NKRI Pasca-Matinya Demokrasi AS kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pengurus Pendidikan Tinggi Dakwah islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Sebagai konsep, demokrasi semakin terbukti kadaluwarsa. Model demokrasi terbaik, yaitu demokrasi AS, sudah sekarat beberapa tahun terakhir dan kematiannya diresmikan Rabu (6/1/2021) kemarin saat pendukung Trump menyerbu Gedung Parlemen AS saat anggota Kongres dalam proses mensertifikasi kemenangan Joe Biden-Kemala Harris sebagai president and vice president elect.
Penyerbuan itu sebagian besar dipicu oleh pidato Presiden Trump yang tetap saja tidak mengakui kemenangan Biden. Kini sebagian anggota Kongres sedang mempertimbangkan proses pemecatan Trump sebagai Presiden tanpa menunggu saat pergantian kekuasaan pada 20 Januari 2021.
Sungguh mengherankan jika banyak negara, termasuk Indonesia, masih percaya dengan demokrasi yang oleh beberapa tokoh dikatakan sudah menjadi kesepakatan nasional. Ini dipastikan melalui serangkaian amandemen atas UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Klaim kesepakatan sepihak karena hanya kesepakatan para elite partai-partai politik belaka. Jika Dr Zulkifli Ekomei menyebut UUD 2002 ini sebagai UUD palsu, maka amandemen ini sesungguhnya adalah sebuah kudeta komstitusional.
Demokrasi Selesai di Bilik Suara
Kebusukan demokrasi—oleh William Bloom disebut sebagai ekspor AS yang paling mematikan (2013)—semakin menebar bau ke semua penjuru. Dalam praktik, bahkan di AS sekalipun, demokrasi adalah sebuah proses monopolisasi pasar politik oleh partai politik.
Selain parpol, warga negara tidak boleh berpolitik. Tugasnya selesai di bilik suara. Akhirnya terbentuklah sebuah kartel politik yang dikuasai oleh elite partai politik. Fungsi-fungsi pengawasan agar terjadi check and balances lumpuh, bahkan media pun dikuasai oleh elite partai politik.
Siapapun yang berbeda pendapat dengan penguasa dengan mudah disebut tukang bikin gaduh, radikal, bahkan ekstrimis yang bisa ditangkap kapan saja dan dieliminasi kapan saja. Itulah yang sedang terjadi di Republik ini.
Para pendiri Republik malalui UUD 45 sudah membayangkan mengelola Negara RI tanpa partai politik, tanpa pemilu. Ide pengolaan negara melalui parpol muncul melalui pemikiran Bung Hatta melalui Maklumat Wakil Presiden no X/1945.
UUD 45 menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan Golongan dan Utusan Daerah.
Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris MPR dan mempertanggungjawabkan mandatnya pada MPR. Setelah amandemen, kini tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang menjalankan fungsi awal MPR. Presiden tidak lagi mandataris MPR, tapi hanya petugas partai.
Noam Chomski mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini bukan al-Qaedah atau ISIS, tapi Partai Republik AS. Di bawah kepresidenan Trump, Partai Republik AS mendorong AS untuk keluar dari kesepakatan Perubahan Iklim dan Pembatasan Senjata Nuklir.
Pandemi Covid-19 ini sudah cukup mengancam umat manusia, kini seluruh umat manusia sebagai spesies paling terorganisasi terancam kepunahan akibat perubahan iklim dan perang nuklir.
Keistimewaan Parpol Harus Diakhiri
Di Indonesia, oligarki parpol yang menguasai seluruh lini pemerintahan kini sedang membangun narasi bahwa organisasi yang mengancam Pancasila dan NKRI adalah organisasi massa semacam HTI dan FPI. Wacana ini tidak saja ilusif tapi sekaligus menyesatkan.
Pancasila sudah tidak dipraktikkan lagi sejak reformasi, dilumpuhkan oleh paham sekulerisme radikal, menjadikan Pancasila sebagai musuh agama. Bahkan ada parpol yang mencoba mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila tapi dibiarkan saja oleh aparat.
Satu-satunya cara untuk menyelamatakan NKRI ini adalah kembali ke UUD 45 sesuai Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Kekuasaan politik tidak boleh lagi dimonopoli oleh partai politik. Setiap warga negara dewasa berhak berpolitik (melalui kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat), baik melalui parpol maupun bukan.
Tugas politik warga tidak boleh berakhir di bilik suara. Keistimewaan parpol harus segera diakhiri. Kekuasan harus dilihat sebagai amanah, bukan ditransaksikan dalam pemilu melalui parpol. Era demokrasi berbasis parpol perlu segera diakhiri. (*)
Rosyid College of Arts
Gunung Anyar, Surabaya 8 Januari 2021
Editor Mohammad Nurfatoni.