Pro Kontra Kader Muhammadiyah Jadi Komisaris BUMN, kolom ditulis oleh Prima Mati Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – Pro kontra kader Muhammadiyah jadi komisaris BUMN setelah Cak Nanto—panggilan akrab Ketua Umum Pimpnan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto resmi mengemban amanah sebagai Komisaris Utama PT Istaka Karya.
Kiprah Cak Nanto ini menyusul kader Muhammadiyah sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Najih Prasetyo sebagai komisaris PT Angkasa Pura Hotel, anak perusahaan PT Angkasa Pura BUMN pengelola bandara.
Keberadaan kedua kader Muhammadiyah di BUMN menyulut pro dan kontra mengingat kedua organisasi otonom persyarikatan yang berisi kader-kader muda dianggap “takluk” pada pemerintah.
Busyro Muqaddas salah satu Ketua PP Muhammadiyah bahkan menyentil, jangan sampai IMM kehilangan daya kritis setelah ketua umumnya menjabat komisaris pada anak perusahaan BUMN.
PT Istaka Karya bergerak dalam bidang konstruksi sebagaimana PT Adhi Karya, PT Waskita Karya, dan sebagainya. Sedangkan PT Angkasa Pura Hotel—dari namanya dapat dikenali beroperasi pada sektor hospitality, hotel, restoran, dan penginapan.
Jabatan komisaris hakikatnya tidak terlalu jauh dengan kapasitas Cak Nanto maupun Mas Najih yang berlatar belakang aktivis. Komisaris dalam sebuah perusahaan berposisi sebagai wakil dari para pemegang saham yang tidak terlibat langsung dalam kepengurusan perusahaan sebagaimana direksi, manajer dan posisi profesional lainnya. Latar belakang sebagai aktivis dan organisatoris cocok menjalankan fungsi komisaris yang lebih banyak pada fungsi pengawasan.
Penunjukan kader-kader Muhammadiyah sebagai komisaris BUMN sebagai peluang dan tantangan tersendiri bahkan baru. Jamak diketahui jalur “karir” para aktivis Muhammadiyah umumnya tidak jauh dari jabatan atau posisi-posisi politik antara lain anggota DPR, DPRD, menteri, duta besar, bupati, walikota, gubernur, KPU, Bawaslu, dan sebagainya.
Fungsi BUMN
BUMN sebagai entitas usaha milik negara sesungguhnya juga “alat politik” khususnya dalam sektor ekonomi yang keberadaannya menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
BUMN selain menjalankan misi-misi ekonomi dengan kewajiban menyetor dividen sebagai pemasukan bagi negara juga memikul tanggung jawab sosial (social responsbility) seperti menyalurkan subsidi BBM oleh Pertamina, menyalurkan kredit usaha rakyat oleh BRI, menyalurkan subsidi listrik oleh PLN, dan lain-lain.
Tanggung jawab sosial lainnya adalah penyediaan lapangan kerja sebagai amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Kehadiran BUMN menyediakan program padat karya antara lain dilakukan oleh BUMN perkebunan, pekerjaan umumm dan pertambangan yang adakalanya menghindari penggunaan mesin-mesin atau mekanisasi berlebihan demi penyerapan tenaga kerja lebih banyak.
Dengan memperhatikan fungsi BUMN sebagai alat ekonomi dan alat sosial, keberadaan BUMN tidak jauh berbeda dengan keberadaan amal-amal usaha dalam persyarikatan Muhammadiyah. Tetapi ada perbedaan mendasar antara BUMN dan amal-amal usaha Muhammadiyah dalam proses kelahirannya atau kehadiran dan permodalannya.
Sebagian besar BUMN lahir dari proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada masa demokrasi terpimpin antara tahun 1957-1963. Sebagian kecil BUMN hadir atas inisiatif pemerintah seperti Semen Gresik yang diusulkan Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta.
Pada masa revolusi lahir cikal bakal PT Garuda Indonesia dengan bermodalkan dua pesawat RI-001 dan RI-002 hasil sumbangan dan penjualan surat utang negara sebagian besar pada rakyat Aceh dan Sumatera Barat.
Pada masa Orde Baru lahir banyak BUMN untuk mendukung program pembangunan seperti PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara yang sekarang jadi PT Dirgantara Indonesia dan sebagainya.
