Jurnalisme Solusi, Hindari Kegaduhan Medsos oleh Sirikit Syah, jurnalis senior dan pakar komunikasi.
PWMU.CO– Pers bisa mati, tetapi jurnalisme akan terus hidup. Apa pun mediumnya. Memperingati Hari Pers Nasional Indonesia, 9 Februari, inilah gagasan mendasar yang ingin saya bagikan kepada rekan jurnalis dan para konsumen berita.
Pers berasal dari kata Belanda. Inggris the press. Artinya sama. Tekan. Cetak. Lalu maknanya berkembang menjadi mesin cetak, informasi yang dicetak. Media cetak seperti koran, majalah.
Berita di radio dan televisi yang sejatinya bukan tergolong pers, media cetak, kemudian disebut pers juga. Khusus untuk program beritanya, 20 persen dari total jam tayang. Kecuali TV berita.
Karena program berita tergolong pers, para jurnalis radio, televisi, dan online tergabung di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), kemudian AJI (Aliansi Jurnalis Independen), sebelum ada IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia). Belakangan ini ada AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) tempat bernaung pengelola media online. Mereka juga di bawah pembinaan dan pengawasan Dewan Pers.
Jurnalisme, sementara itu, adalah kegiatan pencatatan, seperti menulis buku harian. Catatan yang ditulis berkala dan rutin disebut karya jurnalistik. Pers adalah salah satu mediumnya, yang sekarang dalam kondisi hampir mati.
Kematian dunia media cetak bukan hanya karena kemajuan teknologi internet, tetapi juga karena kertas dan hutan makin habis untuk industri dan alih fungsi lahan jadi kebun sawit, pabrik, dan perumahan.
Jurnalisme, sebaliknya, akan terus hidup, karena menjadi kebutuhan manusia untuk mencatat, mengingat, menyampaikan, mencari tahu. Bila kertas tak ada lagi dengan runtuhnya media cetak, jurnalisme menggunakan medium yang baru: radio, televisi. Kini media online atau siber.
Jurnalisme Mencerahkan
Persoalannya sekarang, jurnalisme macam apa yang dibutuhkan oleh masyarakat? Saya kira jawabannya: jurnalisme yang bisa membuat orang tercerahkan dan menemukan solusi bagi hidupnya.
Di Amerika Serikat sedang digalakkan di kelas-kelas jurnalistik dan ilmu komunikasi, apa yang disebut sebagai Solutions Journalism. Jurnalisme yang menawarkan solusi. Ini diilhami terjadinya disrupsi di dunia media massa.
Media hanya menyajikan problem, konflik, bencana, perang, protes. Media tidak pernah menawarkan solusi atas permasalahan-permasalahan sosial yang disajikannya.
Memang pelajaran jurnalistik mengatakan: jurnalis tidak dituntut memberi solusi. Tugas jurnalis hanya melaporkan fakta. Tapi itu ajaran jurnalisme jadul alias kuno. Sama kunonya dengan adagium kalau kabar buruk, baru berita. Kabar baik bukan berita.
Konsep Peace Journalism yang diinisiasi Johan Galtung di tahun 1990-an menganjurkan jurnalis untuk tak hanya melaporkan (reporting), tetapi juga memungkinkan (enabling) dan turut berperan (participating).
Jurnalis damai tak boleh berkata ”Saya kan hanya meliput” (watchdog), tetapi dianjurkan untuk ”Saya berperan” (participant). Tampaknya, Solutions Journalism melanjutkan filosofi dan tradisi Peace Jurnalism, termasuk prinsip interdependent (saling ketergantungan), bukan independent.
Memang bila dipikir, apakah kerja jurnalistik bisa dilakukan secara independen? Setidaknya dibutuhkan narasumber, whistle blower, otoritas, pembaca, pemasang iklan yang menghidupi.
Alih-alih bersikukuh independent namun dalam cengkeraman pemasang iklan atau pemilik media (kapitalis), jurnalis sebaiknya jujur mengakui bahwa dia bekerja secara saling tergantung.
Inspiratif
Saat ini pers (dalam arti persuratkabaran) sekarat. Medium bagi aktivitas jurnalistik berubah dengan percepatan yang memaksa jurnalis beradaptasi. Tantangan jurnalisme kini makin berat: tak hanya dari media owner (kapitalis) dan penguasa, tetapi juga kepesatan perkembangan teknologi informasi.
Zaman sekarang tidak ada media owner semacam Katherine Graham (the Washington Post) yang meski tak setuju anak buahnya menginvestigasi skandal Watergate sendirian, karena media lain tak peduli, namun dia tidak berani turun ke lantai redaksi untuk meminta Pemred menghentikan investigasi.
Tantangan satunya adalah justru kecepatan teknologi, yang membuat karya jurnalistik terburu-buru dan kehilangan kedalamannya. Karena keterbatasan ruang atau durasi, seringkali media hanya melaporkan what happens and happens to whom (ada apa dan mengenai siapa).
Mereka mengabaikan mengapa dan bagaimana hal itu terjadi. Juga karena ketergesaan, berita rawan mengandung kesalahan, dari kesalahan bahasa hingga substansi.
Bila dilaksanakan dengan baik, laporan Jurnalisme Solusi dapat memberi ilham bagi masyarakat untuk mengatasi masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Para praktisi dan peneliti jurnalistik di Amerika Serikat menemukan berdasarkan pengalaman dan pengamatan mereka, bahwa kisah-kisah yang mengandung solusi membuat publik merasa dilibatkan.
Kisah-kisah semacam ini dapat mengubah pandangan mereka atas wacana publik. Setidaknya, ini mengusung semangat konstruktif.
Bukan Hanya Memuji
Jurnalisme Solusi melaporkan juga apa yang telah dikerjakan, apa yang berhasil. Dalam kasus pemerintahan Jokowi, misalnya, jurnalis harus mengakui juga keberhasilan-keberhasilannya, selain kegagalan-kegagalannya. Namun, memuji-muji seseorang bukan tergolong Solutions Journalism karena itu tidak memecahkan persoalan.
Mengapa Solution Journalism perlu? Karena sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme sudah seharusnya memberi keseimbangan. Di tengah masyarakat yang hilang kepercayaan pada tiga pilar lainnya: eksekutif, legislatif, yudikatif, media massa justru harus menunjukkan perannya.
Inilah tantangan jurnalisme sekarang. Tetap kritis sebagai watchdog, tetapi fair dengan mengakui keberhasilan. Tak hanya melaporkan masalah, tetapi juga gagasan untuk solusi. Bukan cuma mengumpat-umpat bikin gaduh di medsos seperti ulah para buzzer.
Jurnalisme tidak independent namun interdependent. Tidak hanya melapor tetapi juga berpartisipasi. Peran jurnalis dalam mengatasi masalah bangsa atau malah mendorong kehancuran, tak bisa dibantah atau dielakkan.
9 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto