Pak AR larang karangan bunga bagi yang wafat tercantum dalam tulisan berjudul “Pedoman Menghadapi Orang yang Akan Meninggal” di buku Biografi Pak AR.
PWMU.CO – Menarik membaca buku Biografi Pak AR karangan Sukriyanto AR yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017.
Menarik, karena buku itu ditulis oleh anak Pak AR sendiri. Dalam pengantanya, Sukriyanto menceritakan bahwa ia menulisnya lebih dari lima tahun. Luar biasa!
“Walaupun hampir setiap hari penulis bertemu dan bergaul dengan Pak AR, tetapi penulis tetap perlu membaca tulisan-tulisan Pak AR sendiri, tulisan orang lain tentang Pak AR. Juga pengalaman dari sanak famili, khususnya dari kakak dan adik-adik penulis,” tulis Sukriyanto yang lahir 20 April 1946.
Dengan ditulis oleh orang terdekatnya, maka buku ini bisa mengungkapkan tentang Pak AR apa adanya. Buku setebal 336+XVI ini mampu memberikan gambaran tentang pemikiran dan tindakan Pak AR—dari yang serius sampai candaan; dari masalah berat, soal kristenisasi misalnya, hingga persoalan sehari-hari.
Maka jangan heran jika di dalam buku ini ditemukan pedoman tentang khitanan, tikar sembayang, hingga bagaimana menjalani ketika kaya atau miskin.
Pedoman Menghadapi Orang yang Akan Meninggal
Yang menarik, Pak AR juga memberikan pedoman bagaimana menghadapi orang yang akan meninggal dunia. Ada 10 pedoman yang disampaikan Pak AR, salah satunya—yang cukup mengagetkan saya—adalah soal memberikan karangan bunga bagi oang yang sudah wafat.
Menurut Pak AR, perbuatan itu itu bukan cara Nabi, melainkan cara Kristen atau Belanda. Berikut 10 pedoman yang diberikan Pak AR menghadapi orang yang (akan) meninggal:
- Kalau ada di antara keluarga sesama anggota Muhammadiyah kebetulan menderita sakit dan mungkin menghadapi maut, maka hadapilah dengan baik-baik, antara lain:
Kalau orang itu masih dapat diajak berbicara yang jelas dan dapat berpikir baik-baik, maka gembirakanlah dan sadarkanlah bahwa al-maut itu bukan bahaya, bahkan merupakan kepastian bagi setiap kita yang hidup.
Mati itu berarti suatu jalan untuk kita menghadap Allah yang kita cintai. Maka menghadapi maut tidak perlu takut meskipun kita tidak mengharap-harap. - Ajarilah orang yang akan meninggal untuk mengerjakan wasiat, terutama yang mengenai harta benda, sehingga sepeninggalnya sudah tidak ada lagi perebutan antara sesama ahli warisnya.
- Ajarilah orang yang sudah akan meninggal itu untuk berdzikir dengan kalimat, “La ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah”.
Kalau mengucap demikian itu sudah sukar, maka cukuplah dengan “La-ilaha-illallah”.
Kalau itupun sudah sukar, cukup dengan “Allah”. Kalau sudah mengucapkan “Laa ilaha illallah” atau “Allah”, maka jangan diajak bicara-bicara lain dan tidak usah di-talqin-kan/diajar membaca kalimat thayyibah lagi. - Sementara itu, kalau sudah kritis, tutupkanlah matanya, mulutnya. Pelukkanlah kedua tangannya seperti orang shalat (bersedekap), tangan kiri di bawah dan yang kanan di atas.
- Kalau benar-benar sudah hilang nyawanya, inna lillahi wa inna ilaihi radji’un. Kita ini kepunyaan Allah, kepada Allahlah kita kembali.
- Cepat-cepatkanlah untuk pelayanan selanjutnya, kemudian memandikan, mengkhafani, menyalatkan, dan menguburkannya.
Bagaimana cara memandikannya, agar memperhatikan Kitabul Janazah yang sudah diputuskan oleh Majelis Tarjih. Di dalam Putusan Tarjih itu telah dimuatkan ayat-ayat Quran dan Hadist Nabi yang sahih. - Acara berpayah-payah mengadakan makan minum di waktu orang sedang kematian sehingga tampak seperti berpesta-pesta adalah bukan tindakan Rasulullah SAW, dan juga bukan tindakan dari sahabat-sahabatnya.
- Memberikan karangan bunga kepada orang yang kematian bukan cara-cara Nabi, para sahabat, dan para imam-imam yang empat itu. Maka, orang Muhammadiyah tidak usah seperti itu. Tak usahlah orang Muhammadiyah turut-turut seperti itu.
Pada pengajian-pengajian di waktu ada orang kematian hendaklah yang demikian itu selalu dijelaskan, sehingga orang umum tahu akan yang demikian itu. Supaya masyarakat tidak lagi membiasakan cara-cara model Kristen atau model Belanda itu, kecuali bagi mereka yang memang kebelanda-belandaan. - Membakar kemenyan di dekat jenazah, kalau sudah dapat ditinggalkan, seyogyanya ditinggalkan.
- Upacara-upacara yang macam-macam, seperti berhenti tiga kali di waktu keluar dari rumah, anak-anak dan cucu atau suami ataupun istri, supaya mbrobos (lewat) di bawah keranda jenazah, semuanya itu lebih baik ditinggalkan saja, karena agama Islam tidak menuntunkannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni