PWMU.CO – Bencana Bertubi-tubi dan Lima Kesadaran Spiritual. Belum selesai menghadapi pagebluk Covid-19 yang hampir setahun memporakporadakan segi-segi kehidupan bangsa ini, kini kita kembali diuji oleh berbagai bencana alam dan non-alam.
Ada longsor di Kampung Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, yang terjadi pada pada 9-10 Januari 2021. Juga jatuhnya Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu, 9 Januari 2021.
Ada banjir besar yang nyaris merendam seluruh wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan sejak 15 Januari 2021. Lalu dua gempa berkekuatan cukup besar yang mengguncang daerah Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, pada 14-15 Januai 2021.
Terakhir meletusnya Gunung Merapi dan Gunung Semeru pada Sabtu (16/1/2020).
Lima Cara Membaca Bencana Bertubi-tubi
Bagaimana sikap kita sebagai umat beragama dalam memahami bencana-bencana itu? Mari kita resapi firman Allah dalam al-Hadid 22-:23
“Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidal pula) pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap yang diberikannya kepada kamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Bagi yang beriman, firman Allah di atas sangat penting untuk mengambil sikap dan hikmah di balik berbagai bencana yang menimpa kita. Pertama, tidak ada satu pun peristiwa di alam ini yang terlepas dari kendali kekuasaan Allah.
Mulai dari penciptaan alam semesta dan segala isinya; keserasian dan keteraturan jagad raya; keindahan dan keunikan alam raya; keanekaragaman makhluk hidup; silih bergantinya siang dan malam adalah diantara tanda-tanda kekuasaannya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air.
Lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (al-Baqarah 164).
Demikian pula fenomena dan peristiwa-peristiwanya, yang terjadi berulang-kali atau yang hanya terjadi sekali, ataupun bencana yang menimpa manusia dan alam semesta adalah bagian dari kekuasaan Allah.
Karena bencana ada dalam genggaman Allah, maka bencana menjadi alat yang efektif untuk mempertanyakan kembali hubungan spiritual kita dengan Allah. Jangan-jangan kita sudah tidak lagi mesra dengan-Nya, sehingga, mengutip Ebiet G. Ade, mungkin Tuhan sudah bosan melihat tingkah kita …
Ladang Pembuktian Rahmatan lil Alamin
Kedua, sebagai tanda kekuasaan Allah, bencana memiliki arti khusus bagi kaum beriman; terutama bagi yang bisa “membacanya”. Di antara bacaan lain tentang bencana itu adalah sebagai pengingat atas peristiwa besar bernama kiamat.
Selain mengingatkan akan nyatanya kedatangan kiamat besar, bencana di atas juga menyadarkan kepada kita bahwa kedatangan kiamat kecil (maut) memang tidak ada yang bisa menduga.
Apakah saat bayi; remaja; dewasa; atau saat tua! Juga tidak dapat disangka datang di tempat mana? Di pegunungan atau pantai? Di jalan raya atau di pesawat? Di kota besar atau di pedalaman? Atau bahkan di pembaringan? Kematian datang kapan dan di mana pun ketika saatnya telah tiba.
“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidal dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (al-A’raf 34)
Ketiga, Allah hendak menguji bagaimana reaksi dan respon kita terhadap apapun yang diberikan oleh Allah. Apakah tetap bersyukur ketika mendapat kesenangan ataukah masih sabar saat mendapat musibah. Atau sebaliknya apakah bergembira sampai lupa daratan ketika mendapat kesenangan atau sedih murung berselimut durja saat mendapat musibah.
Keempat, bencana itu adalah ladang pembuktiaan sejauh mana rasa solidaritas kemanusiaan kita. Masihkah kita bisa meneteskan air mata duka ketika berbagai bencana itu menimpa bangsa kita?
Masihkah terketuk hati kita untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi upaya meringankan duka mereka yang kelaparan, kedinginan, dan kesakitan?
Kelima, bencana itu menjadi bahan introspeksi, tentang bagaimana kita secara politik-ekonomi-teknologi mengelola alam. Apakah semena-mena dan eksploitatif? Jauh dari sikap ramah lingkungan dan rahmatan lil alamin?
Soal itu Allah telah menyindirnya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum 41).
Jika kita mampu membaca, bencana akan menjadi ladang amal kebajikan. Sebaliknya jika tidak, maka bencana tak punya makna apa-apa bagi pembangunan spiritualitas kita. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni