Pembunuhan Politik dengan Racun oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Ustadz Maheer Ath Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Bareskrim Mabes Polri. Tentu alasan terbuka adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya. Konon masalah lambung.
Di antara kuasa hukumnya ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Komnas HAM berniat menyelidiki, akan tetapi publik tidak antusias untuk meresponsnya. Ada rasa tak percaya berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar FPI.
Meski ada dugaan, tetapi tidak bisa dipastikan Ustadz Maheer meninggal sebagai korban pembunuhan politik, apalagi akibat diracun. Memang ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Melibatkan tim kesehatan independen. Kematian dalam status tahanan patut dicurigai. Akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor keniscayaannya.
Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir di pesawat menuju Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan. Pollycarpus Budihari tersangka pembunuhan tersebut dihukum oleh pengadilan dengan penjara 14 tahun. Pada bulan Oktober 2020 Pollycarpus meninggal. Ia hanya fasilitator pembunuhan sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap.
Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua KPU Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggung jawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak. Karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan mendalam.
Tahanan Sakit
Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama. Di masa Kerajaan Romawi Kaisar maupun lawan-lawan politik biasa dibunuh dengan cara diracun. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara di antaranya dengan racun.
Janda Hitam dari Roma, julukan tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan Kaisar untuk membunuh yaitu Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan termasuk anggota keluarganya sendiri. Terang-terangan maupun diam-diam.
Alexei Novalny, tokoh oposisi Rusia, koma diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari Bandara Omsk. Kim Jong Nam, politikus Korea Utara, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala Lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Georgi Markov pengkritik pemerintah Bulgaria meninggal diracun zat risin 0,2 miligram. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun.
Agar tidak ada kecurigaan wafatnya Ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban dengan pembuktian kesehatan dan penanganan saat sakit. Sebelumnya publik dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat HRS dalam tahanan. Tabung oksigen selalu disiapkan. Kini pun konon sakit-sakitan.
Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi covid-19. Karenanya agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan di luar hukum dan melanggar HAM perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas.
Sebenarnya kasus Ustadz Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya personal. Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan sehingga menderita sakit parah. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran: orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?. Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele. (*)
Bandung, 11 Februari 2021
Editor Sugeng Purwanto