PWMU.CO– Surat Al Ikhlas menjelaskan tentang Allah mengenalkan diri kepada makhluknya sebagai ahad atau dzat tunggal yang menciptakan dan berkuasa atas seluruh alam semesta. Dalam praktiknya Allah dimaknai lain oleh manusia sehingga para nabi diutus untuk meluruskan pemaknaan yang menyimpang itu.
Demikian pendapat KH Sachroji Bisri saat membahas tafsir surat Al Ikhlas dalam Kajian Tafsir al Quran dengan pendekatan strategi taktik.
Menurut pengasuh Pesantren Hafidh Al Quran Serang, Banten, ini, sebenarnya manusia sudah mengenal dzat Allah dan sifat-sifatnya. Tetapi dalam perkembangannya tidak hanya Allah saja yang disembah.
Manusia, sambung dia, kemudian menciptakan berhala-berhala yang katanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Manusia memahami Allah menurut persangkaannya sendiri yang malah menyesatkan. Mereka menolak mengikuti cara para nabi karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
”Jadi Ahad itu lambang dzat Allah. Maka maknailah lambang itu sesuai dengan yang diajarkan nabi,” kata Bang Oji, panggilan akrab KH Sachroji Bisri. ”Tapi ada yang memaknai lain lambang itu yang tidak sesuai dengan nabi sehingga perlu diluruskan,” katanya.
Dia mencontohkan, orang Quraisy sudah mengenal Allah sebagai Tuhan. Namun untuk sampai kepada Allah menurut mereka perlu perantara berhala-berhala. Nabi Muhammad datang untuk mengembalikan lambang Ahad namun masyarakat menolak dan melawan Nabi karena sudah telanjur mapan dengan pemahaman syirik yang turun temurun itu.
”Sila pertama Pancasila semula itu lambang Ahad sebab Ketuhanan Yang Mahaesa awalnya menurut konsep Islam,” tutur murid KH Abdul Hamid yang punya jalur berguru kepada Syeikh Yasin Al Padangi ini. ”Tapi pemaknaan itu sekarang bisa berubah ketika ditafsiri oleh selain Islam,” sambung dia.
Dalam tafsir kenegaraan maka ajaran trinitas, paham trimurti, dan kepercayaan tahayul kepada danyang dimasukkan dalam pemaknaan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan demikian makna Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila itu menjadi kabur. Pemaknaannya tidak khusus lagi tapi menjadi umum asal percaya ketuhanan saja.
Wahdatul Wujud
Pemaknaan lambang Ahad yang berbelok dari asalnya, sambung Bang Oji lagi, contohnya lagi adalah ajaran tasawuf dari Ibnu Arabi yang populer disebut wahdatul wujud. Ibnu Arabi, ujar dia, tidak pernah menamakan ajarannya dengan wahdatul wujud. Tapi para pengikutnya yang belakangan memberikan nama itu sebagai akibat pemahaman yang melenceng dari pemikiran Sang Guru.
Menurut pemikiran Ibnu Arabi, dzat Allah yang tunggal itu dapat dikenali eksistensi dan sifat-sifatnya dari alam semesta. Konsep ini populer disebut tajalli atau menampakkan. Alam semesta yang besar, agung, memberikan rahmat, hidup, dan lainnya mewakili sifat-sifat Allah seperti akbar, adhim, rahman, rahim, hayat dan seterusnya.
Manusia adalah penciptaan Allah paling sempurna karena selain jasad dan nafs (jiwa) dalam diri manusia juga ada ruh yakni potensi akal budi yang membuat manusia bisa berpikir. Manusia juga punya fuad yakni hati nurani. Karena kelengkapan penciptaan inilah manusia disebut insan kamil alias manusia sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia ini dipahami sebagai tajalli dari Allah.
”Pemikiran inilah kemudian dipahami bahwa alam semesta atau manusia itu merupakan perwujudan dari Allah. Alam semesta adalah cermin Allah. Alam adalah makrokosmos dan Allah mikrokosmos yang sebenarnya adalah satu kesatuan,” tuturnya.
Pemahaman ini di Jawa dikenal dengan ajaran Syeikh Siti Jenar yang menganggap dalam dirinya ada Tuhan sehingga tidak perlu menjalankan syariat. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto