Monopoli Politikus Kuasai Hak Rakyat oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Awal milenium ketiga ini, kita melihat satu fenomena yang bisa disebut sebagai over-institutionalization dalam kehidupan bernegara. Para pendiri bangsa telah memilih republik sebagai bentuk negara sebagai institusi besar.
Republik ini sejak Orde Baru menyaksikan kebangkitan berbagai institusi yang penting, termasuk partai politik yang sebenarnya tidak pernah dikenal oleh UUD 1945 sebelum diamandemen selama 1998-2002.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, institusi sekolah tumbuh makin memonopoli sistem pendidikan dan secara perlahan tapi pasti memarginalkan peran keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda.
Ivan Illich menyebut perkembangan ini sebagai monopoli radikal persekolahan atas pendidikan. Pendekatan liberal-kapitalistik yang diperkenalkan Wijoyo Nitisastro dkk mendorong persekolahan menjadi industri pendidikan dengan kapitalisasi yang makin meraksasa.
Persekolahan sekaligus menjadi instrumen teknokratik untuk menyediakan tenaga kerja trampil yang dibutuhkan oleh investasi besar-besaran terutama oleh asing.
Monopoli Kesehatan
Kesehatan juga mengalami nasib yang hampir sama. Sistem pelayanan kesehatan, seperti pendidikan, menjadi semakin berorientasi pasokan dan kuratif dengan rumah sakit, puskesmas memonopoli layanan kesehatan.
Pendekatan preventif dan promotif yang lebih efisien dengan menguatkan keluarga dan masyarakat tidak memperoleh perhatian yang seimbang. Anggaran kesehatan makin naik, tapi derajad kesehatan masyarakat tidak meningkat secara berarti.
Di pasar politik, kita menyaksikan peran partai politik yang makin memonopoli secara radikal sistem politik nasional. Tugas politik warga negara hanya ada saat pemilu di bilik-bilik suara. Setelah keluar dari bilik suara, warga negara praktis tidak bisa atau boleh berpolitik secara efektif.
Di bilik suara itu hak politik warga diserahkan hampir secara total ke partai-partai politik. Unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah disebut parlemen jalanan, tukang bikin ribut dan gaduh, atau paling jelek dituduh radikal, ekstremis, lalu teroris.
Partai politik ini sebuah institusi yang ganjil. Dari segi struktur organisasi, tidak banyak berbeda dengan organisasi massa. Tapi perkumpulan ini bisa disebut sebagai partai politik asal dibentuk sesuai dengan UU Politik yang mengatur tentang partai politik.
Secara prinsip, partai politik tidak berbeda secara esensial dengan organisasi massa. Namun dengan menyebut organisasi itu sebagai partai politik, peran dan fungsinya melonjak secara eksponensial. Partai politik berwenang mengajukan anggota-anggotanya menjadi anggota parlemen, bupati, walikota, gubernur, dan presiden di pusat-pusat kekuasaan. Calon independen, kecuali capres, dari jalur non-partai, sangat sulit menduduki jabatan-jabatan politik tersebut.
Partai Politik Sama
Beda partai politik dengan partai politik lain tidak didasarkan pada perbedaan ideologi. Golkar misalnya, akhirnya pecah menjadi Golkar, Demokrat, Nasional Demokrat, Hanura, PKPI. PPP akhirnya pecah menjadi PPP, PKB, PAN, dan PKS.
Perbedaannya hanya pada logo dan sosok ketua partainya. Lain-lainnya sami mawon. Namun jumlah partai politik yang cukup banyak ini tidak mengurangi monopoli politik oleh partai politik. Koalisi pelangi yang terbentuk menjadikan politik republik ini praktis sudah dimonopoli secara radikal oleh partai politik di bawah pimpinan PDIP. Praktiknya seperti Partai Komunis China sebagai partai tunggal. Satu suara.
PKS dan Demokrat mungkin berusaha melakukan check and balances, namun keberadaannya nyaris sama saja dengan ketidakberadaannya alias wujuduhu ka adamihi.
Memang kekuatan sebuah negara tidak cuma ditentukan oleh kekayaan sumber daya alamnya, tapi juga oleh kecanggihan institusinya. Over-institutionalization politik oleh partai politik mewujud dalam oligarki partai politik yang memonopoli secara radikal kehidupan politik.
Yang kita saksikan sekarang di republik ini adalah sebuah mutasi monopoli yang makin berbahaya bagi publik di mana rancangan institusi publik makin buruk, memonopoli narasi, mendorong korupsi dan maladministrasi publik di mana banyak investasi publik tidak value for money tapi hanya value for monkey. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya, 23/01/2021
Editor Sugeng Purwanto