahun Baru oleh Muhammad Alifuddin, Sekretaris PWM Sulawesi Tenggara
PWMU.CO-Peristiwa hukum dan sosial sepanjang tahun 2020 bisa menjadi indikator karakter penguasa. Gejala Otoritarianisme. Misalnya, pengesahan UU Omnibus Law yang oleh pakar hukum dilihat sebagai produk bermasalah. Bahkan saran Muhammadiyah dan NU tak juga digubris.
Imbas dari protes Omnibus Law ditangkapnya sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan lainnya.
Pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mendapatkan banyak reaksi keras dari kalangan akademisi, juga dari Muhammadiyah dan NU menyebabkan DPR menunda pembahasannya. Ini juga produk huum bermasalah.
Lebih mengerikan lagi dalam kehidupan berbangsa ini ada gejala kebangkitan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan masalah sosial. Contoh, tertembaknya pendeta Yeremia di Intan Jaya Papua. Peristiwa lain tertembaknya 6 orang laskar FPI yang mengawal Habib Rizieq Shihab.
Dua perkara itu cukup buat mengonfirmasi, jika negeri ini sedang berada di bawah bayang-bayang ancaman kekerasan atas nama stabilitas politik. Beruntung kematian pendeta Yeremia memantik empati Jokowi untuk membentuk Tim Pencari Fakta. Namun tidak demikian dengan tragedi KM 50 tol Cikampek. Presiden sama sekali tidak tertarik untuk membentuk TPF atas tewasnya enam orang anak manusia oleh aparat hukum.
Isu Sensi
Dunia media massa juga tak luput dari target. Acara talkshow ILC TVOne yang banyak penggemarnya, akhirnya tutup pada tanggal 15 Desember 2020. Karni Ilyas, pengasuh acara ini mengumumkan penutupan acara itu tanpa penjelasan sebabnya. Padahal dialog para tokoh dan pakar di ILC setidaknya memberikan pemcerahan dan mendidik masyarakat untuk terbuka melihat perbedaan.
Spekulasi analisis pun menabak-nebak karena tak ada penjelasan resminya. Ada kekuatan yang memaksa untuk menghentikan acara tersebut. Dugaan itu berdasar peristiwa sebelumnya tiap membahas topik politik yang sexy dan sensi lantas tiba-tiba batal tayang.
Akhir tahun ditutup dengan pelarangan FPI dengan SKB enam menteri untuk menamatkan cerita organisasi yang dianggap musuh negara. Bintang, kegiatan, dan simbol-simbol organisasinya dikerangkeng.
Setelah itu muncul ancaman baru untuk kerja wartawan dari sebuah Maklumat Kapolri Nomor: Mak/1/1/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI.
Ada penjelasan di situ masyarakat dilarang mengunggah kegiatan dan simbol FPI. Jika melanggar polisi bisa mengambil tindakan.
Rentetan kejadian di atas, merupakan strain baru dari mutasi wabah otoritarianisme. Fenomena tersebut merupakan reinkarnasi dari paradigma kekuasaan Orde Baru.
Otoritarianisme merupakan kanker bagi demokrasi. Praktik pembungkaman, menegasikan perbedaan pendapat, pembredelan hingga menghalalkan nyawa dengan alasan menjaga stabilitas. Jika demikian, salahkah saya sebagai orang awam mengatakan, tahun baruku menjadi tahun duka cita, karena kerangkeng besi mungkin saja telah disediakan bagi para pengguna akal sehat. (*)
Kendari, 2 Januari 2021.
Editor Sugeng Purwanto