Sebagai badan usaha, BUMN memiliki fungsi strategis untuk memenangkan persaingan usaha dengan pihak swasta untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tercapainya cita-cita nasional masyarakat adil dan makmur.
Tetapi di tengah peran bisnisnya yang serba difasilitasi negara tidak jarang BUMN menghadapi sejumlah masalah mulai dari inefisiensi hingga korupsi. Paling hangat bahkan cenderung panas yaitu masalah penyalahgunaan dana nasabah BUMN asuransi oleh oknum-oknum yang ditengarai bermain dalam praktik goreng-menggoreng saham.
Ada juga BUMN yang selama delapan bulan tidak mampu membayar gaji dengan alasan sedang restrukturisasi dan perbaikan manajemen. Dalam praktiknya sejumlah BUMN belum seideal sebagaimana dicita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tulang punggung utama ekonomi bangsa bersama gerakan koperasi.
Isu lainnya yang tidak kalah santer yaitu dijadikannya BUMN sebagai “ATM” oleh oknum-oknum baik di legislatif maupun eksekutif. Beragam kasus di atas menjadi tantangan bagi kader persyarikatan yang diberi amanah di BUMN.
Amanah Kader Muhammadiyah
Dua BUMN tempat kader-kader Muhammadiyah belum setenar BUMN-BUMN papan atas seperti PT Telkom (Tbk), PT Semen Indonesia (Tbk), PT Kereta Api Indonesia, PT Pertamina atau PT PLN justru menjadi tantangan tersendiri dan sara berlatih membenahi BUMN kecil menjadi sehat.
Tolok ukur kinerja badan usaha lebih jelas daripada pemerintahan yang ukurannya serba kualitatif bahkan politis. Ukuran sukses BUMN sebagai entitas usaha tidak lepas dari kemampuannya mencatatkan laba atau keuntungan melalui praktik bisnis yang benar dan wajar.
Sukses tidaknya kiprah kader Muhammadiyah di BUMN belum bisa dinilai dalam sehari dua hari atau sebulan dua bulan. Tetapi menunggu satu tahun takwim hasil kinerja perusahaan yang tersaji dalam laporan keuangan.
Yang bisa dilakukan segenap warga Muhammadiyah saat ini adalah mendoakan agar mereka sukses menjalankan amanah. Ya! Jabatan adalah amanah atau tanggung jawab, bukan sebagai hadiah sebagai ajang bersenang-senang atau membanggakan diri.
Ucapan-ucapan selamat dan sukses pada Cak Nanto dan Mas Najih kurang pas diberikan saat ini karena belum bisa dinilai hasil kerja mereka.
Nasihat kritis Pak Busyro Muqoddas agar IMM tidak kehilangan daya kritis patut dicamkan dengan membuktikan bahwa kader-kader muda Muhammadiyah tidak bisa dibungkam dengan kursi jabatan tertentu.
Daya kritis Cak Nanto dan Mas Najih yang sudah “masuk” BUMN berbeda dengan para kader-kader Pemuda Muhammadiyah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Cak Nanto dan Mas Najih wajib kritis pada tata kelola manajemen BUMN tempat keduanya menjalankan amanah agar BUMN-BUMN tempat keduanya bertugas benar-benar berjalan pada rel yang benar.
Semoga di tangan kader-kader Muhammadiyah BUMN benar-benar menjadi Badan Usaha Milik Negara, ‘Badan Usaha Menguntungkan Negar’a, bukan ‘Badan Usaha Membebani Negara’.
Sukses keduanya akan menjadi pintu bagi kader-keder dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dipercaya membenahi BUMN sebagai jaminan akan integritas dan kapasitas kader-kader Muhammadiyah, bukan sekedar hadiah jabatan bagian dari bagi-bagi kekuasaan.
Kader-kader Muhammadiyah pantang mengemis jabatan, tetapi jika dilibatkan untuk melakukan pembenahan pantang untuk dihalangi nalar kritis dan sikap profesionalnya.
Selamat mengemban amanah Cak Nanto dan Mas Najih, semoga selamat bisa menjadi jawara, bukan sebagai pelengkap penderita yang dalam istilah Jawa “ora uman nangkane mung gupak pulute”m tidak menikmati buahnya namun ikut kena getahnya.
Wallahu’alam bishshawab (*)
Editor Mohammad Nurfatoni