PWMU.CO – Dosen Australia: Unik, Manajemen Risiko Bencana Muhammadiyah. Dosen senior Humanitarian, Emergency And Disaster Management, Charles Darwin University, Australia— Jonatan Lassa—menyampaikan itu dalam diskuis online.
Dskusi bertema Membangun Pusdiklat MDMC: Catatan Ahli DRR digelar oleh Divisi Pendidikan dan Latihan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpnan Pusat Muhammadiyah, Jumat (26/2/2021) malam.
Jonatan Lassa mengawali materi dengan mengajak peserta untuk melihat penanganan bencana dalam konteks makro di Indonesia.
“Setelah hampir 20 tahun aktif di bidang Community Based Disaster Risk Management (CBDRM)/Managemen Resiko Bencana Berbasis Komunitas, saya melihat CBDRM yang berkembang di Indonesia sangat plural,” ungkapnya.
Dan Muhammadiyah, khususnya melalui MDMC, harus melihat nilai tambah dan tanding dari CBDRM yang dikembangkannya.
Jonatan Lassa menyampaikan, dirinya melihat CBDRM yang dikembangkan Muhammadiyah sebagai salah satu yang mempunyai nilai tambah cukup besar.
“Itu perlu diketahui, baik oleh Muhammadiyah sendiri maupun pemerintah, misalnya. CBDRM Muhammadiyah itu unik dan bisa menjadi dasar mobilisasi ketika terjadi bencana,” paparnya.
Menurutnya, keunikan CBDRM Muhammadiyah ialah adanya hubungan riil antara unit Muhammadiyah. Misalnya rumah sakit atau sekolah dengan komunitas masyarakat. Dia menlai, hal ini bisa menjadi dasar mengembangkan model pendidikan dan latihan kebencanaan.
“Untuk mengisi celah model training misalnya yang dikembangkan oleh pemerintah, serta yang sesuai konteks Indonesia,” kata Jonatan Lassa.
Empat Model Penanganan Bencana
Dia menjelaskan, dalam dunia kebencanaan Indonesia, saat ini ada berbagai model sistem penanganan bencana yang berjalan. “Di Indonesia secara tidak kita sadari ada sistem penanganan bencana yang tumpang tindih, yang orang tidak lihat secara umum. Jadi ada sistem yang paralel,” ungkapnya.
Jonatan Lassa memaparkan, hasil dari reformasi penanganan kebencanaan yang tertuang dalam UU No. 24 tahun 2007, Indonesia sedang menuju model penanganan bencana yang bersifat induktif.
“Kita sedang mencoba mencari, meraba-raba sistem yang khas dengan sistem otonomi daerah sekarang dan sampai saat ini kita tidak punya model pas yang mampu efektif mengurangi bencana,” tegasnya.
Ada empat model penanganan bencana, menurut Jonatan Lassa, yang berjalan paralel tanpa disadari. Pertama, model command control ala militer. Kedua adalah civil protection atau pertahanan sipil.
Ketiga model internasional dengan sistem klaster yang dilokalisasi dalam bentuk klaster nasional. “Dan keempat model Incident Command System (ICS) misalnya model Amerika, Australia,” ungkapnya.
Sementara, lanjutnya, kita belum punya waktu yang cukup untuk mendefinisikan model yang paling pas untuk Indonesia. Oleh karena itu, di amenyerankan, agae Muhammadiyah, khususnya MDMC, perlu membantu menemukan model untuk Indonesia yang pas itu seperti apa.
“MDMC perlu mengalokasikan tenaga untuk memikirkan juga hal yang sifatnya strategis ini karena tidak sempat dipikirkan oleh banyak pihak,” sarannya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Wakil Ketua MDMC PP Muhammadiyah Rahmawati Husein ini dihadiri oleh Ketua MDMC PP Muhammadiyah Budi Setiawan. Para relawan Muhammadiyah dari berbagai daerah di Indonesia juga mengikutinya.
Membuka diskusi, Budi Setiawan menyampaikan bahwa pada hakikatnya setiap kegiatan adalah sebagai wahana pelatihan. “Dan setiap pelatihan merupakan sarana peningkatan kapasitas,” katanya. (*)
Penulis Arif Jamali. Editor Mohammad Nurfatoni