PWMU.CO – Kiai-kiai Muhammadiyah banyak yang alumni Ponpes Tebuireng, demikian kata Muhadjir Effendy dalam Webinar #17 LP2PPM, Jumat (27/2/21).
Dalam kegiatan Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM) bertajuk “Pesantren Muhammadiyah sebagai Pusat Kaderisasi Ulama: antara Realitas, Harapan, dan Tantangan”, Menko PMK RI Prof Dr Muhadjir Effendy MEP menyampaikan harapannya.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu berharap, jika lulusan Pondok Pesantren (Ponpes) Muhammadiyah dapat menjadi ulama yang berilmu tinggi dan menjadi panutan keteladanan masyarakat.
“Karisma juga harus dimiliki seorang ulama. Kalau ulama tidak memiliki karisma, ya dia tidak bisa memainkan peranan yang signifikan,” ujar mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut.
Selain itu, lanjutnya, menjadi pemimpin yang amanah, santun, dan berakhlak mulia. Selain entrepreneur yang berjiwa sosial yang memberi kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat,”
Dia juga menekankan, harus ada ponpes Muhammadiyah yang memelopori kewirausahaan. “Kita upayakan lulusan ponpes nanti yang jadi mubaligh, dai, itu tidak menggantungkan kehidupan sehari-harinya dari pemberian. Kalau dia penceramah, pemberian yang ngundang, misalnya. Tetapi juga ada pekerjaan yang profesional dari yang bersangkutan, tetapi dia tetap mengembangkan dakwah,” ungkapnya.
Contoh yang ideal sekarang ini, sambung dia adalah salah satu Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dr Agus Taufiqurrahman. Menurut Muhadjir, dr Agus merupakan dokter profesional. Dengan profesi dokternya itu kemudian secara ekonomi dia tidak bergantung pada pemberian orang.
“Tetapi dalam berdakwah dr Agus juga luar biasa. Apalagi beliau bisa mengawinkan pesan-pesan yang ada dalam al-Quran maupun hadits dengan ilmu kedokteran yang dia kuasai. Sehingga bisa memikat para pendengarnya yang diceramahi itu,” tutur Muhadjir yang menjadi alumnus Pondok Mbah Haji Ridwan, Gang Puntuk, Kota Madiun tersebut.
Kering Banyolan
Dia menyampaikan, secara umum ada satu kekurangan mubaligh dan dai Muhammadiyah, yaitu tidak bisa melucu ya. “Setelah Pak AR itu ga ada. Maka kita perlu melatih santri-santri, dimulai di pondok itu. Karena itu harus sudah diajari joke-joke kreatif. Sehingga kalau sudah jadi mubaligh nggak kering. Jadi ada banyolan, tapi banyolannya yang terukur. Itu bagus kalau dimulai dari pondok pesantren,” kata dia.
Dari situlah akan muncul bentuk kreativitas. Jadi nanti ketika jadi mubaligh menjadi cerdas dan kreatif, ketika harus membikin intermezzo dan banyolan-banyolan. “Walaupun Muhammadiyah sudah dianggap memiliki karakter khusus dalam dakwah, tapi menurut saya hal tersebut juga perlu dipertimbangkan,” bebernya.
Dia juga berharap ponpes Muhammadiyah juga dibekali dengan kompetensi-kompetensi dasar, yang diperlukan kelak ketika alumninya menjadi dai atau mubaligh. Misalnya teknik pidato, berdebat atau mujadalah, adu argumen, yang dilatih secara periodik. Serta para santri diberi kesempatan belajar pidato dan mengikuti lomba pidato.
Termasuk, kata dia, Muhammadiyah perlu juga memberi perhatian pada bidang seni yang menjadi ciri khas dari ponpes.
“Sudahkah Muhammadiyah tidak memiliki tradisi berseni khas ponpes? Misalnya shalawat. Taruhlah jika tidak mau shalawat, maka kiai atau mudir di Muhammadiyah itu ya memproduk shalawat atau berbagai lagu, yang membikin khas ponpes yang memiliki jiwa seni. Karena siapapun tahu dakwah melalui seni itu juga satu pilihan tersendiri, dan bahkan menjadi pilihan penting untuk komunitas atau sasaran dakwah tertentu,” papar Muhadjir.
Ponpes Harus Ada Tradisi
Jadi, Muhadjir menilai, ada sesuatu yang tidak ada, yang seharusnya diisi menjadi bagian dari tradisi pesantren. “Bagaimanapun pesantren itu adalah pendidikan tradisional. Semodern apapun harus ada tradisi-tradisi yang harus dibangun di pondok pesantren itu. Dan itu biasanya kreativitas pengasuhnya, termasuk mudir, pengasuh, atau asatidz-nya, itu ada saat-saat untuk berkreasi,” jelasnya.
Dia lalu mencontohkan Ponpes Gontor. Semodern Pondok Gontor pun tradisi masih dipertahankan. Dari sana muncul seniman-seniman yang hebat dan fenomenal, seperti Emha Ainun Nadjib, yang berkontribusi pada seni. Dalam hal entrepreneur, kita bisa lihat Ponpes Sidogiri di Pasuruan yang omsetnya sudah triliunan.
“Sidogiri memiliki gerai atau toko yang bekerja sama dengan jaringan ponpes di luar Sidogiri, baik dari para alumni atau lainnya yang membikin jaringan Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri bernama Toko Basmalah,” tambahnya.
Ini salah satu bentuk pendidikan entrepreneur yang perlu dibicarakan di Muhammadiyah. Jangan sampai kita melahirkan mubaligh yang hidupnya tergantung pada pemberian. Apalagi sampai membedakan tebal-tipisnya amplop saat memberikan pengajian. Ini mengurangi berkah dari dakwah yang dilakukan.
“Perlu juga melakukan studi banding secara terbuka. Saya menyarankan pada pengasuh Ponpes Muhammadiyah agar lebih open minded. Karena soal pesantren kita kan belakangan dari NU. Saya kira tidak ada salahnya kita belajar dari Ponpes NU. Yang selama ini kita punya kedekatan kan dengan Pondok Pesantren non-NU seperti Darussalam, Gontor. Tapi ini saya kira baik,” terang Muhadjir.
Muhammadiyah-NU Sangat Cair
Toh, kata dia, teman-teman di NU juga rajin sekali membikin sekolah dari Muhammadiyah. Terutama perguruan tinggi (PT) banyak sekali yang mendirikan PTNU, karena belajar dari PT Muhammadiyah. “Saya punya 10 mahasiswa UMM yang sekarang menjadi alumni, itu sekarang membikin lembaga pendidikan yang desainnya persis seperti yang didesain UMM. Tapi kemudian isinya dimodifikasi. Dan mereka terang-terangan mengatakan pada saya, jika universitasnya maju karena meniru UMM. Jadi kemasannya Muhammadiyah tapi sudah diisi dengan yang lainnya itu,” ungkap Muhadjir.
Muhadjir juga menyampaikan, agar Muhammadiyah juga tidak menutup kemungkinan, untuk merekrut ustadz-ustadz yang berada di pondok-pondok tradisional seperti NU, kalau itu memang dibutuhkan. Sebagaimana juga NU yang mengambil kader-kader yang sekolah di Muhammadiyah menjadi kader-kader di NU.
Bahkan pada Muhammadiyah awal itu hubungan NU-Muhammadiyah itu sangat cair.”Yang sangat cair itu misalnya banyak alumni Ponpes NU yang menjadi tokoh Muhammadiyah. Terutama Pondok Pesantren tua NU pada masa itu. Sebaliknya banyak sekali tokoh-tokoh NU yang menyekolahkan anaknya di Muhammadiyah,” jelasnya.
Waktu itu di Muallimin dan Muallimat. Terutama Muallimat, yang banyak digemari tokoh-tokoh NU. Misalnya ada putrinya KH Wachid Hasyim yang sekolah di Muallimat. Kemudian istrinya KH Abdul Muchit Muzadi, kakak Hasyim Muzadi juga alumni Muallimat.
Kiai-Kiai Muhammadiyah dari Tebuireng
Kemudian, lanjut dia, banyak sekali kiai-kiai Muhammadiyah yang belajar di pondok NU, terutama Tebuireng pada waktu itu. Sebagaimana diketahui bahwa Tebuireng awal yaitu ketika dipimpin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari lebih salaf dibanding KH Ahmad Dahlan. “Kenapa? Karena KH Hasyim Asyari itu ahli hadits. Dan beliau hanya ber-hujjah pada hadits yang mu’tabarah. Jadi bukan hanya ang shahih saja, tapi shahih mu’tabarah,” kata Muhadjir.
Jadi misalnya, KH Hasyim Asyari termasuk orang yang menolak haul. Nah itu Ponpes Tebuireng itu tidak pernah ada haul kecuali setelah wafatnya Presiden Abdurrahman Wahid, dimakamkan di sana ada tradisi haul.
“Sebelum itu bahkan ketika Pak Ud (KH Yusuf Hasyim, anak bungsu KH Hasyim Asyari) yang mengasuh ponpes tidak ada haul untuk KH Hasyim Asyari, sampai sekarang. Yang ada adalah haul untuk Gus Dur,” jelasnya.
Karena itu banyak sekali lahir kiai-kiai Muhammadiyah dari Pondok Pesantren Tebuireng. Misalnya almarhum KH Abdurrahim Nur, Ketua PWM Jawa Timur. Kemudian juga almarhum KH Muammal Hamidy juga alumni Tebuireng. Sekarang ini yang masih hidup adalah KH Afnan Ansori, dari Lamongan. Jadi kalau dihitung bisa banyak itu.
“Karena paman-paman saya yang tamatan Tebuireng, itu sebagian jadi NU sebagian jadi Muhammadiyah. Termasuk ayah saya. Jadi pandangan NU Tebuireng awal itu sangat sama dengan fenomena Muallimiin dan Muallimaat. Ketika semua orang menganggap itu adalah lembaga pendidikan yang inklusif, yang ketika masuk tidak harus bermuhammadiyah. Sebagaimana masuk di Tebuireng tidak harus kemudian jadi NU,” ungkap Muhadjir.
Jadi almarhum KH Mu’ammal Hamidy itu teman sekolahnya almarhum KH Tolchah Hasan. “Jadi yang satu jadi tokoh Muhammadiyah, yang satu tokoh NU, sama-sama dari Ponpes Tebuireng. Jadi ini menarik jika kita kaji,” tandasnya. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni. .